Season II“Sebenarnya, aku tidak ingin kakakku kembali ke dalam hidupku, Steve.” Lily mengatakan itu sambil melamunkan kelakuan kakaknya sebelum dia pergi. Mata Steven membesar, “Kalau kau ingin aku berhenti, maka aku tidak akan mencaro lagi.” Lily tersenyum, “Tapi, aku merasa dia adalah satu-satunya saudara kandungku. Dan aku harus menjaganya selama yang aku bisa.” “Tidak ada yang bisa memaksamu, Lily, bahkan kakakmu sendiri. Kalau memang kau tidak mau dia kembali. Maka, aku tidak akan mencarinya lagi.” Lily menatap Steven sesaat, lalu menarik napas, “Mudah-mudahan, apa yang aku lakukan ini benar. Kalau pun kakakku masih hidup dan berhasil kau temukan, semoga dia insyaf, tidak akan mengulangi kesalahannya.” “Jadi? Kau tetap ingin mencarinya?” Lily mengangguk meski ragu menyelimuti hatinya. “Baik kalau begitu, aku akan coba lagi kalau dalam beberapa hari belum ada balasan.” Steven diam beberapa saat. “Soal ini tolong jangan beritahu Axel dulu. Aku yang nanti akan memberitahuny
Season IIKesedihan dalam hati Axel masih seperti badai, menggulung dan menghantan dengan hebat. Begitu keluar dari ruang rapat, air mata Axel tidak bisa dibendung lagi. “Bagaimana bisa mereka hanya bisa bilang seperti itu dengan enteng!” Axel berteriak di koridor rumah sakit. “Harusnya mereka bisa menyelidiki siapa saja stafnya yang terlibat. Bukan bertanya kepada kita, dispensasi apa yang kita mau!” Sementara, Lily mendengarnya di balik pintu. Matanya membesar, apa yang terjadi, sampai Axel marah besar begini? “Sudah, Axel, kendalikan emosimu, ini di rumah sakit,” peringat Nyonya Margot. Steven yang ada di dekat Axel membantunya meredakan emosi. Mengusap punggung lelaki itu. “Ada baiknya, kau duduk dulu, Bro,” katanya dengan lembut. “Ada yang ingin aku ambilkan?” tanyanya. Axel menatap Steven dari samping. “Bisa ambilkan aku minuman yang berat?” suara lelaki itu gemetar.Steven melempar pandangan ke arah Meredith. Wanita itu mengangguk, sepeti mengizinkan Steven mencari minuma
Season IIBeberapa hari berjalan, Axel, Steven dan Tom masih mencari orang yang menggali kuburan untuk anaknya. “Terakhir dia ada di sini, tapi ....” Tom menjambak rambutnya, kesal dan gemas jadi satu. “Dia menghilang?” tebak Steven. “Jadi, selama ini apa kau pernah menemui di mana tempat tinggalnya?” tanya Axel penasaran, di sini panas, dan dari tadi mereka hanya bolak balik saja tanpa ada tujuan yang jelas. “Kita kembali ke hotel,” suruh Axel kemudian. “Aku tidak mau kita hanya ada di jalanan seharian tidak ada kejelasan.” Steven menurut kepada Axel. Mungkin dia punya ide yang lebih cemerlang. Axel kebanyakan menganalisa apa yang sudah Tom dapat hampir satu minggu pencariannya. Axel juga menjabarkan dengan menuliskannya di buku. “Jadi, aku sudah banyak menganalisa pencarian ini. Dan, ada saatnya dia ... maksudku yang menculik anakku ada di kota A lalu ke kota B. Aku pikir Tom melakukan pengintaian dan dia mengetahuinya. Jadi, setiap kali dia merasakan ada yang mengikuti dia b
Season IILean harus berhati-hati, itu pesan yang selalu dikatakan oleh sepupunya. Dahinya mengerut menatap Steven. Apakah harus diterima atau tidak? Lean berpikir terlalu keras. Dia tidak mau kehilangan bayi itu, meski hanya diminta merawat saja. Namun, senyuman Steven menggodanya. Dan tidak mungkin dia tolak. Terus terang saja, sejak perceraian yang terakhir, Lean merindukan belaian lelaki. Dan tangisan seorang anak. Kalau sepupunya menitipkan anak, bisa menjadi hiburan untuknya. Tapi kalau merindukan belaian lelaki? Tidak ada yang bisa menggantikannya. Kecuali ... dia mendekati Steven. “Jadi?” pertanyaan itu memecah kesunyian antara Steven dan Lean. “Oke, kau bisa mulai bekerja besok,” Lean berkata, lalu bersalaman dengan Steven. “Ngomong-ngomong, namaku Lean. Steven tersenyum lebar, “Ah, terima kasih kau sudah mempercayaikju.” “Ini semua karena kau adalah sahabat dari penjual hotdog itu,” kata Lean sambil terus mendekat ke arah Steven. Lelaki itu tentu saja menghindar. “Te
Season II“Ah, lama sekali kau, jadi aku meninggalkanmu tadi. Aku kepanasan di tempat parkir!” omel Axel. Steven semringah, seperti habis dapat sesuatu. “Kenapa kau tersenyum begitu?” tanya Axel. Tom sedang memerhatikan keduanya mengobrol atau berdebat? Steven mengeluarkan foto yang tadi dia ambil. “Apa ini anakmu?” Axel menganga sambil memandangi foto itu. Beberapa saat dia mengerjap lalu mengeluarkan ponselnya yang ada di saku celana. “Aku akan mencocokkan dengan yang aku lihat ketika itu.”“Kau menyimpan fotonya di ponsel?” tanya Steven. Tom mendengus, “Kalau kau menyimpannya. Kenapa tidak beritahu aku? Itu bisa membuat penyelidikanku lebih mudah.” Axel tidak bereaksi apa pun, hanya mendelik ke arah Tom. “Harusnya kau lebih banyak berusaha,” omel Axel lalu menarik napas. “Aku tidak mau berdebat lagi denganmu.” Steven memberi tanda ke arah Tom, menggeleng, seperti bilang, jangan melanjutkan perdebatan. “Apa mirip?” tanya Steven berhati-hati. “Ya, mereka mirip, ini adalaah
Season IISatu hal yang ada dalam pikiran Steven saat ini, bagaimana caranya membawa lari anak ini? Apakah Steven harus berpura-pura menaksir Lean, seperti kata Tom dan Axel. Sial sekali memang demi misi ini Steven harus dekat dengan Lean ....Bayi itu tampak nyaman dalam buaian Dale. Dia tertidur begitu saja. “Ah, kau ini mudah sekali tertidur,” goda Dale membuat Lean menggigit bibir bawahnya, saking gemas. “Apa kau ... menikah, Dale?” tanya Lean pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Karena Dale meletakkan Charlotte di strollernya. “Tidak ...” Steven seperti tertegun. Lalu menatap Lean. “Untuk saat ini aku belum menikah,” jawabnya, Steven pikir ini bisa memancing Lean agar tertarik dengannya. Apa benar yang dikatakan Tom, Lean tertarik dengannya? “Pacar mungkin?” tebak Lean lagi. “Mana ada yang mau berpacaran dengan mantan napi seperti aku.” Wajah Lean bersemu merah jambu, menatap Steven dengan berbinar. Ini kesempatan. KESEMPATAN! Pekiknya dalam hati. Astaga! Steven memaki
Season II“Harusnya kau berhati-hati, walau pun itu dengan karyawan di kantormu sendiri,” peringat Jack. Melihat Lean repot membereskan kamar, mengganti seprei dan menyalakan lilin aroma terapi. “Semoga dia menyukainya,” timpal Lean, tersenyum ke arah Jack. “Bagaimana menurutmu?”“Aku bilang, kau harus hati-hati. Ingat, kita tidak bisa sembarangan menerima atau mengobrol dengan seseorang. Anak itu dititip di sini karena kau menyukai bayi.” Mata Lean berbinar menatap ranjang yang sudah dia tata sedemikian rupa. Membayangkan Dale yang ada di sana, tanpa busana, dengan lekukan perut yang berotot. Lean ingat kemarin lengan atasnya saja sudah menggiurkan, apalagi tubuhnya secara keseluruhan. “Dia baik-baik saja,” jawab Lean, “Memangnya apa yang perlu diwaspadai dari dia?” Jack mendengkus, kesal dengan sepupunya ini. “Kalau sampai anak itu hilang, aku akan menjamin, kau akan mati di tanganku sendiri.” Lean menoleh ke arah Jack. “Kalau begitu bawa anak itu sekarang juga! Malam ini. Kau
Season II Bree meremas kertas yang ada di genggamannya. “Sial” umpatnya. “Apa? Apa yang sial?” tanya Wanda melihat Bree sangat kesal. Saat ini Bree masih dirawat di rumah sakit. “Kau tahu, kan, dokter bilang kau tidak boleh terlalu cemas dan marah. “Ya, aku tidak akan marah kalau ...” Dada Bree naik turun, tidak sanggup berkata lagi. “Oh, aku ingin membunuhnya saat ini,” desisnya, tangannya ada di dadanya yang berdegub sangat kencang. “Hei, kau bisa menjelaskannya kepadaku,” kata Wanda dengan santai. “Kau ingat, kan, begitu kau membawa anak sialan itu aku langsung melakukan tes DNA. Dan kau tahu, DNA anak itu tidak cocok denganku. Golongan darahnya pun tidak sama.” Bree menarik napas seperti ingin menjelaskan lebih jauh ke Wanda. “Memang Axel dan Lily tidak ....” Wanda memperagakan dengan kedua tangan, seperti orang berciuman. “Harusnya tidak! Aku dan Axel hanya meminjam rahim Lily, bibitnya dariku dan Axel. Tapi, apa kau lihat ini?” Bree menyodorkan hasil pemeriksaan DNA. “Dia
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a