Season II“Bangun, wanita gila tukang tidur!” Sentak seseorang ditambah pukulan keras di bahu, Bree terbangun kaget. Diaz menunggu di ambang pintu sel yang sudah terbuka. “Cepat, Bree, ada kebakaran di sel depan. Kita dievakuasi.” Bree masih kebingungan, dia hanya mengikuti Diaz berjalan melalui koridor lebar yang kiri kanannya adalah sel. Para tahanan dari semua sel tampaknya sudah keluar semua. Ada asap yang datang dari awah belakang. Bree takut sendiri. Untung Diaz ada di sebelahnya, jadi Bree menggenggam tangan sahabatnya itu. “Aku takut, Diaz,” bisik Bree, jantungnya hampir meledak. “Apa kita akan keluar hidup-hidup dari kekacauan ini?” Alarm makin nyaring berbunyi. “Tenang saja, kau selalu ketakutan begini, hah?” Diaz bicara sinis, sebenarnya karena tidurnya malam ini terganggu. Matanya masih ngantuk berat. “Terkutuklah kepada orang yang membuat kekacauan ini!” maki Diaz. Sejauh mata memandang, para tahanan antre untuk bisa keluar dari area penjara. “Tahanan di sini ba
Season IIMeredith memerhatikan Axel yang menerima telepon itu di ruangan yang lain. “Rasanya bukan, Axel tidak akan sebegitu kebingungan kalau itu hanya telepon dari Kevin.” Lily menaikkan kedua alisnya. “Begitu?” Meredith mengangguk, mengkonfirmasi kalau semua analisanya benar. Matanya memerhatikan gerak gerik Axel yang sepertinya tertekan? Atau .... “Baiklah, kau yang mengerti dirinya sejak lama,” ujar Lily sambil mengedikkan bahu. “Dapat telepon dari siapa Axel?” Meredith menunjuk dengan dagu. “Tampaknya Axel sangat tertekan.” Nyonya Margot memutar badan demi melihat anaknya. “Apakah tentang perusahaan?” tanya Nyonya Margot ikut prihatin. ***“Hallo, selamat siang, benar ini dengan Tuan Axel McAlister?” si penelepon itu membuka obrolan. “Ya, benar,” sahut Axel. “Ini dari mana dan siapa?” “Saya perwakilan dari penjara bagian Napa Valley, apakah bapak akhir-akhir ini tidak melihat berita kalau penjara kami terbakar?” “Apa? Bagaimana bisa? Jadi di sana ada kebakaran? Apakah
Season II“Aku katakan kepada Lily kalau kau pergi mengurusi masalah Bree,” tutur Nyonya Margot begitu Axel pulang. “Ma~aku, kan sudah bilang kalau jangan katakan kepadanya,” Axel menekan kalimatnya. Tidak terima dengan yang Nyonya Margot katakan. “Kau pikir bisa menyembunyikan wajahmu yang kusut begitu. Apa kau akan membodohi Lily?” Axel menghela napas, lalu mengacak rambutnya yang sudah lusuh. Apa yang dikatakan mamanya benar. Tidak mungkin menyembunyikan semuanya dari Lily. “Sekarang kau temui dia—yang sedang memilih warna cat untuk kamar anaknya. Kau lihat, kan? Aku adalah orang tua yang baik.” Axel mendengus, “Iya, Mama selanjutnya akan jadi nenek yang keren.” “Tentu saja,” ucap Nyonya Margot percaya diri. Axel memeluk mamanya, itu yang dia perlukan untuk mengurai kepenatan hari ini. “Aku prihatin dengan keadaan Bree yang meninggal di penjara.” “Mama mengerti Axel. Ini pasti berat untuk kau lalui.” Axel mengangguk pelan, menarik napas berat sekali untuk dilalui. “Di m
Season IIMalam itu Bree memang mengalami luka bakar parah di seluruh tubuhnya. Dia juga berpikir akan segera mati dalam keadaan hina di penjara.Namun, nasib berkata lain. Ketika terkena hawa panas, tidak berdaya dan dia merasa napasnya tinggal satu-satu dan jantungnya akan berhenti, tetiba ada yang menariknya, menolong Bree, menyembunyikan di mobil pemadam lalu membawanya ke rumah sakit. Tanpa diduga, Bree melewati masa kritis, operasi wajah tahap pertama berhasil. Wanda tersenyum begitu orang yang disuruhnya datang ke hadapannya. “Aku tidak sabar menunggu kabar darimu, bagaimana? Berhasil?” tanya Wanda kepada seorang lelaki itu. “Berhasil. Dia sudah dibawa ke rumah sakit, seperti yang Anda perintahkan,” balas si lelaki itu dengan penuh percaya diri. “Bagus. Pekerjaan mudah, kan?” Lelaki itu hanya tersenym sinis. Dia tidak mau menyombongkan diri. Kalau usahanya saat ini berhasil, itu juga karena temannya yang piawai menipu para petugas penjara. “Jadi dia mau dibawa ke Jerma
Season II“Aku ambil minum dulu.” Kate berjalan tergopoh-gopoh ke dapur lalu kembali dengan cepat kepada Lily untuk memberikannya air minum. Tangannya gemetar ketika memberikan Lily minuman, ada ketakutan yang luar biasa dalam diri Kate. Dia juga bingung harus bagaimana? Duduk di sampingnya mungkin itu adalah langkah yang tepat, pikir Kate.“Minum ini dulu, Lily,” kata Kate sambil membantu Lily memegang gelas. Lily tidak bisa memikirkan apa pun. Napasnya hampir habis, hingga dia harus menarik napas sepuasnya ketika dia bisa. “Sakit sekali,” ucapnya. Wajahnya pucat pasi. “Li. Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Kate panik. Mulut Lily masih mendesis-desis, Kate lalu melihat ke arah bawah kaki Lily. “Astaga, Li, kakimu berdarah.” “Apa?” Lily membulatkan mata. “Darah?” ulang Lily. Lalu Lily mengalihkan pandangan ke arah tubuhnya. “Iya, ini adalah darah,” ucapan Lily tak kalah paniknya, dia melihat ke dalam celananya. “Hah, tidak, Kate, tidak. Aku tidak mau ini terjadi.” Lily menangis ter
Season II“Jadi, bagaimana, Dok? Anak-anak saya dan pacar saya?” Axel mendesak dokter itu agar segera memberitahunya apa yang akan dilakukan. “Apakah keduanya bisa diselamatkan?” “Pernah dengar, kan kalau sebagian anak kembar terlahir prematur?” “Ya. Apakah Lily akan segera melahirkan? Usia kandungannya baru tiga puluh minggu. Apakah mungkin?”Dokter itu diam sejenak. “Ya. Kami harus mengeluarkan bayinya karena pendarahan hebat. Tapi ... mohon maaf sekali. Satu bayi Anda sudah tidak bernyawa di dalam kandungan.” “Apa?” Mata Axel membesar, dia lalu melihat ke arah mamanya. Seperti meminta pertolongan. Mata Nyonya Margot juga membesar. “Apa? Apa kau tidak bisa menyelamatkan keduanya?” Dokter itu menghela napas, “Mohon maaf, Bu. Kami akan berusaha di kamar operasi menyelamatkan Ibu Lily dan bayinya. Paling tidak, hanya satu yang bisa selamat. Akan kami informasikan perkembangannya nanti.”Axel menghela napas, “Apakah harus kami minta dokter lain yang lebih ahli? Sepertinya Anda mud
Season IIAxel memperhatikan anak itu yang memejam. Tidak ada reaksi apa-apa, sementara perawat memindah-mindahkan anak itu. “Bayinya akan kami taruh di inkubator dulu. Tapi, bapak bisa menengoknya di ruang bayi,” papar si perawat itu. “Baik, terima kasih,” ucap Axel tersenyum sendiri melihat anaknya yang masih merah. “Apa dia akan baik-baik saja?” tanyanya kepada perawat yang sedang membersihkannya. “Dia baik. Tadi kata dokter yang memeriksanya, anak bapak dalam keadaan stabil. Hanya saja setiap bayi prematur, harus ditaruh di inkubator dulu. Nanti kita akan kabari lebih lanjut soal perkembangannya.” “Baik kalau begitu, terima kasih.” Dan sekarang, Axel tidak sabar ingin menggendongnya. Dia mengikuti perawat ke ruang bayi. Lalu melihat bayinya dari luar. “Bapak, bisa masuk dan sapa bayinya,” kata perawat di kamar bayi. “Bisa?” Axel tidak percaya kalau dia bisa ada di samping anaknya sendiri. Perawat itu mengangguk, lalu menunjukkan Axel jubah, agar steril masuk ke kamar bayi.
Season IIAxel memerhatikan ruang operasi yang diambil oleh Kevin. Tampaknya memang nuansanya sama seperti ketika Lily operasi. Namun, Axel tidak mampu menebak apa yang ada dalam pikiran mamanya atau Kevin. “Ini ... ini persis sekali ....” Axel melihat ke arah Kevin, dahinya mengerut. “Ini bisa saja pasiennya lain, karena ada wanita lain yang melahirkan, bukan hanya Lily,” papar Axel, sambil memikirkan apa yang terjadi tadi di ruang operasi. Ada adegan seseorang membawa bayi, bukan perawat memakai masker. Axel mengembalikan ponsel Kevin, “Ada apa sebenarnya?”“Apa kau yakin anakmu meninggal?” tanya Nyonya Margot. “Mama.” Axel menatap mamanya tidak percaya, “Apa Mama masih meragukanku? Astaga,” erangnya. Lelaki itu berdiri dari sofa. Axel menarik napas, berharap tidak mengamuk. “Aku perlu udara, tolong sementara jangan ganggu aku.” Nyonya Margot mencoba hentikan Axel, tapi gagal. “Sudah, Nyonya, lebih baik kita biarkan Axel sendirian.” Nyonya Margot mengangguk-angguk, tubuhnya se