Setelah pesta tahun baru itu usai, Helena dan Alexander menjadi topik hangat yang tengah dibicarakan.
Banyak orang berlomba-lomba mencari tahu informasi tentang Alexander. Alexander Smith, nama itu mulai melekat pada nama Heceline Beauvoir pada setiap artikel berita. Melihat berita tentang mereka gencar menjadi buah bibir, Alexander dengan segera mengunggah foto pernikahan Helena dan dirinya. Sebuah adegan berciuman menjadi foto terbaik mereka. Alexander mengambil foto bersama kedua anaknya, menegaskan dengan kalimat yang manis bahwa kedua anak itu adalah anak kandungnya. “Bagaimana Ibu mereka akan bertanggung jawab untuk dua bocah menggemaskan ini? Bersiap untuk bayi nomor tiga!” tulis Alexander pada unggahan nya. Jelas saja semua orang memahami jalan ceritanya. SetelahHelena hanya bisa diam dan pasrah saat layar laptopnya ditutup oleh Alexander yang juga memeluknya dari belakang. “Ini di rumah, kenapa kau bekerja di rumah padahal ada aku, kan?” ucap Alexander, berbisik. “Aku hanya sedang melihat sebentar, Alexander. Belakangan ini kau benar-benar jadi banyak maunya, ya?” ujar Helena. Alexander pun tersenyum, tidak bisa menampik ucapan Helena. “Kita harusnya banyak waktu di rumah untuk bersama, tapi kau justru ingin menjadikan rumah sebagai kantor.” protesnya. Helena menghela napasnya. “Mau bagaimana lagi? Pekerjaan ku banyak sekali belakangan ini. Lagi pula, kau sendiri juga butuh konsentrasi untuk mengurus pekerjaan mu dari jarak jauh, kan?” Alexander menganggukkan kepalanya. “Belakangan masalah datang satu persatu, tapi syukurlah karena aku bisa menyelesaikan meskipun jaraknya jauh.”
Berita tentang masa lalu Helena makin marak, bahkan Helena sampai tidak pergi ke kantor karena setiap kali datang ke sana, Helena akan diberondong oleh para wartawan. “Heceline Beauvoir hidup dengan sangat menderita, kemana keluarganya? Apakah dia benar-benar menjadi Ibu pengganti untuk uang?” Banyak sekali artikel bermunculan, mereka kompak menyuarakan penderitaan Helena, dan menanyakan peran keluarga Beauvoir. Hailey pikir, setelah menguak masa lalu Helena yang sangat menyedihkan dan rendahan itu semua orang akan memandang Helena sebelah mata. Sungguh, semuanya terjadi berbanding terbalik! Bukanya merendahkan Helena, kini perhatian dan juga kekhawatiran tertuju kepada Helena. Semua orang menyudutkan keluarga Beauvoir yang membiarkan Nona sah keluarga itu menderita, pada akhirnya semua orang menunggu cerita yang sebenarnya. Di kedi
“Helena, aku...” Alexander kehabisan kata, sadar bahwa seharusnya tidak menjadikan masa lalu Helena sebagai candaan. “Kau tidak akan mengerti betapa sulit dan sakitnya harus menjalani semua itu. Ibuku, aku melakukan segalanya untuk dia, tapi dia pergi begitu saja. Apakah semua itu lucu bagimu?” tanya Helena, matanya memancarkan kekecewaan. Alexander tertunduk lesu, menyesali sikapnya yang sangat tidak masuk akal itu. Tidak ada dipikiran Alexander untuk menganggap lucu masa lalu menyakitkan wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu. Namun, sikap para orang-orang yang mengasihi Helena lah yang dianggap lucu. “Sayang, aku sama sekali tidak bermaksud sampai sejauh itu.” ucap Alexander, tulus. Helena tersenyum kesal. Mau sebanyak apapun kata-kata untuk mengungkapkan kemarahannya juga tidak akan pernah memperbaiki masa lalu yan
“Kekayaaan keluarga Beauvoir adalah milik Nenek kandung kami. Walaupun ada campur tangan Kakek, tapi jangan lupakan fakta bahwa Kakek kami lah yang pernah membuat perusahaan Beauvoir bangkrut. Dengan kemampuan Ayah dan Ibuku, ditambah Nenek juga, akhirnya perusahaan bisa diselamatkan dan berjalan sampai sekarang. Jadi, jangan menganggap bahwa Beauvoir corporation juga adalah milik keluarga yang memiliki embel-embel Beauvoir di belakang namanya.” tegas Helios. Kalimat yang diucapkan Helios barusan menjadi akhir dari pers tersebut. Helena dan Alexander pun meninggalkan tempat tersebut. Setelah pers itu, banyak media kini tengah menyuarakan keadilan untuk Helena atau Heceline Beauvoir. Ketidakadilan yang menimpa nama Heceline harus mendapatkan keadilan. Hampir setiap hari berita tentang Helena terus menjadi bahan pembicaraan, menjadikan nama Heceline Beauvoir sebagai simbol kes
“Ugh! I–Ibu, aku ukhhh!” pekik Hailey, tangannya menahan tangan Jessica yang mencekik lehernya erat. Jessica terlihat begitu marah, matanya nanar. “Andai saja aku membesarkan mu dengan sedikit kasar, Kau pasti tidak akan menjadi sebodoh ini, Hailey! Gara-gara kau, sekarang kerja keras Ibu hancur semua! Orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan ibu kompak menarik diri, mencari jalan untuk selamat! Semuanya, mereka semua menjadikan ibu kambing hitam bahkan untuk kesalahan mereka sendiri! Semua ini, semua ini karena kebodohanmu Hailey.”“Khekk! Ughhh!!” Hailey semakin kesulitan untuk bernapas. Namun, semakin lama melihat hal yang begitu tersiksa sampai wajahnya merah padam Jessica pun tidak tega. Bruk!Hailey terjatuh duduk di lantai saat Jessica melepaskan tangannya. Sebagai seorang ibu, jelas ia merasa menyesal karena telah menyakiti putrinya. Tapi, kebodohan Hailey kali ini benar-benar telah membuat kekacauan besar.
Brak!! Kegagalan itu menghantamnya keras, namun tabrakan sudah tak terelakkan. Mobil Hailey kehilangan kendali, berguling sekali di udara sebelum menabrak pagar rumah Helena dengan suara yang menggelegar. Pagar itu roboh, puing-puing beterbangan ke udara, debu mengepul ke langit. Tubuh Hailey terguncang hebat, setiap sarafnya berteriak kesakitan. Dalam keheningan yang menyesakkan setelah tabrakan, hanya suara napas Hailey yang terdengar memburu. Air mata mengalir deras di pipinya, menetes tanpa suara. Tubuhnya berdenyut sakit dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, dan meski semua sudah berakhir, Hailey tidak dapat merasakan kedamaian di hatinya. “Sudah berakhir, aku jatuh sendirian rupanya. Maafkan aku, Ibu. Hiduplah dengan baik, maaf karena selama ini hanya menjadi beban untukmu.” gumam Hailey di dalam hati. Kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, suara telin
Jessica berdiri di tepi kuburan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa putrinya akan pergi lebih cepat daripada dirinya. “Hailey, Ibu memintamu untuk tidak muncul di hadapan Ibu sampai masalah ini selesai saja, Kenapa kau justru memilih untuk pergi selamanya?” Tangis Jessica tak kunjung berhenti. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, menyadari benar bahwa satu-satunya anak yang ia miliki kini sudah tidak ada lagi. Sekelilingnya, pelayat-pelayat berbisik-bisik, menggumamkan kata-kata yang menusuk hati Jessica. “Itu karma, Hailey memang pantas mendapatkannya,” bisik salah seorang pelayat. “Benar. Aku dengar, Hailey juga mengalami depresi sebelum memutuskan semua ini.” “Dia terlalu banyak mengagungkan dirinya, lupa bahwa hidup tidak hanya sebatas itu saj
Helena dengan langkah tergesa-gesa memasuki ruang rawat di mana Alexander sedang terbaring dengan kaki yang terbalut perban tebal begitu Dokter selesai memeriksa. Di wajahnya tergambar rasa sakit, namun ia berusaha tersenyum ketika melihat istrinya mendekat. Dokter yang merawatnya, dengan raut wajah serius, menjelaskan kepada Helena bahwa, “Pisau yang menusuk kaki Tuan Alexander cukup dalam, mengakibatkan kerusakan pada tulang dan beberapa jaringan di sekitar luka.” Mendengar penjelasan dari dokter itu, Helena pun semakin tak henti-hentinya menangis. “Maaf, Alexander, ini semua karena ku.” “Ayolah, berhentilah menangis, oke?” bujuk Alexander. Tak ada pilihan lain, kini Helena pun hanya bisa berusaha menenangkan diri, meski tangannya gemetar dan matanya sembab. Alexander menggenggam tangan Helena erat-erat, mencoba memberikan kekuatan. “Aku akan baik-baik saja, sayang. Jangan khawatir,” ucap Alexander dengan suara yang lemah namun penuh ketenangan. Dokter mengangguk
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece