Jessica berdiri di tepi kuburan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.
Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa putrinya akan pergi lebih cepat daripada dirinya. “Hailey, Ibu memintamu untuk tidak muncul di hadapan Ibu sampai masalah ini selesai saja, Kenapa kau justru memilih untuk pergi selamanya?” Tangis Jessica tak kunjung berhenti. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, menyadari benar bahwa satu-satunya anak yang ia miliki kini sudah tidak ada lagi. Sekelilingnya, pelayat-pelayat berbisik-bisik, menggumamkan kata-kata yang menusuk hati Jessica. “Itu karma, Hailey memang pantas mendapatkannya,” bisik salah seorang pelayat. “Benar. Aku dengar, Hailey juga mengalami depresi sebelum memutuskan semua ini.” “Dia terlalu banyak mengagungkan dirinya, lupa bahwa hidup tidak hanya sebatas itu sajHelena dengan langkah tergesa-gesa memasuki ruang rawat di mana Alexander sedang terbaring dengan kaki yang terbalut perban tebal begitu Dokter selesai memeriksa. Di wajahnya tergambar rasa sakit, namun ia berusaha tersenyum ketika melihat istrinya mendekat. Dokter yang merawatnya, dengan raut wajah serius, menjelaskan kepada Helena bahwa, “Pisau yang menusuk kaki Tuan Alexander cukup dalam, mengakibatkan kerusakan pada tulang dan beberapa jaringan di sekitar luka.” Mendengar penjelasan dari dokter itu, Helena pun semakin tak henti-hentinya menangis. “Maaf, Alexander, ini semua karena ku.” “Ayolah, berhentilah menangis, oke?” bujuk Alexander. Tak ada pilihan lain, kini Helena pun hanya bisa berusaha menenangkan diri, meski tangannya gemetar dan matanya sembab. Alexander menggenggam tangan Helena erat-erat, mencoba memberikan kekuatan. “Aku akan baik-baik saja, sayang. Jangan khawatir,” ucap Alexander dengan suara yang lemah namun penuh ketenangan. Dokter mengangguk
Tuan Beauvoir menyodorkan sebuah berkas dalam amplop coklat kepada Kakek. “Aku sudah menjelaskan seberapa jauhnya Ayah bertindak yang tidak seharusnya. Tapi, aku akan coba memaklumi dan tidak memberikan hukuman apapun karena sekarang Ayah lah yang akan menanggung segala perbuatan di masa lalu.” Kakek tidak mengatakan apapun, tubuhnya lemas tanpa bisa banyak berkata. Jessica sudah dibawa ke kantor polisi, akan segera diadili. Tidak ada lagi alasan untuknya tetap hidup lama. Tuan Beauvoir menghela napasnya. “Sudah tidak ada lagi yang akan memberikan ancaman kepada Ayah. Jadi, mulai sekarang cobalah untuk hidup dengan benar, lakukan apa yang ingin Ayah lakukan selama itu tidak membuat orang lain merasa rugi.” Kakek mengarahkan tatapan matanya kepada Tuan Beauvoir, “Kenapa kau masih sangat sopan padaku? Apa kau lupa aku telah melukai perasaanmu, Ibumu, dan ketiga anakmu?” Tuan Beauvoir tersenyum lalu menjawab, “Karena Ayah tahu aku sekeluarga bisa melindungi diri kami, tapi s
Sore itu, di sebuah cafe. Helena memutuskan untuk menemui Benjamin, ia pun sudah mendapatkan izin dari Alexander. Namun, tetap saja Helena diantarkan oleh sopir, dan di kawal secara diam-diam. Bagaimanapun, Alexander jelas takut terjadi sesuatu dengan Helena mengingat banyak hal terjadi di luar ekspektasi belakangan ini. Benjamin dan Helena duduk bersebrangan meja. Tidak ada pembicaraan untuk beberapa saat, mereka seperti tengah mempersiapkan diri. “Hecel, aku turut berduka dengan semua yang terjadi di keluarga Beauvoir. Aku ingin turut terlibat tapi orang tuaku melarang keras.” ucap Benjamin, matanya menyorotkan kedukaan yang tak seluruhnya tersampaikan. Menderita, Helena pun menganggukkan kepalanya. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai kau tidak berhenti menghubungi ku, Benjamin?” tanyanya.
Helena membungkuk dan memberikan pelukan hangat kepada setiap anggota keluarga Beauvoir yang berdiri berkumpul di ruang tamu. Mata mereka berkaca-kaca, dan suasana penuh dengan keharuan yang mendalam. “Aku pasti akan merindukan kalian semua,” ucap Helena, terisak bahkan bicaranya tersendat beberapa kali saat bicara. Hendrick memeluk Helena erat, tidak rela harus kembali jauh dengan adik perempuannya setelah susah payah mencari keberadaannya. “Hecel, berani-beraninya pria sialan itu akan mencuri mu, aku tidak rela!” Helena semakin terisak, Helios pun memeluk kedua adiknya itu. “Semua akan baik-baik saja. Kita sudah saling tahu kalau kita keluarga, Hecel juga akan tidak memutuskan hubungan begitu saja dengan kita.” Helena menganggukkan kepalanya. Tuan Beauvoir terduduk lemas, tentu perasaan tidak rela itu amat besar. Melihat sang Ayah, Helena pun melepaskan pelukannya dari Hen
Pagi itu, Han berdiri tegak di ruang kedatangan bandara, matanya tidak lepas memandang pintu keluar. Saat melihat sosok Alexander yang kini bergantung pada kruk, jantungnya berdegup kencang. “Apa yang terjadi dengan Tuan Alexander? Kenapa aku tidak tahu tentang peristiwa ini?” Han berjalan cepat, menghampiri tempat Tuannya itu berada. Dengan hati-hati, Helena mendampingi Alexander, sesekali membetulkan posisi kruk agar lebih nyaman untuk Alexander. Helena merasa lega dan bahagia. Rendy dengan sigap mendorong stroller Angel, yang tampak anteng dengan mainannya. “Bagaimana bisa dia begitu repot? Padahal, dia juga masih sangat kecil.” gumam Helena. Alexander yang mendengar itu sontak saja bereaksi. “Dia harus bersikap dewasa bahkan meski bukan usianya, Sayang. Dia adalah anaknya Alexander, tidak boleh lengah karena nanti hanya dia lah yang bisa melindungi diri sendiri.” Helena menganggukkan kepalanya. Han sudah ada di hadapan Alexander dan keluarga, sebentar membungkuk,
Alexander memeluk Helena dengan erat, bibirnya mengecup lembut bibir wanita yang dicintainya itu. Suhu tubuh mereka meningkat seiring dengan kehangatan yang mereka rasakan. Namun, kehangatan itu segera terputus ketika suara ketukan pintu terdengar, mengganggu momen intim mereka. Tok tok! Alexander mendengus kesal. “Kenapa sih harus mengganggu?” gerutunya. Helena membenahi penampilannya. “Sudahlah... Dengan kondisimu yang begini, memang kau mau melakukan apa, hah?” Alexander membuang napasnya. “Aku bisa tidak melakukan apapun, tapi kau kan bisa.” Mendengar itu, Helena pun menggeleng keheranan. Gegas dia bangkit dari posisinya untuk membukakan pintu. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas, “Maaf mengganggu waktunya, Tuan dan Nyonya. Di ruang tengah, Tuan besar Smith telah menunggu,” ucapnya dengan suara tergesa-gesa. Helena terdiam membeku, tidak tahu harus berkata apa. Alexander menghela napas dalam-dalam, raut wajahnya berubah menjadi muram.
Ucapan Tuan Smith tak diindahkan Alexander. Pria itu memilih diam, tapi keteguhan yang ia miliki tak perlu dipertanyakan. Helena, uang, kedudukan, mereka sangat penting, bonusnya baru anak-anaknya. “Orang tua itu makin cerewet bertambahnya usia. Kenapa tidak simpan saja tenaganya sebanyak mungkin karena jika waktunya tiba nanti, dia akan membutuhkan banyak tenaga untuk mengoceh.” gumam Alexander. Tuan Smith meninggalkan kediaman Alexander tanpa hasil pembicaraan yang memuaskan. Alexander kembali ke kamar, disambut Helena yang nampaknya sangat mencemaskan Alexander. “Lex, bagaimana pembicaraannya?” tanya Helena. Alexander merangkul Helena, gegas Helena membawa Alexander ke tempat tidur, mereka pun mengobrol di sana. “Intinya, Ayah ku itu tidak bisa kita bohongi ten
Siang itu, Helena berjalan dengan langkah pasti menuju ruang kerja para staf di perusahaan Alura Fashion. Meski sebenarnya ruangannya tidak terhubung langsung dengan ruangan CEO, dia memutuskan ini adalah cara terbaik untuk mengenalkan dirinya. Dengan blus putih dan rok pensil abu-abu yang memancarkan aura profesional, dia memasuki ruangan itu tidak sebagai CEO, melainkan mengaku sebagai wakil CEO. Para staf yang sedang sibuk dengan dokumen desain dan komputer mereka, terdiam sejenak ketika Helena memulai bicara. Suaranya tenang namun penuh wibawa, “Selamat siang, saya Helena, wakil CEO baru di sini. Saya berharap kita bisa bekerja sama dengan baik.” Mata Sarah, yang sedang menyesap kopi di pojok ruangan sambil meneliti desain rok kekinian, melebar kaget. Cangkir kopi itu nyaris terlepas dari genggamannya. Wanita itu tidak p