Season IIAxel memerhatikan ruang operasi yang diambil oleh Kevin. Tampaknya memang nuansanya sama seperti ketika Lily operasi. Namun, Axel tidak mampu menebak apa yang ada dalam pikiran mamanya atau Kevin. “Ini ... ini persis sekali ....” Axel melihat ke arah Kevin, dahinya mengerut. “Ini bisa saja pasiennya lain, karena ada wanita lain yang melahirkan, bukan hanya Lily,” papar Axel, sambil memikirkan apa yang terjadi tadi di ruang operasi. Ada adegan seseorang membawa bayi, bukan perawat memakai masker. Axel mengembalikan ponsel Kevin, “Ada apa sebenarnya?”“Apa kau yakin anakmu meninggal?” tanya Nyonya Margot. “Mama.” Axel menatap mamanya tidak percaya, “Apa Mama masih meragukanku? Astaga,” erangnya. Lelaki itu berdiri dari sofa. Axel menarik napas, berharap tidak mengamuk. “Aku perlu udara, tolong sementara jangan ganggu aku.” Nyonya Margot mencoba hentikan Axel, tapi gagal. “Sudah, Nyonya, lebih baik kita biarkan Axel sendirian.” Nyonya Margot mengangguk-angguk, tubuhnya se
Bab 117 AIKSeason II Kevin dan Tom mencari alamat petugas lepas itu, dalam waktu singkat mereka sudah sampai di apartemen kecil dan lusuh.“Kau yakin ini alamatnya?” tanya Tom ketika melihat pintu apartemen yang sudah usang. “Kalau dari informasi yang diberikan HRD yang tadi, ini alamatnya.” Tom langsung mengetuk pintu, namun, sepertinya tidak ada orang di dalam. Beberapa menit tidak ada jawaban sama sekali, Tom dan Kevin saling bersitatap. “Apakah dia kabur?” tanya Kevin. “Apa benar anak Axel sebenarnya tidak mati?” Beberapa saat, Tom menyalakan rokok, lalu duduk bersila di depan pintu apartemen. “Kenapa kau tidak menjawabku?” omel Kevin. “Karena aku tidak tahu, siapa bosmu saja aku tidak tahu. Kau kadanya cerita tentang mereka. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengannya. Jadi, aku tidak tahu bagaimana perangainya.” Kevin menyusul duduk di sebelah Tom. “Kau benar,” jawabnya. “Boleh minta rokokmu?” Tom memberikan ke Kevin satu batang. Seteah beberapa menit menunggu, seorang
Season IIAxel mendengar suara di luar, tapi dia tidak mau meninggalkan Lily sendirian.Sementara, Lily terlalu fokus memompa ASI-nya, agar bisa diberikan ke anaknya yang masih ada di inkubator. Lily membayangkan, kalau menyusui apakah sesakit ini? Perawat yang membantunya dengan tenang menjelaskan caranya, lalu membantu memijat payudara Lily. “Rasanya sakit,” desis Lily dan menggigit bibir bagian bawahnya. “Apa kau butuk bantuanku?” tanya Axel tidak tega, sudah berapa lama, Lily tersiksa begini. Lilu menggeleng, memejam, menahan sakit. Ternyata setelah melahirkan, menyusui, memompa ASI adalah hal yang paling menyaktikan! Pikir Lily. Dia lantas menatap perawat yang sedang ada di ruangan itu. “Sabar, ya, Bu,” tuturnya lembut. “Sedikit lagi,” bujuknya. “Apakah menyusui juga akan sesakit ini?” tanya Lily dengan polosnya. “Awalnya saja, nanti kalau sudah biasa, tidak akan sakit. Nah, ini sudah,” seru si perawat dengan ramah. “Baik,” ucap Lily sungkan, sambil mengacingkan bajunya l
Season II“Nyonya besok aku mau minta izin untuk cuti,” ucap Meredith dalam perjalanan pulang. Dahi Margot mengerut, “Tidak biasanya kau meminta cuti, ada yang penting?” Meredith gelisah, tidak biasanya dia seperti ini. Karena wanita itu lama sekali bekerja dengan Margot, jadi gelagat itu bisa ditebak oleh Margot. “Apa besok hari besarmu?” Meredith melebarkan mata, “Tidak—hanya mau bertemu dengan teman.” Nyonya Margot bisa menebak kalau teman yang dimaksudkan Meredithm bukan teman biasa. “Lain kali, kau bisa mengenalkannya kepadaku,” ucapan itu membuat Meredirh menatap Nyonya Margot dalam remang. “Apa? Dia hanya—teman. Teman yang biasa seperti hanya teman yang berbagi suka dan duka. Saling cerita,” jelas Meredith gelagapan. Lalu dia menggaruk kepalanya. Menyisir rambutnya yang panjang dengan tangan. “Aku tidak bertanya seperti apa kau berteman dengannya. Aku hanya ingin lain kali, mungkin kau bisa mengenalkannya ke kami. Kami ini juga keluargamu, Mer.” “Baik, Nyonya!” jawab M
Season II“Lama-lama aku tidak paham mengapa Meredith mengajukan cuti lagi hari ini,” omel Nyonya Margot, kesal sekali rasanya di dampingi Maria. Axel dan Lily dari tadi hanya mendengar omelan Nyonya Margot. Tanpa perlu menyahut atau juga memberikannya ketenangan. Margot akan tenang kalau sedang memandangi cucunya. Dan itu sudah dia lakukan sejak pagi. Minta diantar ke rumah sakit pukul enam pagi. “Apa Mama mau sesuatu? Aku akan beli makan siang,” tawar Axel. Sementara Lily menatap Axel, raut wajahnya seperti meminta belas kasihan, jangan tinggalkan aku!“Kalau kau mau beli makan siang, tolong panggilkan perawat yang akan membantuku berjalan, karena rasanya masih sakit,” keluh Lily. “Baik, akan aku panggilkan,” ujar Axel. Sementara Nyonya Margot tidak menanggapi apa pun perkataan Axel. Dia sibuk mengirimi Maria pesan, bagaimana harus bersikap dan sebagainya. “Ma, apa mau makan sesuatu?” tanya Axel sekali lagi. Dan Nyonya Margot tidak menjawab apa pun. Lily memberi tanda agar A
Season II Sedikit dongkol, Meredith mau juga ke rumah sakit untuk menjenguk Lily bersama dengan Steven. “Aku tidak memberi tahu Nyonya Margot aku berhubungan denganmu. Jujur saja, aku belum siap mengatakan itu semua.” Steven kali ini menyetir mobil Meredith. Dia menoleh dan menatap Meredith sekilas. “Kau tidak mau berhubungan denganku yang mantan napi?” tanya Steven. “Aku maklum kalau kau merasa buruk dengan statusku itu.” “Bukan ....” Meredith menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku hanya tidak ingin kalau nanti kita putus, aku harus menjelaskan panjang lebar kepada nyonya.” Steven menghela napas, “Aku hanya pikir itu karena statusku. Kalau begitu, terima kasih.” “Kenapa kau berterima kasih?” tanya Meredith, matanya melebar. “Karena kau tidak mempermaslahkan statusku,” jawab Steven ragu. “Percayalah, Mer, selama aku di sel, aku berjanji setelah keluar akan lakukan apa pun agar kita tetap bersama.” Steven menggenggam jemari Meredith. “Aku tersanjung,” ucap Meredith, matan
Season II“Sebenarnya, aku tidak ingin kakakku kembali ke dalam hidupku, Steve.” Lily mengatakan itu sambil melamunkan kelakuan kakaknya sebelum dia pergi. Mata Steven membesar, “Kalau kau ingin aku berhenti, maka aku tidak akan mencaro lagi.” Lily tersenyum, “Tapi, aku merasa dia adalah satu-satunya saudara kandungku. Dan aku harus menjaganya selama yang aku bisa.” “Tidak ada yang bisa memaksamu, Lily, bahkan kakakmu sendiri. Kalau memang kau tidak mau dia kembali. Maka, aku tidak akan mencarinya lagi.” Lily menatap Steven sesaat, lalu menarik napas, “Mudah-mudahan, apa yang aku lakukan ini benar. Kalau pun kakakku masih hidup dan berhasil kau temukan, semoga dia insyaf, tidak akan mengulangi kesalahannya.” “Jadi? Kau tetap ingin mencarinya?” Lily mengangguk meski ragu menyelimuti hatinya. “Baik kalau begitu, aku akan coba lagi kalau dalam beberapa hari belum ada balasan.” Steven diam beberapa saat. “Soal ini tolong jangan beritahu Axel dulu. Aku yang nanti akan memberitahuny
Season IIKesedihan dalam hati Axel masih seperti badai, menggulung dan menghantan dengan hebat. Begitu keluar dari ruang rapat, air mata Axel tidak bisa dibendung lagi. “Bagaimana bisa mereka hanya bisa bilang seperti itu dengan enteng!” Axel berteriak di koridor rumah sakit. “Harusnya mereka bisa menyelidiki siapa saja stafnya yang terlibat. Bukan bertanya kepada kita, dispensasi apa yang kita mau!” Sementara, Lily mendengarnya di balik pintu. Matanya membesar, apa yang terjadi, sampai Axel marah besar begini? “Sudah, Axel, kendalikan emosimu, ini di rumah sakit,” peringat Nyonya Margot. Steven yang ada di dekat Axel membantunya meredakan emosi. Mengusap punggung lelaki itu. “Ada baiknya, kau duduk dulu, Bro,” katanya dengan lembut. “Ada yang ingin aku ambilkan?” tanyanya. Axel menatap Steven dari samping. “Bisa ambilkan aku minuman yang berat?” suara lelaki itu gemetar.Steven melempar pandangan ke arah Meredith. Wanita itu mengangguk, sepeti mengizinkan Steven mencari minuma