Season IIMalam itu Bree memang mengalami luka bakar parah di seluruh tubuhnya. Dia juga berpikir akan segera mati dalam keadaan hina di penjara.Namun, nasib berkata lain. Ketika terkena hawa panas, tidak berdaya dan dia merasa napasnya tinggal satu-satu dan jantungnya akan berhenti, tetiba ada yang menariknya, menolong Bree, menyembunyikan di mobil pemadam lalu membawanya ke rumah sakit. Tanpa diduga, Bree melewati masa kritis, operasi wajah tahap pertama berhasil. Wanda tersenyum begitu orang yang disuruhnya datang ke hadapannya. “Aku tidak sabar menunggu kabar darimu, bagaimana? Berhasil?” tanya Wanda kepada seorang lelaki itu. “Berhasil. Dia sudah dibawa ke rumah sakit, seperti yang Anda perintahkan,” balas si lelaki itu dengan penuh percaya diri. “Bagus. Pekerjaan mudah, kan?” Lelaki itu hanya tersenym sinis. Dia tidak mau menyombongkan diri. Kalau usahanya saat ini berhasil, itu juga karena temannya yang piawai menipu para petugas penjara. “Jadi dia mau dibawa ke Jerma
Season II“Aku ambil minum dulu.” Kate berjalan tergopoh-gopoh ke dapur lalu kembali dengan cepat kepada Lily untuk memberikannya air minum. Tangannya gemetar ketika memberikan Lily minuman, ada ketakutan yang luar biasa dalam diri Kate. Dia juga bingung harus bagaimana? Duduk di sampingnya mungkin itu adalah langkah yang tepat, pikir Kate.“Minum ini dulu, Lily,” kata Kate sambil membantu Lily memegang gelas. Lily tidak bisa memikirkan apa pun. Napasnya hampir habis, hingga dia harus menarik napas sepuasnya ketika dia bisa. “Sakit sekali,” ucapnya. Wajahnya pucat pasi. “Li. Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Kate panik. Mulut Lily masih mendesis-desis, Kate lalu melihat ke arah bawah kaki Lily. “Astaga, Li, kakimu berdarah.” “Apa?” Lily membulatkan mata. “Darah?” ulang Lily. Lalu Lily mengalihkan pandangan ke arah tubuhnya. “Iya, ini adalah darah,” ucapan Lily tak kalah paniknya, dia melihat ke dalam celananya. “Hah, tidak, Kate, tidak. Aku tidak mau ini terjadi.” Lily menangis ter
Season II“Jadi, bagaimana, Dok? Anak-anak saya dan pacar saya?” Axel mendesak dokter itu agar segera memberitahunya apa yang akan dilakukan. “Apakah keduanya bisa diselamatkan?” “Pernah dengar, kan kalau sebagian anak kembar terlahir prematur?” “Ya. Apakah Lily akan segera melahirkan? Usia kandungannya baru tiga puluh minggu. Apakah mungkin?”Dokter itu diam sejenak. “Ya. Kami harus mengeluarkan bayinya karena pendarahan hebat. Tapi ... mohon maaf sekali. Satu bayi Anda sudah tidak bernyawa di dalam kandungan.” “Apa?” Mata Axel membesar, dia lalu melihat ke arah mamanya. Seperti meminta pertolongan. Mata Nyonya Margot juga membesar. “Apa? Apa kau tidak bisa menyelamatkan keduanya?” Dokter itu menghela napas, “Mohon maaf, Bu. Kami akan berusaha di kamar operasi menyelamatkan Ibu Lily dan bayinya. Paling tidak, hanya satu yang bisa selamat. Akan kami informasikan perkembangannya nanti.”Axel menghela napas, “Apakah harus kami minta dokter lain yang lebih ahli? Sepertinya Anda mud
Season IIAxel memperhatikan anak itu yang memejam. Tidak ada reaksi apa-apa, sementara perawat memindah-mindahkan anak itu. “Bayinya akan kami taruh di inkubator dulu. Tapi, bapak bisa menengoknya di ruang bayi,” papar si perawat itu. “Baik, terima kasih,” ucap Axel tersenyum sendiri melihat anaknya yang masih merah. “Apa dia akan baik-baik saja?” tanyanya kepada perawat yang sedang membersihkannya. “Dia baik. Tadi kata dokter yang memeriksanya, anak bapak dalam keadaan stabil. Hanya saja setiap bayi prematur, harus ditaruh di inkubator dulu. Nanti kita akan kabari lebih lanjut soal perkembangannya.” “Baik kalau begitu, terima kasih.” Dan sekarang, Axel tidak sabar ingin menggendongnya. Dia mengikuti perawat ke ruang bayi. Lalu melihat bayinya dari luar. “Bapak, bisa masuk dan sapa bayinya,” kata perawat di kamar bayi. “Bisa?” Axel tidak percaya kalau dia bisa ada di samping anaknya sendiri. Perawat itu mengangguk, lalu menunjukkan Axel jubah, agar steril masuk ke kamar bayi.
Season IIAxel memerhatikan ruang operasi yang diambil oleh Kevin. Tampaknya memang nuansanya sama seperti ketika Lily operasi. Namun, Axel tidak mampu menebak apa yang ada dalam pikiran mamanya atau Kevin. “Ini ... ini persis sekali ....” Axel melihat ke arah Kevin, dahinya mengerut. “Ini bisa saja pasiennya lain, karena ada wanita lain yang melahirkan, bukan hanya Lily,” papar Axel, sambil memikirkan apa yang terjadi tadi di ruang operasi. Ada adegan seseorang membawa bayi, bukan perawat memakai masker. Axel mengembalikan ponsel Kevin, “Ada apa sebenarnya?”“Apa kau yakin anakmu meninggal?” tanya Nyonya Margot. “Mama.” Axel menatap mamanya tidak percaya, “Apa Mama masih meragukanku? Astaga,” erangnya. Lelaki itu berdiri dari sofa. Axel menarik napas, berharap tidak mengamuk. “Aku perlu udara, tolong sementara jangan ganggu aku.” Nyonya Margot mencoba hentikan Axel, tapi gagal. “Sudah, Nyonya, lebih baik kita biarkan Axel sendirian.” Nyonya Margot mengangguk-angguk, tubuhnya se
Bab 117 AIKSeason II Kevin dan Tom mencari alamat petugas lepas itu, dalam waktu singkat mereka sudah sampai di apartemen kecil dan lusuh.“Kau yakin ini alamatnya?” tanya Tom ketika melihat pintu apartemen yang sudah usang. “Kalau dari informasi yang diberikan HRD yang tadi, ini alamatnya.” Tom langsung mengetuk pintu, namun, sepertinya tidak ada orang di dalam. Beberapa menit tidak ada jawaban sama sekali, Tom dan Kevin saling bersitatap. “Apakah dia kabur?” tanya Kevin. “Apa benar anak Axel sebenarnya tidak mati?” Beberapa saat, Tom menyalakan rokok, lalu duduk bersila di depan pintu apartemen. “Kenapa kau tidak menjawabku?” omel Kevin. “Karena aku tidak tahu, siapa bosmu saja aku tidak tahu. Kau kadanya cerita tentang mereka. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengannya. Jadi, aku tidak tahu bagaimana perangainya.” Kevin menyusul duduk di sebelah Tom. “Kau benar,” jawabnya. “Boleh minta rokokmu?” Tom memberikan ke Kevin satu batang. Seteah beberapa menit menunggu, seorang
Season IIAxel mendengar suara di luar, tapi dia tidak mau meninggalkan Lily sendirian.Sementara, Lily terlalu fokus memompa ASI-nya, agar bisa diberikan ke anaknya yang masih ada di inkubator. Lily membayangkan, kalau menyusui apakah sesakit ini? Perawat yang membantunya dengan tenang menjelaskan caranya, lalu membantu memijat payudara Lily. “Rasanya sakit,” desis Lily dan menggigit bibir bagian bawahnya. “Apa kau butuk bantuanku?” tanya Axel tidak tega, sudah berapa lama, Lily tersiksa begini. Lilu menggeleng, memejam, menahan sakit. Ternyata setelah melahirkan, menyusui, memompa ASI adalah hal yang paling menyaktikan! Pikir Lily. Dia lantas menatap perawat yang sedang ada di ruangan itu. “Sabar, ya, Bu,” tuturnya lembut. “Sedikit lagi,” bujuknya. “Apakah menyusui juga akan sesakit ini?” tanya Lily dengan polosnya. “Awalnya saja, nanti kalau sudah biasa, tidak akan sakit. Nah, ini sudah,” seru si perawat dengan ramah. “Baik,” ucap Lily sungkan, sambil mengacingkan bajunya l
Season II“Nyonya besok aku mau minta izin untuk cuti,” ucap Meredith dalam perjalanan pulang. Dahi Margot mengerut, “Tidak biasanya kau meminta cuti, ada yang penting?” Meredith gelisah, tidak biasanya dia seperti ini. Karena wanita itu lama sekali bekerja dengan Margot, jadi gelagat itu bisa ditebak oleh Margot. “Apa besok hari besarmu?” Meredith melebarkan mata, “Tidak—hanya mau bertemu dengan teman.” Nyonya Margot bisa menebak kalau teman yang dimaksudkan Meredithm bukan teman biasa. “Lain kali, kau bisa mengenalkannya kepadaku,” ucapan itu membuat Meredirh menatap Nyonya Margot dalam remang. “Apa? Dia hanya—teman. Teman yang biasa seperti hanya teman yang berbagi suka dan duka. Saling cerita,” jelas Meredith gelagapan. Lalu dia menggaruk kepalanya. Menyisir rambutnya yang panjang dengan tangan. “Aku tidak bertanya seperti apa kau berteman dengannya. Aku hanya ingin lain kali, mungkin kau bisa mengenalkannya ke kami. Kami ini juga keluargamu, Mer.” “Baik, Nyonya!” jawab M
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a