Malam itu, setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Alexander dan Helena kini berada di kamar mereka.
Alexander mendekatkan tubuhnya, memeluk Helena erat, lalu menundukkan kepala untuk mencium keningnya dengan penuh kehangatan dan cinta. Hal itu membuat Helena merasa nyaman dan tenang di dalam pelukan suaminya. Perlahan, Alexander mulai bicara, suaranya pelan namun jelas. “Sayang, aku sebenarnya keberatan jika perusahaanmu menjalin kerja sama dengan Rhodes,” ujarnya, menatap dalam-dalam wajah istrinya. Helena terdiam, merasakan nada serius dalam suara Alexander. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Sayang, aku tidak bisa begitu saja memutuskan hubungan kerja sama ini. Proses produksi sudah akan dimulai, semua persiapan sudah matang. Ini tidak mudah dihentikan.” Alexander mengangguk pelan, namun kegelisahan masih tampak di wajahnya. “Kalau begitu, biarkan aku menjadi investor di perusahaanMalam itu, setelah Alexander dan keluarganya beristirahat, suara bel rumah berbunyi.Alexander langsung menemuinya, apalagi ekspresi wajah Han agak tidak biasa. Menyadari ada hal penting yang perlu dibicarakan, Alexander mengajak Han masuk ke ruang baca, agar tidak mengganggu istri dan anak-anaknya yang sudah terlelap. Di dalam ruang baca yang sunyi, Alexander duduk berhadapan dengan Han. “Apa yang membawamu kemari malam-malam begini, Han?” tanya Alexander dengan nada rendah namun penuh perhatian. Han menatap Alexander sejenak sebelum menjawab, “Tuan, saya datang untuk menyampaikan kabar dari hasil penyelidikan terakhir mengenai penyerangan di kapal pesiar waktu itu.” Alexander mengangguk perlahan, memberi isyarat agar Han melanjutkan. “Dugaan mengarah pada pihak luar,” lanjut Han. "Lebih spesifiknya, penyerang diduga berasal dari negara asing, negara asal keluarga Nyonya Helena.” Mendengar itu, Alexander men
Pagi itu, Helena melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan perasaan campur aduk. Syukurlah, tidak ada lagi buket bunga misterius seperti kemarin, namun kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Duduk di kursinya, ia mencoba memusatkan perhatian pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terusik oleh pesan yang ia terima semalam.“Ah, aku benar-benar sangat lelah dengan situasi seperti ini...” keluh Helena. Helena mengeluarkan ponselnya, membuka kembali pesan itu, dan membacanya untuk kesekian kali. Tulisan singkat dan dingin itu tertera di layar, “Kematian kalian akan segera tiba, bersiaplah dari sekarang.” Pesan yang tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga Alexander dan anak-anak mereka. Helena menatap layar ponselnya, hatinya berkecamuk. Ia tahu bahwa menunjukkan pesan ini kepada Alexander hanya akan membuatnya khawatir, apalagi mereka baru saja memulihkan kehidupan mereka yang tenang setelah masalah sebelumnya. Tidak ingin menambah
“Aku tidak tahan lagi, Sayang!” Suara Alexander pecah dengan nada putus asa. Kalimat itu membuat Helena menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Alexander, terkejut, tidak menduga pria itu akan datang ke kantornya tanpa pemberitahuan. Ekspresi Alexander terlihat kusut, seperti menahan beban yang begitu berat. Helena langsung berdiri dari kursinya. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut, mendekati Alexander. Tanpa berkata-kata, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu erat, seolah ia takut kehilangannya. “Aku tidak bisa lagi, Sayang,” bisik Alexander. “Aku tidak bisa hanya diam sementara kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Helena terdiam sejenak, merasakan hati Alexander yang bergejolak. Akhirnya, ia menghela napas panjang, lalu berkata lirih, “Maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya..
“Sepertinya, kesan anda akan buruk jika melakukan itu, Tuan,” nasihat Asisten sekretarisnya Rhodes. Mendengar itu, terpaksa Rhodes duduk di sofa ruang tunggu kantor Helena dengan sabar, menatap jam dinding sambil mengetuk-ngetuk kan jarinya ke lengan kursi. Pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan keinginan untuk segera bertemu dengan Helena. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, dan kesabarannya mulai menipis. “Aku tidak bisa terus begini,” gumamnya sambil bangkit dari sofa. Namun, langkahnya terhenti ketika pintu ruang kerja Helena terbuka, dan sosok yang keluar membuat matanya menyipit tajam. “Alexander...” gumamnya, pelan. Alexander memutar bola matanya, jengah. bagaimanapun, Alexander sudah benar' menganggap Rhodes sebagai pengganggu dalam rumah tangganya. Memperlihatkan jelas siapa dirinya, Alexander keluar dari ruangan semakin menjauh dengan senyum sinis di
Acara peluncuran parfum terbaru itu dihadiri para tamu berkelas, mulai dari pebisnis, selebritas, hingga para sosialita terkenal. Rhodes melangkah memasuki ballroom bersama Helena di sisinya, senyum lebar terpancar di wajahnya. Ia merasa sangat bangga bisa datang ke acara ini sebagai partner Helena, dan ia tidak ragu mengenalkan Helena kepada setiap rekan yang ditemuinya, seolah ingin menunjukkan hubungan mereka kepada dunia. Namun, Helena mulai merasa sedikit tidak nyaman. “Rhodes, apa dia tidak sadar kalau ini keterlaluan?” gumamnya, pelan. Pandangan beberapa tamu wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Rhodes terarah padanya, memberikan tatapan tak bersahabat yang membuat suasana semakin canggung. Tapi, karena ini acara publik, Helena memutuskan untuk menahan diri dan mencoba bersikap tenang, meskipun ia tidak bisa mengabaikan perasaan buruk yang perlahan muncul. Saat Rhodes terlibat percakapan dengan sekelompok te
Helena terperangah saat melihat kondisi dirinya dan Alexander di atas tempat tidur. Selembar sprei yang telah tercoreng dengan bercak darah menjadi saksi bisu atas kejadian yang tak terduga. “Sa–Sayang...” ucap Helena, masih saja tercengang. Alexander hanya bisa memberikan senyum lemah, mencoba menenangkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Helena, dengan mata yang berkaca-kaca, menatap Alexander dengan tatapan penuh penyesalan. “Sayang, maafkan aku...” “Ayolah, aku juga tidak tahu harus melakukan apa tadi,” jawab Alexander. Helena hanya bisa tersenyum kikuk, tahu ini adalah sebuah kecelakaan, sebuah insiden yang tidak diharapkan oleh keduanya. “Sayang, tolong ke kamar mandi duluan, ya,” pinta Helena dengan suara yang bergetar, menahan perasaan campur aduk yang memenuhi dadanya. Alexander mengangguk pelan dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Sementara itu, Helena mulai bergerak u
Di sebuah kafe kecil yang temaram, Rhodes duduk menanti dengan perasaan campur aduk—gugup, khawatir, dan penuh pertanyaan. Sudah sejak semalam ia merasa gelisah, dan meskipun bisa mengirimkan pesan, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi pada wanita itu, bagaimanapun Helena tidak membalas satupun pesan yang ia kirimkan. Ingin memastikan Helena baik-baik saja, terutama setelah beberapa pesan yang dikirim Helena terdengar semakin muram dan penuh kecemasan. “Helena, Kenapa lama sekali tidak juga sampai, ya?” gumam Namun, begitu pintu kafe terbuka dan sosok yang masuk ternyata bukan Helena, melainkan Alexander. Jantung Rhodes berdegup keras. “Kenapa Alexander yang datang ke sini?” gumamnya. Wajah Alexander memancarkan kemarahan yang hampir sulit untuk dikendalikan. Rhodes nyaris tak sempat berdiri sebelum tiba-tiba, ‘Bugh!’ Sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya, m
Alexander kembali ke rumah setelah pertemuan yang cukup menguras emosinya dengan Rhodes. Ia merasa lega sudah memperingatkan pria itu agar menjauh dari Helena. Saat masuk ke kamar, Alexander melihat Helena tertidur dengan tenang di atas ranjang. Wajahnya yang lembut dan damai membuat Alexander tersenyum tipis. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan perlahan mengusap kepala Helena dengan penuh kasih sayang sambil berucap lirih, “Sayang, aku benar-benar merasa bersyukur karena instingku malam itu sangat kuat. Yah, walaupun harus berakhir dengan melakukan hubungan intim di saat kau datang bulan itu adalah hal yang cukup ekstrim dan mengerikan, tapi aku tidak menyesalinya.” Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan panggilan masuk. Nama Han muncul di layar. Alexander menghela napas sebelum menerima panggilan itu, dan suara Han yang serius segera terdengar di ujung telepon. “Tuan Alexander, kita perlu bicara langsung. Saya a
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece