“Aku tidak akan melakukan apa-apa di sana. Tidak akan gegabah,” ucap Axel sambil berjanji dengan sungguh-sungguh. Seolah Axel tahu ekspresi wajah Nyonya Margot khawatir. “Bagaimana kalau kau tahu siapa pelaku sesungguhnya?” tanya Nyonya Margot tegas dan juga lirih. “Aku akan menyerahkan kasus ini ke pihak terkait. Mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Walau ....” Pandangan Axel beralih ke Lily yang masih terbujur lemas. “Aku tidak akan bisa memaafkan siapa pun pelakunya.” “Sudah kuduga,” ada senyuman tipis di wajah Margot yang sudah mengerut. “Aku pergi dulu,” pamit Axel seraya membuka pintu ruang perawatan. “Pergilah,” jawab Margot sambil mengangguk, seperti memberi restu untuk Axel. Apollo menemani Axel, setelah seorang penjaga datang untuk mengawasi Lily selama dia di rumah sakit. ***Sesampainya di kantor polisi, Axel dan Apollo mendapati kalau si penembak itu sudah ada di sel. “Jadi, apa ada keterangan siapa yang menyuruhnya?” tanya Axel kepada polisi yang menangani kasu
“Keluarga Triton adalah orang kepercayaan mamaku selama bertahun-tahun,” papar Axel. “Dia masuk dalam dewan komisaris yang mendukung kenaikanku menggantikan posisi mama di perusahaan. Jadi ... aku tidak mengerti mengapa dia mengancam bahkan ingin membunuhku. Dia menjadi pengkhianat di sini!"Apollo mengangguk mengerti. “Jadi, kau ingin membuat perhitungan sekarang juga?” tanyanya. “Aku harus menentukan arah tujuan kendaraan ini.” “Kembali ke rumah sakit. Aku memang sangat marah, tapi, aku tahu tidak bisa gegabah. Sementara ini aku tahu dia pelakunya, Billy Triton. Orang yang coba mencelakai anakku.” Apollo mendengarkan ini seksama. Tidak bisa menjawab apa pun yang dikatakan Axel. Dia hanya bisa menurut. Dan memantau perkembangan keamanan terhadap tim yang dipimpinnya. Axel kembali ke ruang perawatan Lily dengan lemas, dia membuka pintu. Lily masih memejam dengan oksigen dan infus di tangan. “Maafkan aku, Sayang ...” katanya dengan lirih sambil mengenggam jemari wanita itu. Tangan
“Maafkan aku sekali lagi, pasti kalian sangat ketakutan kemarin,” ucapan axel terdengar tulus. Suaranya bergetar. Lily melihat mata Axel berkaca-kaca. Jadi, wanita itu bisa memahami kalau anak yang ada dalam kandungannya saat ini sangat berharga untuk Axel. Namun, Lily sangsi, apakah Axel pernah memedulikannya? “Yang penting, aku dan bayi ini selamat, kan?” ucap Lily ragu. Apakah itu yang Axel mau dengar? “Ya, tentu saja, lain kali ... aku akan lebih berhati-hati, khususnya denganmu. Aku akan meminta Apollo mensiagakan tim. Aku akan meminta dia menambah personel untuk menjagamu,” Axel menunduk, matanya terlihat lelah. Lily tertegun, badannya seperti beku dan dingin. Menatap Axel dengan penuh harapan, kalau semua itu Axel lakukan untuk Lily seorang. Paling tidak ketika mereka bercinta kemarin. Di mana hati Lily berbunga, segalanya terasa lebih ringan dan terlihat indah. Apakah Axel tidak merasakan itu? “Apa yang kau rasakan saat ini?” tanya Lily lirih, suaranya hampir menghilang
Bab 61 AIK Apollo dan Axel masih menatap tajam Meredith.Margot menepuk punggung tangan Meredith, seolah mengisyaratkan sesuatu. “Apa kau benar-benar lupa, Axel?” Meredith bersuara. “Memang selama ini ada ingatanmu yang ditidurkan, supaya kau tidak ketakutan sedemikian. Agar semua perasaanmu tidak keluar lalu mengambang. Mungkin ini sebabnya kau juga tidak bisa mengambil keputusan secara tegas.” Axel makin kebingungan dengan perkataan Meredith. “Ada yang bisa menjelaskan dengan bahasa manusia saja?” “Axel, beberapa puluh tahun lalu, kau ingat, kejadian di danau tempat kalian biasa menghabiskan liburan musim panas? Di sana ....” Meredith tidak sanggup menjelaskan, terlalu banyak luka dan sakit hati. “Kau menyelamatkan Bene. Bene Triton, tapi, kau tidak sanggup berenang dan mengambil napas. Jadi, kau pingsan, sementara Bene ....” “Mati?” potong Axel tidak sabaran dengan cerita yang dia dia dengar. “Tapi, aku rasa itu bukan salah satu alasan untuk balas dendam,” celetuk Apollo. S
Meredith yang ada di rumah sakit, menerima telepon Kevin dengan kaget. “Apa? Kau bicara apa? Tidak jelas!” sentak perempuan itu tidak suka. “Kau tahu berita yang baru saja kau sampaikan bisa membuat heboh Nyonya Margot. Kau tahu Axel itu siapa?” Kevin menghela napas, dadanya masih berdebar dengan kencang. Di depannya para tenaga medis berdatangan. “Justru karena aku tahu, aku memberi kabar kepadamu. Pak Axel saat ini terluka. Seseorang menembaknya tadi ketika bersitegang dengan Billy.” Meredith sekali lagi menggigit bibir bagikan bawahnya. Tidak bisa mengatakan apa pun, yang bisa Meredith lakukan adalah menutup sambungan telepon dari Kevin. Apa pun yang terjadi, dia akan memberi tahukan ini kepada Nyonya Margot dan Lily, juga Bree. Namun, semua orang memang harus tahu kabar ini. Meredith berjalan ke ruang perawatan Lily dengan tergesa.Apollo melihat gelagat Meredith yang seperti orang kebingungan. Dia mencegat wanita itu di depan pintu perawatan Lily. “Hei, ada apa?” tanyanya di
Nyonya Margot melihat ekspresi Lily yang berbinar sejak Axel datang. Tapi, tidak bicara, Margot tahu semua itu karena kelegaannya melihat Axel selamat. Semua orang yang ada di ruangan ini berperasaan sama seperti Lily. Tapi, Margot juga harus memberi Lily kesempatan untuk mengungkap semuanya kepada Axel.Mata Margot lalu melirik Axel yang sedang mengobrol dengan Kevin. Terlalu banyak orang di ruangan ini, batinnya berkata. Maka dari itu, Margot menyuruh Meredith, Kate, Kevin dan Apollo keluar dari ruangan ini. Namun, Axel juga mengikuti dirinya. Dengan sigap, Margot mencegat Axel. “Kau tetap di sini!” “Apa? Bukankah aku harus ....” “Tetap di sini, temani Lily. Kau tahu dia hampir kena serangan jantung ketika mendengar kau terluka,” ucapan Margot seolah final. Axel tidak bisa melawannya lagi. Margot berjalan begitu saja meninggalkan Axel yang masih melongo di ambang pintu. Sementara Lily masih melongok ke arah Axel dan Margot yang ada di depan pintu. Axel berdeham dan menghela n
Sementara itu di apartemen Bree.“Mengenai pengawal yang ada di apartemen, aku akan menariknya, karena masalah teror ini sudah selesai.” Bree menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu,” jawabnya, suaranya dibuat sedemikian agar Bree terdengar sangat tulus. Padahal Bree hanya berbahagia kalau sekarang dia bisa bebas bertemu dan pergi ke mana pun dia mau. Diego yang selalu dia rindukan. Entah berapa banyak pesan yang saling mereka kirim setiap hari. Bree mengantisipasi apartemennya ada yang menyadap. Jadi, dia membatasi semua bentuk percakapan di apartemen itu. “Baik kalau begitu, kau akan pulang malam ini, kan? Mau kumasakkan sesuatu?”Axel menghela napas, “Apa, ya?” tujuan Axel hanya satu ingin memberitahukan keadaan anak yang ada di rahim Lily. “Bisa kau buatkan aku daging semur? Yang waktu itu pernah kau buatkan? Mungkin nanti saat pulang aku akan sangat kelaparan.” Bree tersenyum, “Baiklah. Aku akan buatkan. Pulang cepatlah,” katanya lagi. ***Beberapa jam kemudian, Axel mu
Diego menyambut Bree walau wajah wanita itu masam. Bree langsung mengambil bir dalam kulkas, agar tenggorokan dan juga hatinya lega dan tenang sedikit. Bicara soal bayi rasanya membuat harinya berantakan. “Bayi, bayi, bayi terus yang Axel bicarakan, huh ....” Bree mengenyakkan badan di sofa dekat dengan Diego. “Aku juga mau punya bayi,” ujar Diego riang dan antusias. Bree mendelik ke arah Diego, seolah tidak ada yang membuatnya bahagia kecuali uang. “Kau bisa punya sendiri,” desisnya.“Aku tidak punya rahim. Bayi hidup di rahim ibu,” jawab Diego konyol. Bree menggenggam kaleng bir dengan erat. “Apa ada yang bisa membuatku tersenyum hari ini. Dua hari lagi Axel menyuruhku untuk memilih rumah yang cocok dengan anak-anak, yang ada di pusat kota.” Diego mendekatkan tubuhnya ke arah Bree dan menggodanya. “Bagaimana kalau aku membuatmu sibuk di ranjang.” Bree sebenarnya sedang ada dalam mood yang jelek. Tapi, Diego tidak pernah gagal memberinya kepuasan. “Aku harus pulang nanti sore