Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.
“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”
Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.
“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”
“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.
Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”
“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak sama suami.”
Anne tak tahu harus bahagia atau bagaimana. Ucapan demi ucapan Mara terkesan berlebihan. Untuk ukuran gadis muda sepertinya, mengapa begitu mudah menerima permintaan Anne?
***
Pramam sedang membuat adonan kue. Ia memisahkan kuning dan putih telur sesuai kebutuhan resep. Semenjak Anne hamil dulu, kebiasaan memasak kue seperti ini sudah jarang terjadi karena istrinya akan langsung mual begitu mencium aroma amis.
Lalu sekarang setelah melewati fase kehilangan itu, Pramam mencoba menghibur sang istri dengan kue buatannya yang tak kalah enak dari kue toko dan kafe terkenal. Setelah selesai mengadoni, Pramam memasukkannya ke dalam oven. Menunggu hingga masak.
“Hmm, baunya sampai ke kamar.” Anne muncul setelah menuruni anak tangga. Tangannya melingkari pinggang Pramam, menunjukkan rasa manja di mana ia ingin menarik perhatian suami. “Mas lagi buat apa, sibuk banget kelihatannya.”
Pramam memutar tubuh, menghadap Anne sepenuhnya. Ia mencolek ujung hidung Anne yang mancung dengan sisa tepung di tangan. Si jelita mendengkus sebal, mengusak wajah di pakaian Pramam.
“Kue buat kamu dong, emang siapa lagi?”
“Ah, masa?” sahut Anne tak percaya sambil memasang wajah mengejek.
“Iya, Sayang.” Hingga kemudian, Pramam menjatuhi kecupan di wajah Anne. Dan berakhir satu ciuman panjang di bibir.
Rencana melanjutkan ke sesi utama mendadak terhenti begitu bel rumah terdengar. Seseorang datang bertamu di tengah momen pemanasan ini, Pramam mengeluh. Sementara Anne tersenyum geli.
“Siapa, sih, yang datang?”
“Eh, aku lupa kasih tahu ya?” sahut Anne yang hendak pergi menuju pintu. “Temanku datang, orang yang mau bantu kita buat programnya Dokter Mega.”
Dari tampang Pramam yang terlihat, Anne merasa sedikit bersalah karena sebelum ini, ia belum mengatakannya. Sesegera mungkin Pramam membereskan meja dapur dan mencuci tangan sebelum menghambur ke ruang tamu. Perasaannya semakin tidak enak, takut kalau-kalau sosok yang datang adalah orang yang beberapa terakhir terus menghindarinya.
Mara sudah benar-benar pergi dan tidak pernah lagi kembali ke apartemen. Bahkan telepon dan pesan singkat dari Pramam saja tak dibalasnya sama sekali. Pramam sadar ini semua kesalahannya, tapi ia tidak ingin berpisah dengan cara seperti ini. Sikap Mara sangat menyiksanya.
“Semoga bukan Mara yang datang,” ujar Pramam dalam benak.
Dengan langkah jenjang, tubuh tegap, Pramam berjalan menuju ruang tamu. Terdengar suara tawa kecil Anne yang membuat perasaannya ikut senang dan juga lega. Sudah lama, ia tidak mendengar Anne sesenang itu. Mengingat sikap ibu Pramam yang kerap membuat suasana hati Anne mendung sewaktu hamil lalu.
Begitu sampai di ruang tamu, teman Anne menghadap ke pintu. Pramam hanya bisa melihat punggung dan wajah istrinya yang riang. Perasaannya ikut hanyut kala melihat mata indah yang berbinar di sana.
“Sayang,” panggil Pramam pelan. Anne mengangkat tangan, memintanya datang.
Entah mengapa hawa di ruangan itu berubah mencekam. Perasan tidak enak kembali menggerayangi benak Pramam. Kakinya sudah mencapai sofa, tepat di belakang sang tamu.
Debar jantungnya tak keruan sewaktu menangkap aroma parfum yang menusuk hidung. Pramam tak akan bisa lupa merk pewangi wanita yang tertangkap indera penciumannya itu. Dalam hati, ia masih berharap kalau bukan Mara yang berkunjung.
Anne beranjak dan diikuti wanita itu. Saat memutar tubuh dan bersitatap dengannya, Pramam merasa terhempas dari kehidupan. Kerongkongannya tercekat dan disertai debar yang bergerak lebih kencang dua kali lipat dari sebelumnya.
“Kenalin, Mas, temanku.” Anne menyeletuk lebih dulu. “Namanya—“
Wanita itu mengulurkan tangan pada Pramam. Senyum ramah yang biasa ia temukan di setiap waktu. Di setiap sudut apartemen, dan setiap ia menjejaki tanda kemerahan di tubuh wanitanya.
“Saya Mara. Mara Cikal.”
Setelah sekian lama tak bertemu dan tidak mendapat kabar soal Mara, Pramam justru dikejutkan dengan kemunculan gadis itu di rumah. Penampilannya tetap stunning, riasan tipis dengan pewarna bibir merah gelap yang pekat. Sosok yang ternyata digadang akan menolong Anne agar mereka mendapat keturunan.
Pramam tidak mampu membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. Ke depannya ia harus bersinggungan dengan kekasih sekaligus istri di tempat dan waktu bersamaan. Gila, ini benar-benar gila!
“Mara ini kepala klinik yang biasa aku datangi buat treatment, Mas,” celetuk Anne setelah mempersilakan suami dan Mara duduk.
Pramam menempati sofa bersebelahan dengan Anne. Sementara Mara duduk di seberang. Wajahnya tampak biasa saja, tidak ada hal buruk yang tergambar di wajah putih bersih itu.
Berbeda dengan Pramam yang sudah berkeringat dingin. Jantung berdebar dan pikiran yang sulit diajak kerjasama. Otaknya tertuju pada ketakutan karena bisa saja Mara membongkar semua hubungan gelap itu di hadapan Anne sekarang.
Mara tersenyum ramah. “Saya juga yang antar Mbak Ann ke rumah sakit waktu pendarahan. Kita juga sempat ketemu di ruangan sama Pak Yon juga.”
“Oh, iya … saya ingat,” sahut Pramam terbata.
Sejurus kemudian, Pramam bangkit dari duduk, hendak mengambil minum dan kudapan untuk tamu. Namun, Anne menahannya lantaran wanita itu sudah mempersiapkan beberapa camilan untuk Mara. Kini tinggallah Pramam dengan Mara di ruang tamu begitu Anne pergi ke dalam.
“Ra, kamu ngapain ke sini?” Pramam beringsut, duduk di sebelah Mara dan langsung menggenggam tangan si wanita erat.
Mara menepisnya kasar bersama embusan napas pendek. “Aku datang buat memenuhi undangan Mbak Anne, bukan mau ketemu kamu, Mas.”
“Kamu pikir aku nggak tahu rencana Anne yang minta tolong soal rahim pengganti?” ucap Pramam heran. “Kenapa kamu sebodoh itu mau menerima permintaan Anne? Aku nggak akan biarkan kamu beri rahim itu buat Anne, Ra.”
“Mas nggak usah peduli lagi, hubungan kita udah berakhir,” tandas Mara. “Rahim ini milikku, jadi aku berhak mau apakan tubuhku. Kamu bukan siapa-siapa.”
Pramam dibuat menganga. Helaan napasnya cukup panjang saat itu, selama beberapa saat ia menatap Mara lekat. Kedua irisnya terlihat sembab, sudah pasti wanita itu terlalu banyak menangis setelah mengetahui fakta gila dari Pramam yang ternyata suami dari sahabatnya sendiri.
“Aku bakal pergi jauh dari kamu asal … asal kamu batalkan permintaan Anne.” Meski rasanya berat harus memutuskan Mara di saat sedang cinta-cintanya, Pramam tak memiliki opsi lain.
Alih-alih mengangguk, Mara justru terkekeh geli. Muncul seringai di wajah yang menandakan ketidaksetujuannya terhadap perkataan Pramam. Gadis itu benar-benar di luar ekspektasi.
“Mbak Anne itu baik, sekalipun aku harus memilih, aku akan pilih Mbak Anne daripada kamu, Mas.”
“Ra—“
Ucapan Pramam terpotong begitu mendengar derap langkah yang mendekati ruang tamu. Sesegera mungkin ia berpindah ke tempat semula, mengambil jarak seluas-luasnya dengan Mara. Tak lama sosok Anne muncul bersama asisten rumah tangga yang mengikutinya di belakang, sambil membawa nampan berisi minum serta camilan yang aromanya cukup lezat.
“Kelihatannya kalian udah ngobrol banyak, ya.” Anne membeo begitu duduk, wajahnya terlihat semringah. Tidak tahu saja ia ada konversasi panas sebelum ini.
Mara baru saja menyeruput teh bunga camellia pun tersenyum. Tergambar ketulusan dari rautnya. “Baru sedikit, Mbak,” katanya. “Dan suami Mbak Ann ini mendukung penuh soal rahim pengganti.”
Pramam terhenyak di tempat. Matanya beradu dengan milik Mara yang kini menyipit karena terus melempar senyum pada Anne. Rupanya wanita kesayangannya itu tidak main-main dengan keputusannya.
“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.” “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.“Karena Mbak An
Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan
Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya
Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s
Anne tidak merasa aneh awalnya. Ketika Pramam mendadak menelepon dan meminta Mara untuk tinggal bersama di rumah mereka. Namun, sejalan dengan langkahnya yang bergerak kembali ke kamar sang adik di rawat, pikirannya menjadi penuh. Beragam kemungkinan dan dugaan memenuhi kepala. Lagi pula urusan berkas perjanjian sudah disetujui Mara. Lalu mendadak suaminya justru memohon agar Mara pindah tempat tinggal sementara. Meskipun Anne sudah menyiapkan banyak hal di suatu apartemen untuk kebutuhan Mara, tetap saja suaminya kekeh memaksa. Dan satu hal yang menyorot kecurigaan, dalam berkas yang dibuatnya, Mara akan mulai tinggal ketika sel embrio mulai berkembang. Dokter Mega pun belum mengatakan apa pun pada Anne tentang proses itu. Rasanya ada yang kurang beres kalau begini. “Mbak Ann apa nggak sebaiknya pulang aja ke rumah?” ujar Arian. “Aku nggak enak sama Mas Pram. Kesannya aku nahan Mbak di sini, jadi nggak bisa urus suami.” Anne berjengkit, lamunannya disudahi begitu saja akibat tutu
Anne menutup wajah, air mata sudah membanjiri pipi. Buru-buru ia menyeka dan beranjak pergi ke toilet. Alasannya mengurusi Arian merupakan dalih agar telepon dari Ina tadi bisa dihentikan secepat mungkin. Air mata Anne tak terbendung lagi jika ditahan terus-menerus. Begitu sampai di bilik toilet, Anne menghempaskan diri dan duduk di atas kloset. Tangisnya tumpah dan kian menderas tanpa suara. Dering gawai yang nyaring mengambil alih atensi Anne. Ia merogoh tas dan meraih ponsel. Rupanya Arian yang menelepon. “Mbak di mana? Mas Pram datang nih, Mbak. Aku baru bangun, udah ada orangnya aja di sini.” Begitu kata Arian di awal pembicaraan. Anne mengerjap kaget. “Mas Pram?” tanyanya tak peduli seberapa parau suaranya sekarang. “Mbak Ann lagi nangis?” Sedikit menjauhkan ponsel, Anne menenangkan diri sejenak. Kemudian ia kembali menyahuti Arian. “Sebentar lagi Mbak ke kamar kamu, ini masih di luar,” sergahnya yang langsung mematikan telepon. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Menga
Pramam membuang napas kasar ke sekian kali. Ditatapnya pintu ruang VIP sembari memanggil salah satu staffnya. Barangkali Anne kembali dari toilet tanpa sepengetahuannya. Itu jelas akan membahayakan rumah tangga serta kehamilan Mara nantinya.Ia berhasil menghubungi Adrin. Pria yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya dan mampu menjaga rahasia. Belum lagi ketika masih menjalin hubungan dengan Mara, Adrinlah yang kerap membantu Pramam mengatasi segala kemungkinan terburuk.“Pokoknya kamu urus Mara di rumah selagi Ibu saya datang, jangan sampai gadis itu mengatakan hal-hal di luar rencana,” titah Pramam pada Adrin yang langsung disetujui.“Kalau ada masalah sedikit saja, saya bisa lenyapkan kamu, Drin,” sambungnya.Sambungan itu lekas dimatikan sebelum Anne kembali. Tepatnya satu menit setelahnya, sosok istri Pramam membuka pintu dan memberikan senyum manis. Parasnya yang ayu tampak jauh lebih segar daripada tadi di rumah sakit.Pramam kontan mendekat, memeluk tubuh Anne dan mengusap
Pramam mengangsurkan piring berisi buah-buahan segar, seperti anggur merah kesukaan Anne. Wanita yang baru saja menuntaskan mandinya kini melangkah menuju bibir ranjang. Tubuhnya sudah dibalut bathrobe bersama rambut yang dilapisi handuk.Anne akhirnya bermalam di kamar hotel yang dipesan sang suami. Begitu mendapati izin dari Arian, tentu saja Pramam girang dan meminta jatah untuk ke sekian kali. Meski Anne sudah menolak karena lelah, tapi mereka tetap melakukannya hingga Pramam terlelap demi menghindari pertanyaan sang istri soal Dokter Mega.“Coba dulu, Sayang.”Pramam memberikan sebutir anggur untuk disuapkan pada Anne. Wanita itu membuka mulut lebar dan menerimanya. Gigitan pertama berhasil membuat irisnya membulat akibat rasa manis yang menyegarkan memenuhi mulut.“Enak banget, mau lagi!” pintanya kemudian yang langsung dipenuhi Pramam.Setelah puas menyuapi istri, Pramam merebahkan diri dengan menumpu kepala menggunakan tangan. Tatapnya terus tertuju pada pesona Anne yang kini
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya