Season II. Beberapa bulan kemudian, kandungan Lily makin membesar. Dokter menyuruhnya banyak istirahat. “Karena anak kembar biasanya lahir prematur,” kata si dokter.Axel yang menemani Lily memeriksakan kandungannya ikutan khawatir. “Apa resikonya, Dok? Apa anak-anak ini bisa mati kalau lahir prematur?” Dokter itu menjelaskan dengan sabar, “Tidak ada resiko yang signifikan, Pak. Kalau sekarang dilihat, bayi-bayi itu tumbuh dengan sehat. Dan beberapa waktu lalu dari hasil pemeriksaan darah dan yang lainnya semua normal.” “Tapi, untuk resiko prematur ....” “Axel,” sergah Lily sambil menggenggam tangan Axel. “Baik kalau begitu, kami permisi dulu.” “Apa?” Axel menatap dengan wajah galak ke arah Lily. Lily tersenyum ke arah dokter itu, lalu ke arah Axel. “Ayo,” ajaknya sambil mendelik. Axel tidak sabaran, mengapa Lily begitu cuek dengan keadaan calon anaknya. Lily berjalan pelan menelusuri koridor rumah sakit, menuju lantai satu. Axel menyusul agar bisa berjalan di sampingny
Season II“Jangan menunggu lagi, Axel,” ucap Tuan Armstrong, “Kau tidak tambah muda, kan?” katanya lagi sambil menepuk pundak Axel dengan lembut. Axel mengangguk-angguk, benar juga apa yang dikatakan Tuan Armstrong. Mungkin tujuan Lily juga tadi menyindir Axel untuk segera menjadikannya istri. “Kalau begitu aku akan meminta Kevin mengurusnya,” ucap Axel mengambil ponsel dari sakunya. Tuan Armstrong menertawakan Axel. Hingga Axel melongo menatapnya. “Kenapa?” “Kau ini, apa-apa minta disiapkan Kevin, atau asistenmu yang dulu-dulu juga begitu. Kau melamar Bree, minta istriku yang menyiapkan semuanya termasuk cincin. Walau, istriku maklum dengan permintaanmu, dan kau memberinya uang membuat dia senang.” Axel jadi ingat masa itu. “Kau ini seperti robot yang sudah diprogram, ‘biar Kevin yang urus’, itu ucapan yang sering kau ucapkan. Kau ini kompeten memimpin perusahaan ini. Sekarang, tunjukkan kau juga kompeten soal percintaan.” Axe tersenyum kecil, konyol sekali rasanya, tapi Axel
Season II“Bahkan ketika aku berteriak dan memanggil namamu,” tambah Lily. Kate meninggalkan Lily dan mengunci kamar rapat-rapat. Kate yakin, apa pun yang Lily akan lakukan adalah adegan orang dewasa yang tidak bisa diganggu siapa pun. Jadi, Kate bersama pelayan dan juru masak, lebih baik diam di kamar belakang. Kate membawa makanan dan minuman. “Kita di sini dulu, paling tidak sampai dua jam. “Apa kau pikir itu cukup?” tanya pelayan kepada Kate. “Cukup. Setelah dua jam aku akan melihat keluar, apakah aman atau tidak.” Pelayan dan juru masak itu manggut-manggut menurut kepada Kate. Sementara, baru beberapa saat mereka saling mengobrol dan makan camilan, terdengar panggilan dari luar. “Kate, tolong! Kate!” Juru masak itu mendengarkan pekikkan yang memanggil Kate. “Bukankah itu Nona Lily, Kate? Dia memanggilmu.” “Ah, tenang saja, itu pasti suara kenikmatan dia. Tadi Lily bilang, jangan keluar meski dia teriak-teriak.” Si pelayan itu mengangguk-angguk. “Apa kau yakin itu suara
Season II“Sampai kau datang membawa orang berduyun-duyun masuk ke apartemen ini. Kau pikir siapa yang main-main dengan perasaan? Aku tidak pernah bermain-main denganmu, Axel!” Axel menelan ludah. Mana sangka tanggapan dari Lily begini. Memang salah Axel sendiri, tidak memberitahu Lily dulu. Tapi, kalau Lily diberitahu namanya bukan kejutan. Namun, kali ini Axel merasakan ketakutan yang luar biasa. Dia tidak ingin Lily pergi begitu saja. “Lebih baik besok-besok tidak perlu seperti ini. Aku akan jawab ya atau tidak saja. Mengapa kau repot sekali? ‘Pasang cincinnya kalau terima’, aduh, aku tidak bisa mengingatnya. Apa yang kau minta lakukan padaku.” “Lily, apa artinya? Aku tidak bisa hidup kalau kau tidak memberikan penjelasan kepadaku.” Lily menarik napas, “Kau memang menyebalkan. Tapi, kau mau hidup denganku, kan?” Axel mengangguk, wajahnya memelas, seperti ingin mendengar langsung jawaban dari mulut Lily.“Aku juga ingin hidup bersamamu. Kalau bisa selamanya,” cicit Lily. Axe
Season II “Um, tadi kami sedang, mau makan malam,” jawab Axel gelagapan. Begitu mamanya menelisik semua yang dipakai oleh Lily. “Aku mengganggu kalian. Kalau begitu kita makan malam dulu,” ajak Nyonya Margot, Lily dan Axel saling bersitatap, lalu menghela napas bersama-sama. Meredith ikutan makan malam. “Jadi, bagaimana Axel mengatakannya kepadamu?” tanyanya dengan antusias. Lily tersenyum dengan lebar, “Jadi ....” Lily bercerita tak kalah antusiasnya. Sampai setiap detik dia ceritakan ke Nyonya Margot dan Meredith. Margot dan Meredith mendengarkan dengan riang, Axel sudah dewasa. “Kenapa kau tidak meminta seseorang untuk mengaturnya untukmu?” tanya Nyonya Margot. “Tidak, aku ingin membuktikan kalau aku kompeten disegala bidang dan aspek kehidupan,” jawab Axel. Nyonya Margot mengangguk-angguk mendengarnya, bangga sekali, anaknya sudah bisa memutuskan mana yang baik dan tepat untuknya. “Bagaimana kalau kalian bermalam di sini?” tawar Nyonya Margor, menatap Lily dan Axel bergan
Season II“Bangun, wanita gila tukang tidur!” Sentak seseorang ditambah pukulan keras di bahu, Bree terbangun kaget. Diaz menunggu di ambang pintu sel yang sudah terbuka. “Cepat, Bree, ada kebakaran di sel depan. Kita dievakuasi.” Bree masih kebingungan, dia hanya mengikuti Diaz berjalan melalui koridor lebar yang kiri kanannya adalah sel. Para tahanan dari semua sel tampaknya sudah keluar semua. Ada asap yang datang dari awah belakang. Bree takut sendiri. Untung Diaz ada di sebelahnya, jadi Bree menggenggam tangan sahabatnya itu. “Aku takut, Diaz,” bisik Bree, jantungnya hampir meledak. “Apa kita akan keluar hidup-hidup dari kekacauan ini?” Alarm makin nyaring berbunyi. “Tenang saja, kau selalu ketakutan begini, hah?” Diaz bicara sinis, sebenarnya karena tidurnya malam ini terganggu. Matanya masih ngantuk berat. “Terkutuklah kepada orang yang membuat kekacauan ini!” maki Diaz. Sejauh mata memandang, para tahanan antre untuk bisa keluar dari area penjara. “Tahanan di sini ba
Season IIMeredith memerhatikan Axel yang menerima telepon itu di ruangan yang lain. “Rasanya bukan, Axel tidak akan sebegitu kebingungan kalau itu hanya telepon dari Kevin.” Lily menaikkan kedua alisnya. “Begitu?” Meredith mengangguk, mengkonfirmasi kalau semua analisanya benar. Matanya memerhatikan gerak gerik Axel yang sepertinya tertekan? Atau .... “Baiklah, kau yang mengerti dirinya sejak lama,” ujar Lily sambil mengedikkan bahu. “Dapat telepon dari siapa Axel?” Meredith menunjuk dengan dagu. “Tampaknya Axel sangat tertekan.” Nyonya Margot memutar badan demi melihat anaknya. “Apakah tentang perusahaan?” tanya Nyonya Margot ikut prihatin. ***“Hallo, selamat siang, benar ini dengan Tuan Axel McAlister?” si penelepon itu membuka obrolan. “Ya, benar,” sahut Axel. “Ini dari mana dan siapa?” “Saya perwakilan dari penjara bagian Napa Valley, apakah bapak akhir-akhir ini tidak melihat berita kalau penjara kami terbakar?” “Apa? Bagaimana bisa? Jadi di sana ada kebakaran? Apakah
Season II“Aku katakan kepada Lily kalau kau pergi mengurusi masalah Bree,” tutur Nyonya Margot begitu Axel pulang. “Ma~aku, kan sudah bilang kalau jangan katakan kepadanya,” Axel menekan kalimatnya. Tidak terima dengan yang Nyonya Margot katakan. “Kau pikir bisa menyembunyikan wajahmu yang kusut begitu. Apa kau akan membodohi Lily?” Axel menghela napas, lalu mengacak rambutnya yang sudah lusuh. Apa yang dikatakan mamanya benar. Tidak mungkin menyembunyikan semuanya dari Lily. “Sekarang kau temui dia—yang sedang memilih warna cat untuk kamar anaknya. Kau lihat, kan? Aku adalah orang tua yang baik.” Axel mendengus, “Iya, Mama selanjutnya akan jadi nenek yang keren.” “Tentu saja,” ucap Nyonya Margot percaya diri. Axel memeluk mamanya, itu yang dia perlukan untuk mengurai kepenatan hari ini. “Aku prihatin dengan keadaan Bree yang meninggal di penjara.” “Mama mengerti Axel. Ini pasti berat untuk kau lalui.” Axel mengangguk pelan, menarik napas berat sekali untuk dilalui. “Di m