Season II“Nyonya besok aku mau minta izin untuk cuti,” ucap Meredith dalam perjalanan pulang. Dahi Margot mengerut, “Tidak biasanya kau meminta cuti, ada yang penting?” Meredith gelisah, tidak biasanya dia seperti ini. Karena wanita itu lama sekali bekerja dengan Margot, jadi gelagat itu bisa ditebak oleh Margot. “Apa besok hari besarmu?” Meredith melebarkan mata, “Tidak—hanya mau bertemu dengan teman.” Nyonya Margot bisa menebak kalau teman yang dimaksudkan Meredithm bukan teman biasa. “Lain kali, kau bisa mengenalkannya kepadaku,” ucapan itu membuat Meredirh menatap Nyonya Margot dalam remang. “Apa? Dia hanya—teman. Teman yang biasa seperti hanya teman yang berbagi suka dan duka. Saling cerita,” jelas Meredith gelagapan. Lalu dia menggaruk kepalanya. Menyisir rambutnya yang panjang dengan tangan. “Aku tidak bertanya seperti apa kau berteman dengannya. Aku hanya ingin lain kali, mungkin kau bisa mengenalkannya ke kami. Kami ini juga keluargamu, Mer.” “Baik, Nyonya!” jawab M
Season II“Lama-lama aku tidak paham mengapa Meredith mengajukan cuti lagi hari ini,” omel Nyonya Margot, kesal sekali rasanya di dampingi Maria. Axel dan Lily dari tadi hanya mendengar omelan Nyonya Margot. Tanpa perlu menyahut atau juga memberikannya ketenangan. Margot akan tenang kalau sedang memandangi cucunya. Dan itu sudah dia lakukan sejak pagi. Minta diantar ke rumah sakit pukul enam pagi. “Apa Mama mau sesuatu? Aku akan beli makan siang,” tawar Axel. Sementara Lily menatap Axel, raut wajahnya seperti meminta belas kasihan, jangan tinggalkan aku!“Kalau kau mau beli makan siang, tolong panggilkan perawat yang akan membantuku berjalan, karena rasanya masih sakit,” keluh Lily. “Baik, akan aku panggilkan,” ujar Axel. Sementara Nyonya Margot tidak menanggapi apa pun perkataan Axel. Dia sibuk mengirimi Maria pesan, bagaimana harus bersikap dan sebagainya. “Ma, apa mau makan sesuatu?” tanya Axel sekali lagi. Dan Nyonya Margot tidak menjawab apa pun. Lily memberi tanda agar A
Season II Sedikit dongkol, Meredith mau juga ke rumah sakit untuk menjenguk Lily bersama dengan Steven. “Aku tidak memberi tahu Nyonya Margot aku berhubungan denganmu. Jujur saja, aku belum siap mengatakan itu semua.” Steven kali ini menyetir mobil Meredith. Dia menoleh dan menatap Meredith sekilas. “Kau tidak mau berhubungan denganku yang mantan napi?” tanya Steven. “Aku maklum kalau kau merasa buruk dengan statusku itu.” “Bukan ....” Meredith menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku hanya tidak ingin kalau nanti kita putus, aku harus menjelaskan panjang lebar kepada nyonya.” Steven menghela napas, “Aku hanya pikir itu karena statusku. Kalau begitu, terima kasih.” “Kenapa kau berterima kasih?” tanya Meredith, matanya melebar. “Karena kau tidak mempermaslahkan statusku,” jawab Steven ragu. “Percayalah, Mer, selama aku di sel, aku berjanji setelah keluar akan lakukan apa pun agar kita tetap bersama.” Steven menggenggam jemari Meredith. “Aku tersanjung,” ucap Meredith, matan
Season II“Sebenarnya, aku tidak ingin kakakku kembali ke dalam hidupku, Steve.” Lily mengatakan itu sambil melamunkan kelakuan kakaknya sebelum dia pergi. Mata Steven membesar, “Kalau kau ingin aku berhenti, maka aku tidak akan mencaro lagi.” Lily tersenyum, “Tapi, aku merasa dia adalah satu-satunya saudara kandungku. Dan aku harus menjaganya selama yang aku bisa.” “Tidak ada yang bisa memaksamu, Lily, bahkan kakakmu sendiri. Kalau memang kau tidak mau dia kembali. Maka, aku tidak akan mencarinya lagi.” Lily menatap Steven sesaat, lalu menarik napas, “Mudah-mudahan, apa yang aku lakukan ini benar. Kalau pun kakakku masih hidup dan berhasil kau temukan, semoga dia insyaf, tidak akan mengulangi kesalahannya.” “Jadi? Kau tetap ingin mencarinya?” Lily mengangguk meski ragu menyelimuti hatinya. “Baik kalau begitu, aku akan coba lagi kalau dalam beberapa hari belum ada balasan.” Steven diam beberapa saat. “Soal ini tolong jangan beritahu Axel dulu. Aku yang nanti akan memberitahuny
Season IIKesedihan dalam hati Axel masih seperti badai, menggulung dan menghantan dengan hebat. Begitu keluar dari ruang rapat, air mata Axel tidak bisa dibendung lagi. “Bagaimana bisa mereka hanya bisa bilang seperti itu dengan enteng!” Axel berteriak di koridor rumah sakit. “Harusnya mereka bisa menyelidiki siapa saja stafnya yang terlibat. Bukan bertanya kepada kita, dispensasi apa yang kita mau!” Sementara, Lily mendengarnya di balik pintu. Matanya membesar, apa yang terjadi, sampai Axel marah besar begini? “Sudah, Axel, kendalikan emosimu, ini di rumah sakit,” peringat Nyonya Margot. Steven yang ada di dekat Axel membantunya meredakan emosi. Mengusap punggung lelaki itu. “Ada baiknya, kau duduk dulu, Bro,” katanya dengan lembut. “Ada yang ingin aku ambilkan?” tanyanya. Axel menatap Steven dari samping. “Bisa ambilkan aku minuman yang berat?” suara lelaki itu gemetar.Steven melempar pandangan ke arah Meredith. Wanita itu mengangguk, sepeti mengizinkan Steven mencari minuma
Season IIBeberapa hari berjalan, Axel, Steven dan Tom masih mencari orang yang menggali kuburan untuk anaknya. “Terakhir dia ada di sini, tapi ....” Tom menjambak rambutnya, kesal dan gemas jadi satu. “Dia menghilang?” tebak Steven. “Jadi, selama ini apa kau pernah menemui di mana tempat tinggalnya?” tanya Axel penasaran, di sini panas, dan dari tadi mereka hanya bolak balik saja tanpa ada tujuan yang jelas. “Kita kembali ke hotel,” suruh Axel kemudian. “Aku tidak mau kita hanya ada di jalanan seharian tidak ada kejelasan.” Steven menurut kepada Axel. Mungkin dia punya ide yang lebih cemerlang. Axel kebanyakan menganalisa apa yang sudah Tom dapat hampir satu minggu pencariannya. Axel juga menjabarkan dengan menuliskannya di buku. “Jadi, aku sudah banyak menganalisa pencarian ini. Dan, ada saatnya dia ... maksudku yang menculik anakku ada di kota A lalu ke kota B. Aku pikir Tom melakukan pengintaian dan dia mengetahuinya. Jadi, setiap kali dia merasakan ada yang mengikuti dia b
Season IILean harus berhati-hati, itu pesan yang selalu dikatakan oleh sepupunya. Dahinya mengerut menatap Steven. Apakah harus diterima atau tidak? Lean berpikir terlalu keras. Dia tidak mau kehilangan bayi itu, meski hanya diminta merawat saja. Namun, senyuman Steven menggodanya. Dan tidak mungkin dia tolak. Terus terang saja, sejak perceraian yang terakhir, Lean merindukan belaian lelaki. Dan tangisan seorang anak. Kalau sepupunya menitipkan anak, bisa menjadi hiburan untuknya. Tapi kalau merindukan belaian lelaki? Tidak ada yang bisa menggantikannya. Kecuali ... dia mendekati Steven. “Jadi?” pertanyaan itu memecah kesunyian antara Steven dan Lean. “Oke, kau bisa mulai bekerja besok,” Lean berkata, lalu bersalaman dengan Steven. “Ngomong-ngomong, namaku Lean. Steven tersenyum lebar, “Ah, terima kasih kau sudah mempercayaikju.” “Ini semua karena kau adalah sahabat dari penjual hotdog itu,” kata Lean sambil terus mendekat ke arah Steven. Lelaki itu tentu saja menghindar. “Te
Season II“Ah, lama sekali kau, jadi aku meninggalkanmu tadi. Aku kepanasan di tempat parkir!” omel Axel. Steven semringah, seperti habis dapat sesuatu. “Kenapa kau tersenyum begitu?” tanya Axel. Tom sedang memerhatikan keduanya mengobrol atau berdebat? Steven mengeluarkan foto yang tadi dia ambil. “Apa ini anakmu?” Axel menganga sambil memandangi foto itu. Beberapa saat dia mengerjap lalu mengeluarkan ponselnya yang ada di saku celana. “Aku akan mencocokkan dengan yang aku lihat ketika itu.”“Kau menyimpan fotonya di ponsel?” tanya Steven. Tom mendengus, “Kalau kau menyimpannya. Kenapa tidak beritahu aku? Itu bisa membuat penyelidikanku lebih mudah.” Axel tidak bereaksi apa pun, hanya mendelik ke arah Tom. “Harusnya kau lebih banyak berusaha,” omel Axel lalu menarik napas. “Aku tidak mau berdebat lagi denganmu.” Steven memberi tanda ke arah Tom, menggeleng, seperti bilang, jangan melanjutkan perdebatan. “Apa mirip?” tanya Steven berhati-hati. “Ya, mereka mirip, ini adalaah