“Rupanya kamu udah menikah, Mas.” Mara terkekeh geli. “Dan kamu suaminya pelanggan VIP, sahabat, sekaligus orang yang udah aku anggap kakakku sendiri.”
Pramam bergeming di tempat. Dapat ia lihat betapa frustasinya si gadis. Ditambah sorot geli bercampur jijik mengarah padanya.
“Sejak kapan kamu berteman sama Anne, Ra?” tanya Pramam pada akhirnya.
“Itu bukan urusan kamu!” tandas Mara yang disertai amarah berapi-api. “Aku nggak nyangka bisa menjalin hubungan, bahkan setahun lamanya sama suami orang.”
“Ra.” Tangan Pramam mengulur, berniat menggapai bahu Mara yang tersengal. Namun, ditepis wanita muda itu.
“Tega benar kamu mengkhianati orang sebaik Mbak Anne,” isak Mara sambil menggeser duduknya. “Dan berani-beraninya kamu bilang sama aku kalau statusmu selama ini single. Astaga, udah seberapa banyak hal yang kamu sembunyikan, Mas?”
“Ra, maafkan aku.”
Pramam sengaja berlutut di depan gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Uki’ setiap kali bertemu. Dan puncaknya, sewaktu berada di ruang perawatan Anne. Tentu sang istri tak mendengar bisikan si gadis yang kerap membuat tubuh Pramam meremang hebat.
Mara menatap gamang Pramam sesaat, lalu memalingkan wajah. Detik itu juga, Pramam merasa hubungannya sudah di ambang kehancuran, tapi ia tidak akan menyerah. Lantas tubuhnya bangkit dan ikut duduk di samping si gadis.
“Kalau aja sejak awal aku tahu, aku nggak mungkin punya perasaan terkutuk ini,” tukasnya menyesal. Kemudian pandangannya beralih pada Pramam yang sejak tadi memandanginya tanpa jeda. “Anggap aja kita nggak pernah kenal, apalagi menjalin hubungan setahun.”
Pramam berjengkit. Kontan ia menggenggam tangan Mara yang saat itu hendak beranjak. Kali ini perlakuannya tidak ditepis sama sekali, malah dibiarkan.
“Jangan begitu, Ra. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, apa pun yang kamu mau, akan aku kasih.” Pramam masih getol memohon dan mengiming-imingi materi seperti biasa. “Kamu mau tas kulit buaya, cincin dan kalung berlian, uang bulanan mau naik sepuluh kali lipat? Aku kasih semua asal kamu nggak akhiri hubungan kita ini.”
Mendengkus sebal, Mara kemudian menahan senyum geli sebelum akhirnya menepis kuat-kuat genggaman si laki-laki. “Kamu pikir aku akan luluh hanya karena uang?” ujarnya yang terdengar menantang. “Sayangnya, nggak. Aku justru kasihan sama Mbak Anne punya suami kaya, tapi minim hati nurani.”
“Lupakan aku, Mas,” sambungnya.
Tanpa menoleh, gadis itu beranjak dan mantap melangkah tegap. Tak mempedulikan seberapa banyak Pramam memanggil serta memohonnya untuk tinggal. Pramam mengikuti beberapa langkah sampai ia berhenti di satu titik ketika banyak mata ikut memandang.
“Ra … please, jangan pergi!” ujarnya dengan suara parau.
Di bawah guyuran shower, Pramam membasahi diri. Namun, kepalanya tetap teringat pada momen di mana Mara memutuskan pergi dari hidupnya. Bahkan apartemen yang semula ditinggali gadis itu, kini kosong tanpa penghuni.
Dua tangannya mengepal erat. Bersama gemuruh dalam benak yang tak kunjung tuntas sejak pulang dari pemakaman. Pramam sudah kehilangan dua orang penting dalam hidupnya sekarang, calon bayinya dan … Mara.
Sembari mengacak rambut yang dipenuhi busa, Pramam terus berpikir keras untuk mendapatkan Mara kembali. Jika sudah kehilangan anak, tak akan ia biarkan kehilangan gadisnya juga. Mara akan menjadi miliknya lagi, harus.
“Aku bisa dapatkan kamu lagi, Ra, kalau perlu aku akan buat kamu bertekuk lutut sama aku,” katanya dalam benak.
***
“Yang tenang di sana ya, Sayang,” ujar Anne lirih sambil menyentuh perutnya yang kembali menyusut. “Maafkan Mami karena gagal jaga kamu.”
Setelah kehilangan begini, Anne kerap dirayapi rasa bersalah teramat besar. Ia menghabiskan waktunya untuk menangis dan menyalahkan diri sendiri. Namun, malam itu, malam yang dipenuhi taburan bintang di langit, Anne hanya bergumam pada mendiang bayinya yang sudah dimakamkan sore tadi oleh Pramam.
Di ruang pemulihan, Anne baru menuntaskan makan malam. Ia duduk sambil menonton tayangan tv dengan ditemani asistennya, Rina. Sementara suaminya urung tampak sejak tadi.
“Bapak kok belum sampai ke sini, Rin?” tanya Anne yang terlihat gusar. Mengingat jam sudah melewati setengah sembilan. “Apa dia nggak berniat mau ke rumah sakit lagi buat jagain saya di sini?”
Rina menoleh ke sumber suara, Anne tengah menatapnya lurus, menanti jawaban darinya. “Habis dari makam, tadi Pak Yon bilang mau mampir ke rumah dulu, Bu. Bapak mau bebersih sama ganti pakaian sebelum ke sini lagi.”
“Tapi, kok, lama banget?” balas Anne dengan bertanya lagi.
“Sebentar saya telepon Pak Yon dulu, Bu.” Rina berniat menelepon di luar, tapi ketika langkahnya baru sampai di ambang pintu, seseorang yang dicari Anne muncul di baliknya.
“Lho ini Bapak udah datang, Bu,” katanya memberitahu Anne yang saat itu wajahnya langsung berubah cerah. Lantas ia buru-buru permisi keluar ruangan.
“Makasih, Rin. Kamu pulang aja sama Pak Yon, biar saya yang jaga Ibu,” pesan Pramam santai.
“Baik, Pak.”
Tidak lagi mengenakan setelan formal seperti kemeja dan celana kain. Pramam kini hanya memakai kaus biru muda dan celana tiga perempat. Tampak kasual sekaligus menunjukkan aura ketampanannya.
“Mas bebersihnya lama, aku kira nggak akan balik lagi ke sini.” Mara bersungut-sungut, ia membaringkan tubuh dari posisi duduk. “Mentang-mentang aku nggak bisa hamil lagi, kamu jadi berubah begini.”
Ini bukan sekali-kalinya Anne merasa rendah diri dan tidak berharga. Sewaktu mengalami pendarahan beberapa kali sebelumnya, Anne menangis meraung-raung. Lalu dan meminta Pramam untuk menikahi wanita lain agar bisa memenuhi keinginan ibunya.
Akan tetapi, Pramam enggan. Ia mencintai Anne dan tidak akan melepaskannya sampai kapan pun, meski ia sendiri yang sudah mengkhianati wanita itu. Ditambah simpanannya adalah sahabat istrinya sendiri.
“Sayang … jangan ngomong begitu, mana ada aku berubah.” Pramam duduk di pinggiran ranjang, menggenggam telapak tangan Anne erat. “Aku masih sayang kamu, kita bisa lakukan apa pun agar kamu hamil dan kita bisa punya anak.”
Anne menggeleng singkat. Bibir bawahnya ia gigit untuk menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan pecah. “Aku nggak bisa hamil lagi, Dokter Mega yang bilang. Aku kena APS, ‘kan?”
Pramam terkesiap. Soal penyakit yang juga menjadi penyebab utama bayinya tak selamat, belum ia kabarkan pada Anne. Memang sengaja, takut mental sang istri belum kuat dan siap. Namun, dokter mereka justru yang membeberkannya.
“Ann ….” Pramam berujar seperti berbisik.
“Pasti akan susah mempertahankan kehamilan, dan kamu bisa cari wanita lain.” Anne tersenyum simpul. “Aku kasih kebebasan untuk kamu sekarang, Mas.”
Dengan sorot mata tegas, Pramam menggeleng cepat. “Aku nggak suka kamu ngomong begitu. Kita bisa melakukan cara lain, jangan berhenti berjuang, Sayang.”
“Kamu yakin mau kalau aku dapat cara lain itu—untuk mendapatkan anak?”
Pramam mengerjap kaget. Wajahnya menunjukkan kebingungan. “Cara lain yang bagaimana?”
“Aku udah kepikiran ini kalau kehamilan kemarin gagal dan ternyata benar, aku keguguran … lagi.” Anne menelan ludah, masih belum terbiasa dengan keadaannya sekarang.
Lantas Pramam melenyapkan jarak dengan istrinya. Memeluk tubuh itu erat dan memberikan kecupan lembut di puncak kepala Anne. Mencoba membuat Anne tegar dan tak patah semangat dengan curahan kasih sayangnya.
“Kamu mau, ‘kan, nurutin keinginanku? Aku mau punya anak, Mas.” Anne mendongak, menatap pasang mata kucing yang selalu membuatnya tergila-gila.
Sebagai CEO di perusahaan properti dengan keuntungan luar biasa besar, bukan hal sulit memenuhi keinginan istri. Sebab dengan memiliki keturunan, Pramam bisa menjadi pemegang saham utama perusahaan. Apalagi sekaligus diberi kewenangan lebih dari ayah juga kakeknya, tentu sangat menggiurkan jika dilewatkan begitu saja.
“Aku pasti akan menuruti semua kemauan kamu, Ann, bahagiamu adalah bahagiaku juga,” tuturnya sambil mengusap wajah Anne. “Bilang aja, kamu mau apa?”
Satu senyum terukir di wajah Anne. “Aku mau … rahim pengganti.”
“Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening. “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”“Ada, kok.”Laki-laki itu masih tak habis pikir pada
Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak
“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.” “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.“Karena Mbak An
Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan
Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya
Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s
Anne tidak merasa aneh awalnya. Ketika Pramam mendadak menelepon dan meminta Mara untuk tinggal bersama di rumah mereka. Namun, sejalan dengan langkahnya yang bergerak kembali ke kamar sang adik di rawat, pikirannya menjadi penuh. Beragam kemungkinan dan dugaan memenuhi kepala. Lagi pula urusan berkas perjanjian sudah disetujui Mara. Lalu mendadak suaminya justru memohon agar Mara pindah tempat tinggal sementara. Meskipun Anne sudah menyiapkan banyak hal di suatu apartemen untuk kebutuhan Mara, tetap saja suaminya kekeh memaksa. Dan satu hal yang menyorot kecurigaan, dalam berkas yang dibuatnya, Mara akan mulai tinggal ketika sel embrio mulai berkembang. Dokter Mega pun belum mengatakan apa pun pada Anne tentang proses itu. Rasanya ada yang kurang beres kalau begini. “Mbak Ann apa nggak sebaiknya pulang aja ke rumah?” ujar Arian. “Aku nggak enak sama Mas Pram. Kesannya aku nahan Mbak di sini, jadi nggak bisa urus suami.” Anne berjengkit, lamunannya disudahi begitu saja akibat tutu
Anne menutup wajah, air mata sudah membanjiri pipi. Buru-buru ia menyeka dan beranjak pergi ke toilet. Alasannya mengurusi Arian merupakan dalih agar telepon dari Ina tadi bisa dihentikan secepat mungkin. Air mata Anne tak terbendung lagi jika ditahan terus-menerus. Begitu sampai di bilik toilet, Anne menghempaskan diri dan duduk di atas kloset. Tangisnya tumpah dan kian menderas tanpa suara. Dering gawai yang nyaring mengambil alih atensi Anne. Ia merogoh tas dan meraih ponsel. Rupanya Arian yang menelepon. “Mbak di mana? Mas Pram datang nih, Mbak. Aku baru bangun, udah ada orangnya aja di sini.” Begitu kata Arian di awal pembicaraan. Anne mengerjap kaget. “Mas Pram?” tanyanya tak peduli seberapa parau suaranya sekarang. “Mbak Ann lagi nangis?” Sedikit menjauhkan ponsel, Anne menenangkan diri sejenak. Kemudian ia kembali menyahuti Arian. “Sebentar lagi Mbak ke kamar kamu, ini masih di luar,” sergahnya yang langsung mematikan telepon. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Menga
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya