Share

5. Sebutan

Author: Namericanou
last update Last Updated: 2023-04-16 05:41:59

 “Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening.

 “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”

Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”

“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”

Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”

Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”

“Ada, kok.”

Laki-laki itu masih tak habis pikir pada rencana gila Anne. Setelah kehilangan, seharusnya wanita itu istirahat dan menenangkan pikiran. Bukan malah merencanakan sesuatu yang kesannya tidak adil.

Menyewa rahim atau rahim pengganti apalah itu istilahnya, terdengar buruk sekali. Terkesan seperti barang saja, ada istilah sewa menyewa. Sebagai wanita, mengapa pikiran buruk itu jadi menyelimuti kepala Anne?

“Ini kita nggak bisa asal-asalan, harus betulan dicek biar nggak berdampak buruk ke bayi kita nanti,” tandas Pramam masih mencoba menyadarkan sang istri.

Anne manggut-manggut seakan mengerti betul. “Perempuan dalam masa subur, sehat, dan kondisinya oke. Aku udah berhasil menemukan siapa yang cocok,” cetusnya tenang. “Aku jamin, dia nggak akan nolak tawaran ini.”

Seketika Pramam mengernyitkan kening. “Siapa … orangnya?”

“Nanti aku kenalin, dia sahabatku,” terang Anne antusias. “Udah kayak adik kandungku sendiri, kamu pasti suka karena kualitasnya cukup baik.”

Melihat keberadaan Mara di ruangan Anne tadi, Pramam tidak akan lupa betapa marahnya gadis itu. Ditambah ketika Mara mengaku jika Anne cukup berarti baginya. Kini Pramam berharap kalau perempuan yang dimaksud istrinya bukanlah Mara Cikal. Semoga.

***

Setelah suaminya benar-benar pergi, barulah Anne membersihkan diri. Dimulai dari lulur, mencukur, hingga berendam di air penuh wewangian. Segalanya ia lakukan untuk menyenangkan diri sekaligus siap-siap bertemu seseorang penting siang ini.

Tubuh yang dibalut blouse merah jambu itu muncul dan disertai lambaian tangan. Tak lupa senyum khasnya terulas baik di bibir. Mara Cikal mendekati meja Anne dan menyapa ramah seperti sebelumnya.

Keduanya saling mengecup pipi kanan dan kiri seperti wanita kalangan atas. Kemudian mereka duduk dan mengobrol seperti biasa. Sesekali Anne melempar candaan yang menurut Mara aneh dan rasanya tidak benar, mengingat momen buruk belum lama ini dialami wanita itu.

“Sebelumnya aku minta maaf, Mar,” tukas Anne. “Seharusnya obrolan itu nggak melalui telepon, tapi secara langsung begini.”

Mara mengulum senyum. “Nggak pa-pa, Mbak. Aku ngerti, kok.”

“Makasih ya, Mar.” Hati Anne trenyuh dan penuh haru. “Saat itu rasanya campur-campur sampai nggak sadar apa aja yang aku omongin sama kamu ternyata kurang benar.”

Seminggu lalu, saat masih berada di rumah sakit untuk proses pemulihan, Anne kerap menelepon Mara. Sampai ia tersadar kalau tindakannya kurang benar. Lantas barulah ia membuat janji dengan gadis itu setelah keadaannya membaik.

“Mbak, baik-baik aja, ‘kan?” tanya Mara khawatir.

Anne mengedikkan bahu. “Aku berharapnya juga baik, tapi apa daya. Kehilangan anak ke sekian kali? Rasanya ya … nggak bisa tergambar lewat kata-kata.”

Hingga kemudian, Anne mengungkap semua perasaan yang terpendam. Dilanjutkan dengan rencana yang sempat Mara dengar melalui telepon. Sampai akhirnya, hal tak terduga muncul tiba-tiba. Anne menginginkan sesuatu dari Mara.

Anne mengulurkan tangan, meremas pelan milik Mara. “Aku mohon, bantu aku, Mar,” pintanya dengan wajah memelas. “Aku nggak tahu mau minta tolong siapa selain kamu. Aku udah bingung banget harus gimana lagi.”

“Mbak …” balas Mara lirih. Suaranya tercekat dengan napas tertahan. Dilihatnya sepasang mata bulat indah itu yang kini berubah sendu.

I’ll try.” Akhirnya ucapan itu terlontar dari mulut Mara.

Mengerjap beberapa kali, Anne lantas bertanya, “Kamu serius?”

Tanpa jeda sama sekali, gadis itu mengangguk. Bibirnya pun mengulas senyum lebar pertanda setuju. Anne terperangah, lalu terkejut dan belum percaya atas apa yang baru ia dengar dari lawan bicaranya.

“Mar, kamu yakin mau menyewakan rahim untuk janinku nanti?”

“Aku akan bantu Mbak Ann sebisaku,” kata Mara meyakinkan.

“Astaga!” pekik Anne tak percaya. “Makasih banyak, Mar. Aku akan beri apa pun yang kamu mau, kamu sebut aja apa yang kamu inginkan, oke?”

Anne tak segan-segan mengiming-imingi uang bermiliaran rupiah untuk mendapat persetujuan dari Mara. Namun, tak perlu segila itupun, si gadis nyatanya sudah setuju sekali dengan tawarannya. Ia tak mampu menyembunyikan rasa senang yang memenuhi dada kali ini.

Sejurus kemudian, Anne menangkap mata Mara yang sembab. Seperti sudah bermalam-malam sebelumnya dihabiskan untuk menangis. Kepalanya pun bergerak miring, memerhatikan dengan lekat wajah lawan bicaranya.

“Kamu ada masalah sama pacar?”

Punggung Mara kontan bergerak tegap. “Ah, nggak, kok.”

“Yakin?” tanya Anne ragu sambil merujuk pada pasang iris Mara. “Kelihatan banget bohongnya, Mar. Kamu baru putus sama pacar, ya. Soalnya kamu langsung setuju sama tawaranku ini. Seharusnya kamu omongin benar-benar sama pacarmu itu sebelum yakin bantu aku.”

“Kelihatan banget ya, Mbak?” Mara menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Memperlihatkan betapa sendunya wajah ayu itu.

“Putus kenapa, Mar?” Rasa penasaran Anne mulai terpancing. “Mau cerita?”

Mara menggeleng pelan. “Mungkin udah nggak cocok aja kali,” katanya. “Tapi, Mbak nggak perlu khawatir, aku tetap mau bantuin biar Mbak dan suami bisa punya anak.”

Anne bingung harus bersedih atau senang mendengarnya. Sebab, ia tak enak hati kalau harus bersorak sekarang. Mengingat kondisi perasaan Mara yang tengah dipatahkan setelah putus dengan kekasihnya.

“Kalau kamu siap, lusa kita akan melakukan pemeriksaan. Begitu hasilnya bagus, hari itu juga Dokter Mega akan memproses seluruhnya,” ungkap Anne perihal berbagai rencananya. “Apa kamu tetap bersedia, Mar?”

Lagi, gadis itu mengangguk. “Kebetulan lusa jadwalku kosong, Mbak.”

Senyum itu merekah lebih indah dari bunga mekar. Ditambah pasang irisnya yang berbinar-binar. “Berita bagus. Aku nggak sabar menunggu hari itu tiba, tapi ada baiknya kalau kamu ketemu Mas Pram, suamiku.”

“K-ketemu sama suaminya, Mbak Anne?”

Anne mengangguk mengiyakan. “Meskipun kalian udah ketemu waktu di rumah sakit seminggu lalu, aku pengen ngenalin secara resmi. Suami dan teman terbaikku,” jelasnya antusias.

“Apa harus?”

“Iya dong!” seru Anne. “Kenapa memang? Suamiku nggak galak, kok.” Anne mendadak menyipitkan mata saat pikirannya menangkap satu ingatan yang jelas terlintas. “Aku jadi ingat kalau waktu itu kamu sempat panggil Mas Pram dengan sebutan Mas Uki?”

“Hah?”

“Iya, ‘kan?” Anne memastikan. “Apa aku yang salah dengar?”

Related chapters

  • Rahim Kedua CEO   6. Saya Mara

    Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak

    Last Updated : 2023-06-07
  • Rahim Kedua CEO   7. Omongan Mertua

    “Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.” “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.“Karena Mbak An

    Last Updated : 2023-06-08
  • Rahim Kedua CEO   8. Ide Gila Pramam

    Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan

    Last Updated : 2023-06-09
  • Rahim Kedua CEO   9. Tawaran Licik

    Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya

    Last Updated : 2023-06-09
  • Rahim Kedua CEO   10. Tinggal Bersama?

    Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s

    Last Updated : 2023-06-10
  • Rahim Kedua CEO   11. Tidak Waras!

    Anne tidak merasa aneh awalnya. Ketika Pramam mendadak menelepon dan meminta Mara untuk tinggal bersama di rumah mereka. Namun, sejalan dengan langkahnya yang bergerak kembali ke kamar sang adik di rawat, pikirannya menjadi penuh. Beragam kemungkinan dan dugaan memenuhi kepala. Lagi pula urusan berkas perjanjian sudah disetujui Mara. Lalu mendadak suaminya justru memohon agar Mara pindah tempat tinggal sementara. Meskipun Anne sudah menyiapkan banyak hal di suatu apartemen untuk kebutuhan Mara, tetap saja suaminya kekeh memaksa. Dan satu hal yang menyorot kecurigaan, dalam berkas yang dibuatnya, Mara akan mulai tinggal ketika sel embrio mulai berkembang. Dokter Mega pun belum mengatakan apa pun pada Anne tentang proses itu. Rasanya ada yang kurang beres kalau begini. “Mbak Ann apa nggak sebaiknya pulang aja ke rumah?” ujar Arian. “Aku nggak enak sama Mas Pram. Kesannya aku nahan Mbak di sini, jadi nggak bisa urus suami.” Anne berjengkit, lamunannya disudahi begitu saja akibat tutu

    Last Updated : 2023-06-12
  • Rahim Kedua CEO   12. Minta Bertemu

    Anne menutup wajah, air mata sudah membanjiri pipi. Buru-buru ia menyeka dan beranjak pergi ke toilet. Alasannya mengurusi Arian merupakan dalih agar telepon dari Ina tadi bisa dihentikan secepat mungkin. Air mata Anne tak terbendung lagi jika ditahan terus-menerus. Begitu sampai di bilik toilet, Anne menghempaskan diri dan duduk di atas kloset. Tangisnya tumpah dan kian menderas tanpa suara. Dering gawai yang nyaring mengambil alih atensi Anne. Ia merogoh tas dan meraih ponsel. Rupanya Arian yang menelepon. “Mbak di mana? Mas Pram datang nih, Mbak. Aku baru bangun, udah ada orangnya aja di sini.” Begitu kata Arian di awal pembicaraan. Anne mengerjap kaget. “Mas Pram?” tanyanya tak peduli seberapa parau suaranya sekarang. “Mbak Ann lagi nangis?” Sedikit menjauhkan ponsel, Anne menenangkan diri sejenak. Kemudian ia kembali menyahuti Arian. “Sebentar lagi Mbak ke kamar kamu, ini masih di luar,” sergahnya yang langsung mematikan telepon. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Menga

    Last Updated : 2023-06-13
  • Rahim Kedua CEO   13. Dugaan Pertama

    Pramam membuang napas kasar ke sekian kali. Ditatapnya pintu ruang VIP sembari memanggil salah satu staffnya. Barangkali Anne kembali dari toilet tanpa sepengetahuannya. Itu jelas akan membahayakan rumah tangga serta kehamilan Mara nantinya.Ia berhasil menghubungi Adrin. Pria yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya dan mampu menjaga rahasia. Belum lagi ketika masih menjalin hubungan dengan Mara, Adrinlah yang kerap membantu Pramam mengatasi segala kemungkinan terburuk.“Pokoknya kamu urus Mara di rumah selagi Ibu saya datang, jangan sampai gadis itu mengatakan hal-hal di luar rencana,” titah Pramam pada Adrin yang langsung disetujui.“Kalau ada masalah sedikit saja, saya bisa lenyapkan kamu, Drin,” sambungnya.Sambungan itu lekas dimatikan sebelum Anne kembali. Tepatnya satu menit setelahnya, sosok istri Pramam membuka pintu dan memberikan senyum manis. Parasnya yang ayu tampak jauh lebih segar daripada tadi di rumah sakit.Pramam kontan mendekat, memeluk tubuh Anne dan mengusap

    Last Updated : 2023-06-14

Latest chapter

  • Rahim Kedua CEO   111. You Are (END)

    “Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.

  • Rahim Kedua CEO   110. Dua Kata

    “Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men

  • Rahim Kedua CEO   109. Bagaimana Mungkin?

    Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika

  • Rahim Kedua CEO   108. Tabur Tuai

    Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men

  • Rahim Kedua CEO   107. Roda Berputar

    Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da

  • Rahim Kedua CEO   106. Menyerahlah

    Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu

  • Rahim Kedua CEO   105. Jadi Pemenang

    Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora

  • Rahim Kedua CEO   104. Kenapa Harus Peduli?

    “Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar

  • Rahim Kedua CEO   103. Jangan Harap!

    Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya

DMCA.com Protection Status