Season II“Sampai kau datang membawa orang berduyun-duyun masuk ke apartemen ini. Kau pikir siapa yang main-main dengan perasaan? Aku tidak pernah bermain-main denganmu, Axel!” Axel menelan ludah. Mana sangka tanggapan dari Lily begini. Memang salah Axel sendiri, tidak memberitahu Lily dulu. Tapi, kalau Lily diberitahu namanya bukan kejutan. Namun, kali ini Axel merasakan ketakutan yang luar biasa. Dia tidak ingin Lily pergi begitu saja. “Lebih baik besok-besok tidak perlu seperti ini. Aku akan jawab ya atau tidak saja. Mengapa kau repot sekali? ‘Pasang cincinnya kalau terima’, aduh, aku tidak bisa mengingatnya. Apa yang kau minta lakukan padaku.” “Lily, apa artinya? Aku tidak bisa hidup kalau kau tidak memberikan penjelasan kepadaku.” Lily menarik napas, “Kau memang menyebalkan. Tapi, kau mau hidup denganku, kan?” Axel mengangguk, wajahnya memelas, seperti ingin mendengar langsung jawaban dari mulut Lily.“Aku juga ingin hidup bersamamu. Kalau bisa selamanya,” cicit Lily. Axe
Season II “Um, tadi kami sedang, mau makan malam,” jawab Axel gelagapan. Begitu mamanya menelisik semua yang dipakai oleh Lily. “Aku mengganggu kalian. Kalau begitu kita makan malam dulu,” ajak Nyonya Margot, Lily dan Axel saling bersitatap, lalu menghela napas bersama-sama. Meredith ikutan makan malam. “Jadi, bagaimana Axel mengatakannya kepadamu?” tanyanya dengan antusias. Lily tersenyum dengan lebar, “Jadi ....” Lily bercerita tak kalah antusiasnya. Sampai setiap detik dia ceritakan ke Nyonya Margot dan Meredith. Margot dan Meredith mendengarkan dengan riang, Axel sudah dewasa. “Kenapa kau tidak meminta seseorang untuk mengaturnya untukmu?” tanya Nyonya Margot. “Tidak, aku ingin membuktikan kalau aku kompeten disegala bidang dan aspek kehidupan,” jawab Axel. Nyonya Margot mengangguk-angguk mendengarnya, bangga sekali, anaknya sudah bisa memutuskan mana yang baik dan tepat untuknya. “Bagaimana kalau kalian bermalam di sini?” tawar Nyonya Margor, menatap Lily dan Axel bergan
Season II“Bangun, wanita gila tukang tidur!” Sentak seseorang ditambah pukulan keras di bahu, Bree terbangun kaget. Diaz menunggu di ambang pintu sel yang sudah terbuka. “Cepat, Bree, ada kebakaran di sel depan. Kita dievakuasi.” Bree masih kebingungan, dia hanya mengikuti Diaz berjalan melalui koridor lebar yang kiri kanannya adalah sel. Para tahanan dari semua sel tampaknya sudah keluar semua. Ada asap yang datang dari awah belakang. Bree takut sendiri. Untung Diaz ada di sebelahnya, jadi Bree menggenggam tangan sahabatnya itu. “Aku takut, Diaz,” bisik Bree, jantungnya hampir meledak. “Apa kita akan keluar hidup-hidup dari kekacauan ini?” Alarm makin nyaring berbunyi. “Tenang saja, kau selalu ketakutan begini, hah?” Diaz bicara sinis, sebenarnya karena tidurnya malam ini terganggu. Matanya masih ngantuk berat. “Terkutuklah kepada orang yang membuat kekacauan ini!” maki Diaz. Sejauh mata memandang, para tahanan antre untuk bisa keluar dari area penjara. “Tahanan di sini ba
Season IIMeredith memerhatikan Axel yang menerima telepon itu di ruangan yang lain. “Rasanya bukan, Axel tidak akan sebegitu kebingungan kalau itu hanya telepon dari Kevin.” Lily menaikkan kedua alisnya. “Begitu?” Meredith mengangguk, mengkonfirmasi kalau semua analisanya benar. Matanya memerhatikan gerak gerik Axel yang sepertinya tertekan? Atau .... “Baiklah, kau yang mengerti dirinya sejak lama,” ujar Lily sambil mengedikkan bahu. “Dapat telepon dari siapa Axel?” Meredith menunjuk dengan dagu. “Tampaknya Axel sangat tertekan.” Nyonya Margot memutar badan demi melihat anaknya. “Apakah tentang perusahaan?” tanya Nyonya Margot ikut prihatin. ***“Hallo, selamat siang, benar ini dengan Tuan Axel McAlister?” si penelepon itu membuka obrolan. “Ya, benar,” sahut Axel. “Ini dari mana dan siapa?” “Saya perwakilan dari penjara bagian Napa Valley, apakah bapak akhir-akhir ini tidak melihat berita kalau penjara kami terbakar?” “Apa? Bagaimana bisa? Jadi di sana ada kebakaran? Apakah
Season II“Aku katakan kepada Lily kalau kau pergi mengurusi masalah Bree,” tutur Nyonya Margot begitu Axel pulang. “Ma~aku, kan sudah bilang kalau jangan katakan kepadanya,” Axel menekan kalimatnya. Tidak terima dengan yang Nyonya Margot katakan. “Kau pikir bisa menyembunyikan wajahmu yang kusut begitu. Apa kau akan membodohi Lily?” Axel menghela napas, lalu mengacak rambutnya yang sudah lusuh. Apa yang dikatakan mamanya benar. Tidak mungkin menyembunyikan semuanya dari Lily. “Sekarang kau temui dia—yang sedang memilih warna cat untuk kamar anaknya. Kau lihat, kan? Aku adalah orang tua yang baik.” Axel mendengus, “Iya, Mama selanjutnya akan jadi nenek yang keren.” “Tentu saja,” ucap Nyonya Margot percaya diri. Axel memeluk mamanya, itu yang dia perlukan untuk mengurai kepenatan hari ini. “Aku prihatin dengan keadaan Bree yang meninggal di penjara.” “Mama mengerti Axel. Ini pasti berat untuk kau lalui.” Axel mengangguk pelan, menarik napas berat sekali untuk dilalui. “Di m
Season IIMalam itu Bree memang mengalami luka bakar parah di seluruh tubuhnya. Dia juga berpikir akan segera mati dalam keadaan hina di penjara.Namun, nasib berkata lain. Ketika terkena hawa panas, tidak berdaya dan dia merasa napasnya tinggal satu-satu dan jantungnya akan berhenti, tetiba ada yang menariknya, menolong Bree, menyembunyikan di mobil pemadam lalu membawanya ke rumah sakit. Tanpa diduga, Bree melewati masa kritis, operasi wajah tahap pertama berhasil. Wanda tersenyum begitu orang yang disuruhnya datang ke hadapannya. “Aku tidak sabar menunggu kabar darimu, bagaimana? Berhasil?” tanya Wanda kepada seorang lelaki itu. “Berhasil. Dia sudah dibawa ke rumah sakit, seperti yang Anda perintahkan,” balas si lelaki itu dengan penuh percaya diri. “Bagus. Pekerjaan mudah, kan?” Lelaki itu hanya tersenym sinis. Dia tidak mau menyombongkan diri. Kalau usahanya saat ini berhasil, itu juga karena temannya yang piawai menipu para petugas penjara. “Jadi dia mau dibawa ke Jerma
Season II“Aku ambil minum dulu.” Kate berjalan tergopoh-gopoh ke dapur lalu kembali dengan cepat kepada Lily untuk memberikannya air minum. Tangannya gemetar ketika memberikan Lily minuman, ada ketakutan yang luar biasa dalam diri Kate. Dia juga bingung harus bagaimana? Duduk di sampingnya mungkin itu adalah langkah yang tepat, pikir Kate.“Minum ini dulu, Lily,” kata Kate sambil membantu Lily memegang gelas. Lily tidak bisa memikirkan apa pun. Napasnya hampir habis, hingga dia harus menarik napas sepuasnya ketika dia bisa. “Sakit sekali,” ucapnya. Wajahnya pucat pasi. “Li. Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Kate panik. Mulut Lily masih mendesis-desis, Kate lalu melihat ke arah bawah kaki Lily. “Astaga, Li, kakimu berdarah.” “Apa?” Lily membulatkan mata. “Darah?” ulang Lily. Lalu Lily mengalihkan pandangan ke arah tubuhnya. “Iya, ini adalah darah,” ucapan Lily tak kalah paniknya, dia melihat ke dalam celananya. “Hah, tidak, Kate, tidak. Aku tidak mau ini terjadi.” Lily menangis ter
Season II“Jadi, bagaimana, Dok? Anak-anak saya dan pacar saya?” Axel mendesak dokter itu agar segera memberitahunya apa yang akan dilakukan. “Apakah keduanya bisa diselamatkan?” “Pernah dengar, kan kalau sebagian anak kembar terlahir prematur?” “Ya. Apakah Lily akan segera melahirkan? Usia kandungannya baru tiga puluh minggu. Apakah mungkin?”Dokter itu diam sejenak. “Ya. Kami harus mengeluarkan bayinya karena pendarahan hebat. Tapi ... mohon maaf sekali. Satu bayi Anda sudah tidak bernyawa di dalam kandungan.” “Apa?” Mata Axel membesar, dia lalu melihat ke arah mamanya. Seperti meminta pertolongan. Mata Nyonya Margot juga membesar. “Apa? Apa kau tidak bisa menyelamatkan keduanya?” Dokter itu menghela napas, “Mohon maaf, Bu. Kami akan berusaha di kamar operasi menyelamatkan Ibu Lily dan bayinya. Paling tidak, hanya satu yang bisa selamat. Akan kami informasikan perkembangannya nanti.”Axel menghela napas, “Apakah harus kami minta dokter lain yang lebih ahli? Sepertinya Anda mud