Season II“Jadi, bagaimana, Dok? Anak-anak saya dan pacar saya?” Axel mendesak dokter itu agar segera memberitahunya apa yang akan dilakukan. “Apakah keduanya bisa diselamatkan?” “Pernah dengar, kan kalau sebagian anak kembar terlahir prematur?” “Ya. Apakah Lily akan segera melahirkan? Usia kandungannya baru tiga puluh minggu. Apakah mungkin?”Dokter itu diam sejenak. “Ya. Kami harus mengeluarkan bayinya karena pendarahan hebat. Tapi ... mohon maaf sekali. Satu bayi Anda sudah tidak bernyawa di dalam kandungan.” “Apa?” Mata Axel membesar, dia lalu melihat ke arah mamanya. Seperti meminta pertolongan. Mata Nyonya Margot juga membesar. “Apa? Apa kau tidak bisa menyelamatkan keduanya?” Dokter itu menghela napas, “Mohon maaf, Bu. Kami akan berusaha di kamar operasi menyelamatkan Ibu Lily dan bayinya. Paling tidak, hanya satu yang bisa selamat. Akan kami informasikan perkembangannya nanti.”Axel menghela napas, “Apakah harus kami minta dokter lain yang lebih ahli? Sepertinya Anda mud
Season IIAxel memperhatikan anak itu yang memejam. Tidak ada reaksi apa-apa, sementara perawat memindah-mindahkan anak itu. “Bayinya akan kami taruh di inkubator dulu. Tapi, bapak bisa menengoknya di ruang bayi,” papar si perawat itu. “Baik, terima kasih,” ucap Axel tersenyum sendiri melihat anaknya yang masih merah. “Apa dia akan baik-baik saja?” tanyanya kepada perawat yang sedang membersihkannya. “Dia baik. Tadi kata dokter yang memeriksanya, anak bapak dalam keadaan stabil. Hanya saja setiap bayi prematur, harus ditaruh di inkubator dulu. Nanti kita akan kabari lebih lanjut soal perkembangannya.” “Baik kalau begitu, terima kasih.” Dan sekarang, Axel tidak sabar ingin menggendongnya. Dia mengikuti perawat ke ruang bayi. Lalu melihat bayinya dari luar. “Bapak, bisa masuk dan sapa bayinya,” kata perawat di kamar bayi. “Bisa?” Axel tidak percaya kalau dia bisa ada di samping anaknya sendiri. Perawat itu mengangguk, lalu menunjukkan Axel jubah, agar steril masuk ke kamar bayi.
Season IIAxel memerhatikan ruang operasi yang diambil oleh Kevin. Tampaknya memang nuansanya sama seperti ketika Lily operasi. Namun, Axel tidak mampu menebak apa yang ada dalam pikiran mamanya atau Kevin. “Ini ... ini persis sekali ....” Axel melihat ke arah Kevin, dahinya mengerut. “Ini bisa saja pasiennya lain, karena ada wanita lain yang melahirkan, bukan hanya Lily,” papar Axel, sambil memikirkan apa yang terjadi tadi di ruang operasi. Ada adegan seseorang membawa bayi, bukan perawat memakai masker. Axel mengembalikan ponsel Kevin, “Ada apa sebenarnya?”“Apa kau yakin anakmu meninggal?” tanya Nyonya Margot. “Mama.” Axel menatap mamanya tidak percaya, “Apa Mama masih meragukanku? Astaga,” erangnya. Lelaki itu berdiri dari sofa. Axel menarik napas, berharap tidak mengamuk. “Aku perlu udara, tolong sementara jangan ganggu aku.” Nyonya Margot mencoba hentikan Axel, tapi gagal. “Sudah, Nyonya, lebih baik kita biarkan Axel sendirian.” Nyonya Margot mengangguk-angguk, tubuhnya se
Bab 117 AIKSeason II Kevin dan Tom mencari alamat petugas lepas itu, dalam waktu singkat mereka sudah sampai di apartemen kecil dan lusuh.“Kau yakin ini alamatnya?” tanya Tom ketika melihat pintu apartemen yang sudah usang. “Kalau dari informasi yang diberikan HRD yang tadi, ini alamatnya.” Tom langsung mengetuk pintu, namun, sepertinya tidak ada orang di dalam. Beberapa menit tidak ada jawaban sama sekali, Tom dan Kevin saling bersitatap. “Apakah dia kabur?” tanya Kevin. “Apa benar anak Axel sebenarnya tidak mati?” Beberapa saat, Tom menyalakan rokok, lalu duduk bersila di depan pintu apartemen. “Kenapa kau tidak menjawabku?” omel Kevin. “Karena aku tidak tahu, siapa bosmu saja aku tidak tahu. Kau kadanya cerita tentang mereka. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengannya. Jadi, aku tidak tahu bagaimana perangainya.” Kevin menyusul duduk di sebelah Tom. “Kau benar,” jawabnya. “Boleh minta rokokmu?” Tom memberikan ke Kevin satu batang. Seteah beberapa menit menunggu, seorang
Season IIAxel mendengar suara di luar, tapi dia tidak mau meninggalkan Lily sendirian.Sementara, Lily terlalu fokus memompa ASI-nya, agar bisa diberikan ke anaknya yang masih ada di inkubator. Lily membayangkan, kalau menyusui apakah sesakit ini? Perawat yang membantunya dengan tenang menjelaskan caranya, lalu membantu memijat payudara Lily. “Rasanya sakit,” desis Lily dan menggigit bibir bagian bawahnya. “Apa kau butuk bantuanku?” tanya Axel tidak tega, sudah berapa lama, Lily tersiksa begini. Lilu menggeleng, memejam, menahan sakit. Ternyata setelah melahirkan, menyusui, memompa ASI adalah hal yang paling menyaktikan! Pikir Lily. Dia lantas menatap perawat yang sedang ada di ruangan itu. “Sabar, ya, Bu,” tuturnya lembut. “Sedikit lagi,” bujuknya. “Apakah menyusui juga akan sesakit ini?” tanya Lily dengan polosnya. “Awalnya saja, nanti kalau sudah biasa, tidak akan sakit. Nah, ini sudah,” seru si perawat dengan ramah. “Baik,” ucap Lily sungkan, sambil mengacingkan bajunya l
Season II“Nyonya besok aku mau minta izin untuk cuti,” ucap Meredith dalam perjalanan pulang. Dahi Margot mengerut, “Tidak biasanya kau meminta cuti, ada yang penting?” Meredith gelisah, tidak biasanya dia seperti ini. Karena wanita itu lama sekali bekerja dengan Margot, jadi gelagat itu bisa ditebak oleh Margot. “Apa besok hari besarmu?” Meredith melebarkan mata, “Tidak—hanya mau bertemu dengan teman.” Nyonya Margot bisa menebak kalau teman yang dimaksudkan Meredithm bukan teman biasa. “Lain kali, kau bisa mengenalkannya kepadaku,” ucapan itu membuat Meredirh menatap Nyonya Margot dalam remang. “Apa? Dia hanya—teman. Teman yang biasa seperti hanya teman yang berbagi suka dan duka. Saling cerita,” jelas Meredith gelagapan. Lalu dia menggaruk kepalanya. Menyisir rambutnya yang panjang dengan tangan. “Aku tidak bertanya seperti apa kau berteman dengannya. Aku hanya ingin lain kali, mungkin kau bisa mengenalkannya ke kami. Kami ini juga keluargamu, Mer.” “Baik, Nyonya!” jawab M
Season II“Lama-lama aku tidak paham mengapa Meredith mengajukan cuti lagi hari ini,” omel Nyonya Margot, kesal sekali rasanya di dampingi Maria. Axel dan Lily dari tadi hanya mendengar omelan Nyonya Margot. Tanpa perlu menyahut atau juga memberikannya ketenangan. Margot akan tenang kalau sedang memandangi cucunya. Dan itu sudah dia lakukan sejak pagi. Minta diantar ke rumah sakit pukul enam pagi. “Apa Mama mau sesuatu? Aku akan beli makan siang,” tawar Axel. Sementara Lily menatap Axel, raut wajahnya seperti meminta belas kasihan, jangan tinggalkan aku!“Kalau kau mau beli makan siang, tolong panggilkan perawat yang akan membantuku berjalan, karena rasanya masih sakit,” keluh Lily. “Baik, akan aku panggilkan,” ujar Axel. Sementara Nyonya Margot tidak menanggapi apa pun perkataan Axel. Dia sibuk mengirimi Maria pesan, bagaimana harus bersikap dan sebagainya. “Ma, apa mau makan sesuatu?” tanya Axel sekali lagi. Dan Nyonya Margot tidak menjawab apa pun. Lily memberi tanda agar A
Season II Sedikit dongkol, Meredith mau juga ke rumah sakit untuk menjenguk Lily bersama dengan Steven. “Aku tidak memberi tahu Nyonya Margot aku berhubungan denganmu. Jujur saja, aku belum siap mengatakan itu semua.” Steven kali ini menyetir mobil Meredith. Dia menoleh dan menatap Meredith sekilas. “Kau tidak mau berhubungan denganku yang mantan napi?” tanya Steven. “Aku maklum kalau kau merasa buruk dengan statusku itu.” “Bukan ....” Meredith menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku hanya tidak ingin kalau nanti kita putus, aku harus menjelaskan panjang lebar kepada nyonya.” Steven menghela napas, “Aku hanya pikir itu karena statusku. Kalau begitu, terima kasih.” “Kenapa kau berterima kasih?” tanya Meredith, matanya melebar. “Karena kau tidak mempermaslahkan statusku,” jawab Steven ragu. “Percayalah, Mer, selama aku di sel, aku berjanji setelah keluar akan lakukan apa pun agar kita tetap bersama.” Steven menggenggam jemari Meredith. “Aku tersanjung,” ucap Meredith, matan