"Mau kemana?" hampir saja Milova berteriak mendengar pertanyaan dari lelaki kekar yang sudah terpatri di hadapannya. Wajar saja jika terkejut, bukan hanya karena Milova melakukan kesalahan, tapi karena Osa tiba-tiba saja muncul saat ia membuka pintu. Ia yang awalnya sudah ingin ke rumah sakit untuk menemui dokter, justru harus tertunda dan tentunya tidak mudah lolos dari seorang Osa. "Bukan urusanmu!" sahu Milova, cetus, sambil merapikan tali tasnya yang sedikit terjatuh dari bahu. Tapi bukan Osa namanya jika tidak bisa menemukan apa yang ia cari. Osa melangkahkan kakinya, mendekati Milova perlahan. Wajahnya terlihat serius dan mencurigai wanita itu. Kali ini, jas hitam yang dikenakannya kembali menjadikan Osa sebagai seorang kepala sekolah yang tampan. Bahkan tak hanya itu, ia juga terlihat lebih elegan dari biasanya. Tapi bukan itu yang membuat wajah Milova memerah. Ia sedang memikirkan jalan keluar untuk pergi dari incaran lelaki itu. Perlahan langkah Osa maju, dan Milo
"Oh mengenai hal tersebut, memang benar Pak Osa mendonorkan darahnya!" jelas dokter. Milova menyesal mendengarnya. Bagaimana bisa seorang penderita HIV seperti Osa dengan bebas mendonorkan darahnya kepada orang lain. Ini benar-benar di luar nalar. Masa iya tim medis tidak mendeteksi kejanggalan tersebut? Dan tidak mungkin juga Milova menjelaskan kepada dokter bahwa Osa adalah seorang pengidap HIV, tidak etis sekali rasanya. Lagi pula kejadiannya sudah berlalu, pikir Milova. "Ada yang bisa kami bantu lagi, Bu?" dokter bertanya, memecahkan lamunan Milova. "Hhmm, berapa kantong darah yang didonorkan Pak Osa kepada saya, Dok?" Milova kembali bertanya. Sebenarnya mengetahui lebih jauh justru akan membuat Milova semakin gelisah. Tapi saat ini, lebih baik ia mengetahui semuanya, toh semua juga sudah terlanjur terjadi. "Satu kantong, Bu." jawab dokter. Satu atau dua kantong ya sama saja, tetap saja darahnya telah mengalir di tubuh Milova. "tapi darah tersebut tidak didonorkan ke ib
Meski terkesan sangat tabu. Tapi rasanya menyenangkan melihat sikap Osa saat ini. Ya, memang terasa sangat aneh, tidak seperti sebelumnya, Osa yang jutek dan sombong, lantas apa yang terjadi dengan lelaki itu? "Sepakat?" Osa menjulurkan tangannya, meminta Milova menyetujui apa yang baru saja ia minta. Lelaki itu memintanya untuk berdamai dan mulai melaksanakan misi mereka dengan baik. Memang, selama ini sebisa mungkin Milova berusaha melakukan setiap perintah Osa meski tidak menyenangkan baginya. Tapi kali ini, Osa ingin agar Milova lebih nyaman dan tenang dalam menjalankan tugasnya. Tanpa paksaan seperti sebelumnya. Milova sendiri masih tercengang, ia belum percaya lelaki yang ada di hadapannya itu bisa sesantai ini. Osa yang arogan dan tak mau mengalah, apa benar telah berubah menjadi lelaki baik dan sopan? Ah, mustahil, pikir Milova. "Ada apa denganmu?" Milova tidak langsung menyambut uluran tangan Osa. Hingga lelaki itu kembali menarik ulur telapak tangannya. "Aku hanya i
"Ahhh ... !" suara teriakan terdengar keras dari balik pintu kamar Milova. Beberapa asisten rumah tangga tergopoh-gopoh, berlari menyambanginya. Ini bukan main-main, karena sebelumnya, Milova bukan tipe wanita yang mudah panik. Rumah mewah yang dihuninya geger karena suara pekikan itu. Rumah ini adalah rumah pemberian Osa, karena rencananya, setelah menikahi Milova, ia juga akan ikut tinggal di rumah megah itu. Rumah ini juga bentuk pencitraan yang diberikan Osa kepada Milova, untuk membuktikan bahwa Milova merupakan gadis kaya dan layak menjadi istri seorang Osa Mahendra, sang kepala sekolah yang kaya raya. "Ada apa, Bu?" Maya, seorang asisten rumah tangga yang masih single, ikut mengetuk pintu kamar Milova. Ia terlihat panik, apalagi ia tahu persis bagaimana karakter majikannya, yang tak melankolis. "Bu, ibu gak apa-apa, kan?" teriak Rumi sambil kembali mengetuk pintu kamar Milova dua kali. Tapi belum juga ada jawaban. Maya menyentuh pundak Rumi, mengisyaratkan padanya un
Yang membuat Milova terkejut bukan hanya rangkaian bunga mawar merah yang sangat cantik, tapi juga tersungkurnya lelaki itu di hadapannya jauh membuat jantung Milova berdegup kencang. Ada apa ini?, hatinya bergumam. Dengan sigap Osa menjatuhkan tubuhnya ke lantai, tepat di hadapan Milova. Tampak begitu romantis. Milova menyadarkan dirinya sendiri untuk tidak terpana. Apa ini lanjutan dari mimpi semalam?, pikirnya. Ya, ia yang bermimpi sesuatu yang mustahil terjadi, tentang Osa yang berubah baik padanya. Kini justru di hadapkan dengan kenyataan yang bertolak belakang dan seolah mendukung mimpi indahnya itu. "Ada apa ini?' celetuk Milova, raut wajahnya begitu cemas. Memang, kata orang bisa jadi sebuah mimpi itu akan jadi kenyataan. Bisa dikatakan, terkadang mimpi adalah harapan yang akan segera terwujud. Ah, mustahil, pikir Milova kembali. Kali ini Milova benar-benar bingung dengan apa yang dialaminya. Maya dan Rumi mengintip dari balik pintu dapur bersih. Mereka meras
"Ok? Sudah pas?" tanya Osa pada seorang fotografer yang tengah memotretnya dari berbagai arah. Kelihatannya ia membayar fotografer berkelas untuk mengabadikan moment tersebut. Terbaca dari gaya dan caranya bekerja, fotografer yang dibayar Osa tidak main-main. "Sip" sambung Osa setelah mengecek hasil jepretan lelaki brewok itu sambil mengacungkan ibu jarinya. Osa menatap sekeliling rumah, hanya sekadar mengecek kondisinya. Lalu mengarahkan pandangannya pada Milova yang masih memegang bunga mawar merah pemberiannya. "Kenapa masih berdiri di situ? Duduk!" perintahnya. Ia juga menarik salah satu kursi dari meja bundar tersebut dan mendudukinya. "Apa maksud semua ini?" tanya Milova yang masih mematung. Ia yang beberapa detik lalu masih diratukan oleh Osa, kini terasa tak lagi dipedulikan. Memang, Milova tak menjawab apa-apa saat Osa melamarnya, ia hanya mengangguk, itu pun dengan penuh keraguan. "Ini hanya bagian dari rencanaku, aku sengaja tidak memberitahumu agar semuanya te
"Lusi!" Teriak Milova yang terkejut melihat gadis itu bersiap untuk menjatuhkan dirinya dari gedung pustaka. Gedung tersebut dibangun dengan tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk kegiatan belajar siswa, mungkin ada yang ingin mengerjakan tugas dan sebagainya, mereka dapat melakukannya di lantai satu. Lantai 2 berisi deretan buku-buku mata pelajaran dan berbagai koleksi buku fiksi. Di lantai dua juga terdapat petugas perpustakaan, para siswa juga dapat meminjam buku di sana. Selain itu, tersedia pula ruang komputer di lantai dua, jika ada yang ingin membaca buku secara online atau menyelesaikan tugas-tugas online, dapat menggunakan komputer tersebut. Sedangkan untuk lantai 3, biasanya dijadikan aula, tempat para guru melakukan rapat dan berbagai acar penting lainnya. Tak heran jika sedang tidak ada kegiatan, lantai tiga tersebut sepi pengunjung. "Mungkin ia kesambet Rohnya Halimah!" celetuk Raka, bukannya mereda kepanikan, ia justru menambah cerita baru yang tak masuk akal m
"Kamu sudah tidak waras ya?" Osa terlihat sedang kesal dengan tawaran Milova kepada mantan kekasihnya, Lusi. "Iya, aku yang gila, dan kamu yang paling waras!" bentak Milova. Yang benar saja, di saat genting seperti ini, Osa masih saja memikirkan dirinya sendiri. Ada apa dengan lelaki itu? Padahal jelas tertulis di buku catatan penting miliknya, yang sempat dicuri Milova, bahwa pria itu berniat menikahi Lusi, kekasih yang begitu ia cintai. Walaupun mereka sudah putus, dan Osa memutuskan hubungan sebelah pihak. Tapi setidaknya sebagai seorang lelaki, ia masih punya perasaan, apalagi ini menyangkut nyawa Lusi. "Atau jangan-jangan, kamu ... " Milova terdiam, ia tak ingin lagi melanjutkan tuduhannya. Bukan karena ingin menghargai perasaan Osa, tapi ia tak ingin semua orang mendengar. Sebisa mungkin, ia mencoba menahan emosinya yang memuncak pada lelaki sombong itu. Semua mata sedang tertuju pada Lusi. Beberapa guru senior ikut menasihati Lusi dari bawah gedung, untuk mengurungk
Milova memeluk tubuh Osa dengan deraian air mata. Osa yang masih lemah bisa menyadari kehadiran wanita yang dicintainya. "Kamu tidak perlu mencari keberadaan bayi mu lagi," ucap Osa dengan nada suaranya yang masih terbata-bata. Milova mengerutkan keningnya. Sedikit kekecewaan menyelinap dari tatapannya pada Osa. Ia pikir, dengan melihat wajah lelaki kekar itu, ia akan sedikit tenang. Ternyata Osa justru membuatnya semakin kalut. "Bayi mu sudah meninggal satu tahun yang lalu, bersama istri pertama suami mu dan juga mertua mu." jelas Osa. Entah dari mana ia tahu segalanya. Milova berpikir bahwa suaminya sedang bermimpi. Atau mungkin alam mimpi membawanya menerjemahkan banyak hal selama ia koma. "Kamu bermimpi, ya?" tanya Milova, mencoba membenarkan isi pikirannya. "Aku tidak sedang bermimpi, ini benar adanya." sahut Osa, meyakinkan Milova. Pikiran Milova begitu kacau ketika mendengar apa yang dikisahkan suaminya, tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Osa sudah tahu tentang
Raju melaju dengan kecepatan tinggi. Pajero sport yang ia kendarai adalah milik Osa. Demi mengejar seseorang yang ia curigai sebagai salah satu tokoh penculikan bayi Milova, ia hampir saja mempertaruhkan nyawanya sendiri. "Hati-hati Raju!" pekik Milova yang duduk di sebelahnya. Milova yang trauma dengan kecepatan tinggi memaksa diri untuk ikut bersama Raju. Ia tak ingin lagi kehilangan jejak bayinya. Ternyata, orang-orang yang membawa bayi Milova, tepat di hari Osa mengalami kecelakaan, sengaja mengecoh Raju dengan mengarahkan kemudian mereka menuju bandara. Padahal, sebagian dari mereka berputar arah dan terbagi menjadi dua kelompok, salah satunya menuju tujuan yang lain. Licik sekali mereka, pikir Milova. Tapi, jika tidak licik, tak mungkin Rama mempercayai para preman suruhannya. "Bagaimana Rama bisa mengendalikan semua ini, sedangkan ia sedang mendekam di penjara?" Milova tak habis pikir dengan kelakuan mantan suaminya itu yang sudah sangat keterlaluan. Dan bayi yang seda
Milova terlihat lunglai di sebuah sofa empuk, tepat di kamar mewah dimana Osa dirawat. Ia sama sekali tidak tidur dan hanya sekadar minum dan makan beberapa suap. Kekhawatirannya semakin memuncak ketika melihat kondisi suaminya yang sama sekali tak menunjukkan perubahan. Osa masih koma dengan semua alat medis yang melekat pada tubuh kekarnya. "Kamu gak pulang saja dulu? Ya, istirahat sehari. Lagi pula, di sini ada Raju dan Raka yang menjaga Pak Osa." Husna memberi saran. Benar apa yang dikatakan Husna. Milova butuh waktu untuk istirahat dan menenangkan dirinya. Lagi pula, jika pun ia memaksa untuk menjaga Osa, dikhawatirkan justru kondisinya sendiri yang memburuk dan tentunya akan menjadi masalah baru. "Aku ingin menemaninya sampai ia sadar." sahut Milova. Husna dapat melihat betapa sedihnya perasaan Milova. Wajah cantiknya sudah berubah pucat, tubuhnya pun terlihat sangat lemah karena kekurangan energi. Jarang makan dan tidak tidur menjadi penyebabnya. "Kalau kamu mau te
Milova sadar dan membuka kedua matanya. Ia melihat Raju yang terlihat panik dan memijat kepalanya. Samar-samar Milova bisa membaca raut wajah Raju. "Ibu sudah sadar?" tanya Raju. Milova baru sadar kalau ternyata sedari tadi ia pingsan. Ia memang tidak punya keberanian untuk mendonorkan darahnya, namun tetap ia lakukan demi menyelamatkan Osa. "Bagaimana keadaan Osa?" tanya Milova spontan. Yang ia khawatirkan bukan dirinya sendiri, tapi Osa. Milova khawatir jika terjadi sesuatu dengan lelaki yang dicintainya itu. "Aku harus melihatnya." Milova berusaha untuk beranjak dari salah satu ranjang rumah sakit, dimana para perawat menidurkannya yang pingsan di depan ruang operasi. Milova mengerang, kepalanya sangat sakit, membuatnya tak mampu bangkit, bahkan hanya untuk duduk. "Jangan dipaksakan, Bu." Raju memberi saran. "Bagaimana keadaan mu?" tanya Husna yang tiba-tiba datang bersama Raka. "Pak Osa bagaimana?" Raka yang baru saja datang menodong Raju dengan pertanyaannya.
Milova tergesa-gesa menyusuri setiap ranjang di ruang IGD rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari SMAS Tunas Bangsa. Perasaannya sangat gundah. Ada ketakutan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tapi pastinya, ia sangat khawatir. Raka memberitahunya bahwa Osa mengalami kecelakaan dan mobilnya menabrak sebuah truk dari arah belakang. Saat ditemukan, kondisi Osa kritis dan mengalami pendarahan di otaknya. Milova sendiri tak tahu kemana Osa akan pergi, sampai pagi-pagi tadi ia sudah menghilang tanpa pamit. Menurut kabar yang beredar juga, Osa bertujuan ke bandara. Karena tempat dimana ia mengalami kecelakaan searah dengan arah bandara. Tapi, untuk apa ia ke bandara? Siapa yang ingin ia jemput?, pikiran Milova ikut bertanya-tanya. Tapi saat ini, yang terpenting baginya adalah keselamatan Osa, lelaki yang saat ini menjadi satu-satunya tempat ia berlabuh. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Milova pada seorang dokter yang sedang memeriksa kondisi Osa. Terlihat je
Matahari yang menghempas wajah Milova secara perkasa membangunkannya dari tidur panjangnya. Gorden yang sudah tersibak, membuatnya mencari-cari kemana Osa pergi. Padahal pagi ini, Milova sudah berjanji akan diantar oleh suaminya itu ke sekolah. Tapi pagi ini, sarapan yang sudah rapi di atas meja, hanya disantapnya sendirian. "Kamu tahu kemana Bapak?" tanya Milova pada Maya yang sedang meletakkan roti bakar di atas meja makan. "Tadi Bapak sudah pergi duluan, Bu. Katanya ada urusan mendadak." jelas Maya. Milova tahu apa yang menjadi alasan Osa pergi begitu saja, tak lain karena ia kecewa atas apa yang dilakukannya semalam. Tapi semua sudah terjadi, dan sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai, Milova dan Osa sama sekali tak terpaksa melakukannya. Mengendarai mobilnya, Milova melaju menuju ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 07.35 WIB. Cuaca pagi ini lumayan panas, terlihat jelas dari beberapa bunga di teras rumahnya yang sudah tak lagi berembun, tidak seperti biasanya.
"Terima kasih, ya?" ucap Osa pada Milova, sesaat setelah kedua guru itu pulang. Milova memberi pilihan jika Bu Sarah dan Bu Cantika masih ingin mengajar di SMAS Tunas Bangsa, maka mereka harus mencari peserta didik yang akan masuk ke SMAS Tunas Bangsa dengan jumlah yang sama dengan jumlah peserta didik yang sudah keluar dari sekolah tersebut. Milova juga memberi waktu selama tiga bulan untuk mereka menyelesaikan misi tersebut. Selama tiga bulan tersebut juga Milova masih mengizinkan kedua guru itu untuk bekerja di SMAS Tunas Bangsa. Syarat tersebut sengaja Milova berlakukan sebagai salah satu strategi untuk mengembalikan nama baik nama SMAS Tunas Bangsa. Dengan begitu, tanpa disadari, nama sekolah akan kembali membaik dengan sendirinya. Dan tentunya, Bu Sarah dan Bu Cantika akan mempelopori misi Milova demi terpenuhinya jumlah peserta didik yang diinginkan sebelum waktu tiga bulan tersebut berlalu. "Sama-sama." ucap Milova seraya menyentuh pipi kiri Osa. Tindakan wanita itu me
"Jadi itu tujuan Bu Cantikan dan Bu Sarah sampai harus datang ke rumah saya?" tanya Milova sesaat setelah menyeruput kopi khas Gayo. Kualitas Kopi Gayo (Aceh) sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik melalui sertifikat resmi akan kualitasnya yang keluar pada tahun 2010 lalu. Selain itu, sekarang ini juga para petani sedang mengembangkan tiga varietas Kopi Gayo yang sedang dibudidayakan, yaitu Gayo 1, Gayo 2, dan P88 yang juga sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik. Kenikmatan Kopi Gayo dimulai dari rasanya yang kuat dan berkarakter. Kopi Gayo memiliki rasa yang tidak pahit dan memiliki keasaman yang rendah, serta memiliki sedikit sentuhan rasa manis. Makanya, Kopi Gayo ini seringkali dijadikan sebagai bahan campuran berbagai house blend coffee. Kopi Gayo paling cocok ditanam di ketinggian 1000 mdpl. Namun, kopi Gayo ini juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu ketinggian perkebunan yang menentukan cita rasanya. Perbedaan ketinggian perkebunan ini ternyata juga bisa mem
"Kok tiba-tiba rapat, sih?" para guru saling bertanya. Rapat ini tidak seperti biasanya, pemberitahuannya hanya satu jam sebelumnya. Sehingga menimbulkan banyak persepsi dari guru-guru. Apalagi, para internal SMAS Tunas Bangsa sedang dihebohkan dengan rencana Osa menjual sekolah ini. Dan kabar tersebut bukan lagi kabar burung, bahkan pembeli sekolah ini juga sudah bertemu langsung dengan Osa. "Acara serah terima, mungkin." tebak salah seorang guru. Osa dan Milova masuk dari pintu utama ruang guru. Berhubung dilakukan secara dadakan, maka saran dari Raka, rapat dilaksanakan di ruang guru saja. Lagi pula, ruang guru cukup luas dan nyaman, juga sejuk karena dilengkapi oleh pendingin ruangan. Dan yang terpenting, Raka sudah memastikan, semua guru mengikuti rapat ini, seperti perintah Osa. "Ada yang tahu, untuk apa rapat ini diadakan secara mendadak?" tanya Milova, membuka pembicaraan setelah Osa memberi sambutan dan mempersilakan Milova untuk bicara. "Untuk pengalihan kepal