Season IILean harus berhati-hati, itu pesan yang selalu dikatakan oleh sepupunya. Dahinya mengerut menatap Steven. Apakah harus diterima atau tidak? Lean berpikir terlalu keras. Dia tidak mau kehilangan bayi itu, meski hanya diminta merawat saja. Namun, senyuman Steven menggodanya. Dan tidak mungkin dia tolak. Terus terang saja, sejak perceraian yang terakhir, Lean merindukan belaian lelaki. Dan tangisan seorang anak. Kalau sepupunya menitipkan anak, bisa menjadi hiburan untuknya. Tapi kalau merindukan belaian lelaki? Tidak ada yang bisa menggantikannya. Kecuali ... dia mendekati Steven. “Jadi?” pertanyaan itu memecah kesunyian antara Steven dan Lean. “Oke, kau bisa mulai bekerja besok,” Lean berkata, lalu bersalaman dengan Steven. “Ngomong-ngomong, namaku Lean. Steven tersenyum lebar, “Ah, terima kasih kau sudah mempercayaikju.” “Ini semua karena kau adalah sahabat dari penjual hotdog itu,” kata Lean sambil terus mendekat ke arah Steven. Lelaki itu tentu saja menghindar. “Te
Season II“Ah, lama sekali kau, jadi aku meninggalkanmu tadi. Aku kepanasan di tempat parkir!” omel Axel. Steven semringah, seperti habis dapat sesuatu. “Kenapa kau tersenyum begitu?” tanya Axel. Tom sedang memerhatikan keduanya mengobrol atau berdebat? Steven mengeluarkan foto yang tadi dia ambil. “Apa ini anakmu?” Axel menganga sambil memandangi foto itu. Beberapa saat dia mengerjap lalu mengeluarkan ponselnya yang ada di saku celana. “Aku akan mencocokkan dengan yang aku lihat ketika itu.”“Kau menyimpan fotonya di ponsel?” tanya Steven. Tom mendengus, “Kalau kau menyimpannya. Kenapa tidak beritahu aku? Itu bisa membuat penyelidikanku lebih mudah.” Axel tidak bereaksi apa pun, hanya mendelik ke arah Tom. “Harusnya kau lebih banyak berusaha,” omel Axel lalu menarik napas. “Aku tidak mau berdebat lagi denganmu.” Steven memberi tanda ke arah Tom, menggeleng, seperti bilang, jangan melanjutkan perdebatan. “Apa mirip?” tanya Steven berhati-hati. “Ya, mereka mirip, ini adalaah
Season IISatu hal yang ada dalam pikiran Steven saat ini, bagaimana caranya membawa lari anak ini? Apakah Steven harus berpura-pura menaksir Lean, seperti kata Tom dan Axel. Sial sekali memang demi misi ini Steven harus dekat dengan Lean ....Bayi itu tampak nyaman dalam buaian Dale. Dia tertidur begitu saja. “Ah, kau ini mudah sekali tertidur,” goda Dale membuat Lean menggigit bibir bawahnya, saking gemas. “Apa kau ... menikah, Dale?” tanya Lean pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Karena Dale meletakkan Charlotte di strollernya. “Tidak ...” Steven seperti tertegun. Lalu menatap Lean. “Untuk saat ini aku belum menikah,” jawabnya, Steven pikir ini bisa memancing Lean agar tertarik dengannya. Apa benar yang dikatakan Tom, Lean tertarik dengannya? “Pacar mungkin?” tebak Lean lagi. “Mana ada yang mau berpacaran dengan mantan napi seperti aku.” Wajah Lean bersemu merah jambu, menatap Steven dengan berbinar. Ini kesempatan. KESEMPATAN! Pekiknya dalam hati. Astaga! Steven memaki
Season II“Harusnya kau berhati-hati, walau pun itu dengan karyawan di kantormu sendiri,” peringat Jack. Melihat Lean repot membereskan kamar, mengganti seprei dan menyalakan lilin aroma terapi. “Semoga dia menyukainya,” timpal Lean, tersenyum ke arah Jack. “Bagaimana menurutmu?”“Aku bilang, kau harus hati-hati. Ingat, kita tidak bisa sembarangan menerima atau mengobrol dengan seseorang. Anak itu dititip di sini karena kau menyukai bayi.” Mata Lean berbinar menatap ranjang yang sudah dia tata sedemikian rupa. Membayangkan Dale yang ada di sana, tanpa busana, dengan lekukan perut yang berotot. Lean ingat kemarin lengan atasnya saja sudah menggiurkan, apalagi tubuhnya secara keseluruhan. “Dia baik-baik saja,” jawab Lean, “Memangnya apa yang perlu diwaspadai dari dia?” Jack mendengkus, kesal dengan sepupunya ini. “Kalau sampai anak itu hilang, aku akan menjamin, kau akan mati di tanganku sendiri.” Lean menoleh ke arah Jack. “Kalau begitu bawa anak itu sekarang juga! Malam ini. Kau
Season II Bree meremas kertas yang ada di genggamannya. “Sial” umpatnya. “Apa? Apa yang sial?” tanya Wanda melihat Bree sangat kesal. Saat ini Bree masih dirawat di rumah sakit. “Kau tahu, kan, dokter bilang kau tidak boleh terlalu cemas dan marah. “Ya, aku tidak akan marah kalau ...” Dada Bree naik turun, tidak sanggup berkata lagi. “Oh, aku ingin membunuhnya saat ini,” desisnya, tangannya ada di dadanya yang berdegub sangat kencang. “Hei, kau bisa menjelaskannya kepadaku,” kata Wanda dengan santai. “Kau ingat, kan, begitu kau membawa anak sialan itu aku langsung melakukan tes DNA. Dan kau tahu, DNA anak itu tidak cocok denganku. Golongan darahnya pun tidak sama.” Bree menarik napas seperti ingin menjelaskan lebih jauh ke Wanda. “Memang Axel dan Lily tidak ....” Wanda memperagakan dengan kedua tangan, seperti orang berciuman. “Harusnya tidak! Aku dan Axel hanya meminjam rahim Lily, bibitnya dariku dan Axel. Tapi, apa kau lihat ini?” Bree menyodorkan hasil pemeriksaan DNA. “Dia
Season II“Terima kasih untuk semuanya,” ucap Lean sambil memeluk Dale dengan erat. “Aku tahu kau begitu baik padaku.” Meski gugup, Dale menyiapkan senyuman yang terbaiknya untuk Lean. “Ya, tentu saja,” ucap Dale lalu membalik badan, senyumannya lebar sambil menatap Lean.. “Kau mau sarapan? Aku jago sekali membuat telur.” “Iya, boleh,” jawab Lean sambil menguap dan berjalan ke meja makan. “Semenjak aku dititipi bayi aku selalu mengantuk.” “Begitu?” kata Dale duduk di samping Lean, menepuk pelan pundaknya. “Sarapan saja dulu,” ucap Dale. “Mau aku suapi?”Lean mengangguk dan membuka mulutnya. Dale menyuapi dengan sabar. Dalam beberapa menit, Lean tertidur di meja makan. Dale memastikan kalau Lean tertidur dengan pulas. Ada pesan yang datang dari Tom: Dia sudah bersamaku, sibuk dengan segala gim yang baru.“Bagus!” Steven lantas bergegas, menggendong bayinya dengan hati-hati. Mengambil beberapa barangnya lalu setengah berlari keluar dari rumah. ***“Jalan, sekarang,” ujar Steven m
Season II“Dasar, bodoh! Bagaimana anak itu bisa hilang?” teriak Bree di sambungan telepon. Urat di lehernya terlihat jelas. “Aku sudah bilang, hati-hati! Biar bagaimana pun, Axel pasti mencari anaknya.” Suara Bree ditekan sedemikiaan rupa, geram, jantungnya bertalu. Lean sampai bergidik menyiapkan jawaban untuk Bree, meski hanya di sambungan telepon, Namun, suara Bree terdengar sangat menakutkan siapa pun yang mendengarnya. Wanda yang ada di ruang perawatan Bree, menutup telinga.“Um, aku juga tidak tahu, ada yang masuk ke dalam rumah, dan mengambil anak itu.” “Apa kau yakin tidak melihat foto orang yang aku berikan?” Bree menatap Wanda dengan tajam. Marah juga ke wanita itu, sementara Wanda hanya mengedikkan bahu menanggapi tatapan Bree. “Tidak. Tampaknya ....” Lean mengingat-ingat wajah Steven. Tapi, dia tidak mau jujur dengan Bree, salah-salah dia nanti akan dibunuh. “Dia tidak mirip Axel yang fotonya kau berikan.” “Apa kau melihat wajahnya, kau bilang tadi dia masuk ke dala
Season II“Sekali-kali kau perlu kuberi pelajaran. Supaya kau tahu bagaimana rasanya jadi perempuan!” “Aw!” Axel memegang kepalanya yang sudah dipukul Margot. “Sakit, Ma.” “Rasakan!” maki Nyonya Margot, lantas berdiri dari kursinya dan berlalu. Kebiasaan baru Nyonya Margot yang dia sangat senangi adalah menemani Lily. Siang ini, Margot menemani Lily yang sedang menyusui Aiden. Tidak jarang Lily kerepotan sendiri ketika anaknya nangis bersamaan. Dan itu menjadi tugas Margot, atau Axel kalau malam, bergantian. Meski sudah ada orang yang membantunya. “Apa sudak selesai?” tanya Margot ketika Lily tersenyum dan menaruh Aiden dalam boks. “Sudah, Charlotte baru saja aku ganti popoknya,” jawab Lily. “Apa kau sudah makan?” tanya Margot sedikit khawatir. “Seingatku wanita yang menyusui nafsu makannya bertambah.” “Ya, memang, aku haus terus dan selalu kelaparan. Apa tidak keberatan kalau aku makan dulu. dan ibu menjaganya?” “Tidak. Aku akan panggil pengasuhnya dan menyuruh pelayan meny