Pagi itu, Helena melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan perasaan campur aduk.
Syukurlah, tidak ada lagi buket bunga misterius seperti kemarin, namun kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya.Duduk di kursinya, ia mencoba memusatkan perhatian pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terusik oleh pesan yang ia terima semalam.“Ah, aku benar-benar sangat lelah dengan situasi seperti ini...” keluh Helena. Helena mengeluarkan ponselnya, membuka kembali pesan itu, dan membacanya untuk kesekian kali. Tulisan singkat dan dingin itu tertera di layar, “Kematian kalian akan segera tiba, bersiaplah dari sekarang.” Pesan yang tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga Alexander dan anak-anak mereka. Helena menatap layar ponselnya, hatinya berkecamuk. Ia tahu bahwa menunjukkan pesan ini kepada Alexander hanya akan membuatnya khawatir, apalagi mereka baru saja memulihkan kehidupan mereka yang tenang setelah masalah sebelumnya. Tidak ingin menambah“Aku tidak tahan lagi, Sayang!” Suara Alexander pecah dengan nada putus asa. Kalimat itu membuat Helena menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Alexander, terkejut, tidak menduga pria itu akan datang ke kantornya tanpa pemberitahuan. Ekspresi Alexander terlihat kusut, seperti menahan beban yang begitu berat. Helena langsung berdiri dari kursinya. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut, mendekati Alexander. Tanpa berkata-kata, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu erat, seolah ia takut kehilangannya. “Aku tidak bisa lagi, Sayang,” bisik Alexander. “Aku tidak bisa hanya diam sementara kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Helena terdiam sejenak, merasakan hati Alexander yang bergejolak. Akhirnya, ia menghela napas panjang, lalu berkata lirih, “Maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya..
“Sepertinya, kesan anda akan buruk jika melakukan itu, Tuan,” nasihat Asisten sekretarisnya Rhodes. Mendengar itu, terpaksa Rhodes duduk di sofa ruang tunggu kantor Helena dengan sabar, menatap jam dinding sambil mengetuk-ngetuk kan jarinya ke lengan kursi. Pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan keinginan untuk segera bertemu dengan Helena. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, dan kesabarannya mulai menipis. “Aku tidak bisa terus begini,” gumamnya sambil bangkit dari sofa. Namun, langkahnya terhenti ketika pintu ruang kerja Helena terbuka, dan sosok yang keluar membuat matanya menyipit tajam. “Alexander...” gumamnya, pelan. Alexander memutar bola matanya, jengah. bagaimanapun, Alexander sudah benar' menganggap Rhodes sebagai pengganggu dalam rumah tangganya. Memperlihatkan jelas siapa dirinya, Alexander keluar dari ruangan semakin menjauh dengan senyum sinis di
Acara peluncuran parfum terbaru itu dihadiri para tamu berkelas, mulai dari pebisnis, selebritas, hingga para sosialita terkenal. Rhodes melangkah memasuki ballroom bersama Helena di sisinya, senyum lebar terpancar di wajahnya. Ia merasa sangat bangga bisa datang ke acara ini sebagai partner Helena, dan ia tidak ragu mengenalkan Helena kepada setiap rekan yang ditemuinya, seolah ingin menunjukkan hubungan mereka kepada dunia. Namun, Helena mulai merasa sedikit tidak nyaman. “Rhodes, apa dia tidak sadar kalau ini keterlaluan?” gumamnya, pelan. Pandangan beberapa tamu wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Rhodes terarah padanya, memberikan tatapan tak bersahabat yang membuat suasana semakin canggung. Tapi, karena ini acara publik, Helena memutuskan untuk menahan diri dan mencoba bersikap tenang, meskipun ia tidak bisa mengabaikan perasaan buruk yang perlahan muncul. Saat Rhodes terlibat percakapan dengan sekelompok te
Helena terperangah saat melihat kondisi dirinya dan Alexander di atas tempat tidur. Selembar sprei yang telah tercoreng dengan bercak darah menjadi saksi bisu atas kejadian yang tak terduga. “Sa–Sayang...” ucap Helena, masih saja tercengang. Alexander hanya bisa memberikan senyum lemah, mencoba menenangkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Helena, dengan mata yang berkaca-kaca, menatap Alexander dengan tatapan penuh penyesalan. “Sayang, maafkan aku...” “Ayolah, aku juga tidak tahu harus melakukan apa tadi,” jawab Alexander. Helena hanya bisa tersenyum kikuk, tahu ini adalah sebuah kecelakaan, sebuah insiden yang tidak diharapkan oleh keduanya. “Sayang, tolong ke kamar mandi duluan, ya,” pinta Helena dengan suara yang bergetar, menahan perasaan campur aduk yang memenuhi dadanya. Alexander mengangguk pelan dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Sementara itu, Helena mulai bergerak u
Di sebuah kafe kecil yang temaram, Rhodes duduk menanti dengan perasaan campur aduk—gugup, khawatir, dan penuh pertanyaan. Sudah sejak semalam ia merasa gelisah, dan meskipun bisa mengirimkan pesan, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi pada wanita itu, bagaimanapun Helena tidak membalas satupun pesan yang ia kirimkan. Ingin memastikan Helena baik-baik saja, terutama setelah beberapa pesan yang dikirim Helena terdengar semakin muram dan penuh kecemasan. “Helena, Kenapa lama sekali tidak juga sampai, ya?” gumam Namun, begitu pintu kafe terbuka dan sosok yang masuk ternyata bukan Helena, melainkan Alexander. Jantung Rhodes berdegup keras. “Kenapa Alexander yang datang ke sini?” gumamnya. Wajah Alexander memancarkan kemarahan yang hampir sulit untuk dikendalikan. Rhodes nyaris tak sempat berdiri sebelum tiba-tiba, ‘Bugh!’ Sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya, m
Alexander kembali ke rumah setelah pertemuan yang cukup menguras emosinya dengan Rhodes. Ia merasa lega sudah memperingatkan pria itu agar menjauh dari Helena. Saat masuk ke kamar, Alexander melihat Helena tertidur dengan tenang di atas ranjang. Wajahnya yang lembut dan damai membuat Alexander tersenyum tipis. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan perlahan mengusap kepala Helena dengan penuh kasih sayang sambil berucap lirih, “Sayang, aku benar-benar merasa bersyukur karena instingku malam itu sangat kuat. Yah, walaupun harus berakhir dengan melakukan hubungan intim di saat kau datang bulan itu adalah hal yang cukup ekstrim dan mengerikan, tapi aku tidak menyesalinya.” Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan panggilan masuk. Nama Han muncul di layar. Alexander menghela napas sebelum menerima panggilan itu, dan suara Han yang serius segera terdengar di ujung telepon. “Tuan Alexander, kita perlu bicara langsung. Saya a
Alexander duduk dengan wajah serius, telepon di tangannya berdering nyaring. Di ujung sambungan, Tuan Beauvoir dan Helios telah menunggu. Suara Helios terdengar tegang saat menyapa Alexander. “Bagaimana, Alexander? Apakah Han sudah menemukan sesuatu?” Alexander terdiam sejenak, lalu berkata pelan namun tegas, “Ya, dia sudah mendapatkan jawaban. Dalang di balik penyerangan pada kami… ternyata adalah Kakek Beauvoir sendiri.” Suasana di ujung telepon tiba-tiba senyap. Tidak ada yang menyangka hal ini. Tuan Beauvoir dan Helios terkejut. Mereka sudah lama menyangka bahwa pria tua yang telah lama berada di luar lingkaran keluarga itu tidak punya kekuatan lagi untuk mempengaruhi apapun. Tetapi kenyataan ini menghantam mereka dengan keras. “Tidak mungkin…,” suara Tuan Beauvoir bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kakekku? Tapi… dia t
Sore itu, di sebuah ruang tamu yang hening, Alexander dan Helena duduk berhadapan dengan Tuan Smith. Wajah Tuan Smith tampak berat, seolah kata-kata yang akan ia keluarkan begitu membebani pikirannya. Dia menarik napas panjang, dan akhirnya mulai bicara. “Aku butuh pendapat kalian,” kata Tuan Smith, suaranya bergetar tipis. “Monica… dia terus mendesakku untuk menikahinya secara resmi. Dia ingin ada status yang jelas, untuk dirinya dan… anak itu.” Alexander mendengarkan dengan saksama, tetapi tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya. Nama Monica selalu menyisakan rasa pahit di dalam cerita Tuan Smith. Tetapi, setelah beberapa kali pengecekan DNA dilakukan dan hasilnya tak terbantahkan, ia harus mengakui bahwa anak yang dilahirkan Monica adalah adik kandungnya sendiri. Alexander menghela napas, menahan kekesalan yang bergejolak dalam dadanya. Namun, dalam benaknya, terlintas bayangan anak yang tidak bersalah