“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.
“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”
Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”
“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.”
“Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”
Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.
“Karena Mbak Anne pantas bahagia, meskipun kamu berkhianat di belakangnya, aku akan bertanggungjawab dan berjanji untuk membuatnya senang dengan kehadiran anak dalam hidupnya.”
Mendengar gadisnya bicara, Pramam terhenyak. Bagaimana mungkin si pihak ketiga malah bertindak ingin bertanggungjawab? Lantas ia melangkah mendekat, mengikis jarak hingga tangannya berhasil meraih pundak Mara dan mencengkeramnya cukup kuat.
“Kenapa harus kamu yang bertanggungjawab? Itu aku, harusnya aku, Ra!” protes Pramam.
Mara menggeleng cepat. Punggungnya yang sudah menubruk dinding dingin, kini ditambah getar yang muncul. “Aku berdosa sudah menjadi orang ketiga, itulah kenapa aku harus melakukan ini,” isaknya yang perlahan pecah.
“Nggak, Ra. Aku nggak memberi izin. Lagi pula kamu belum bilang ke kakak dan adikmu soal ini. Kalau mereka tahu, kamu nggak mungkin bisa seyakin ini, Ra.”
Sekian lama menjalin hubungan, nyatanya Pramam tahu betul sesiapa yang paling diprioritaskan Mara dalam hidup. Selain dirinya sendiri, ada Laras dan Yena yang getol memiliki tempat tersendiri di hati seorang Mara. Dan keputusan menerima permintaan Anne, rasanya tidak cukup masuk akal.
Mara menandaskan, “Jangan mengancamku, Mas. Keputusanku udah bulat dan nggak bisa diganggugugat!”
Kaki Mara terayun menuju kamar, usai menepis cengkeraman Pramam dengan mendorong dadanya kuat-kuat. Tangan mungil itu berhasil menarik koper besar di sudut ruang. Lekas ia membuka lemari dan meletakkan pakaian ke dalam koper.
Hingga kemudian Pramam menyusul dan berdiri di belakangnya. Rupanya pria itu tak hanya diam di tempat, melainkan menautkan kedua tangan untuk melingkar di bagian perut Mara. Dagunya sengaja jatuh di pundak Mara yang sesekali embusan napas kasar mendarat baik di leher si wanita. Si gadis mematung, ada gelenyar aneh ketika tangan-tangan Pramam menyentuh bagian perut.
“Aku akan cari perempuan di luar sana untuk menggantikanmu, Ra,” bisik Pramam kemudian.
Sadar perbuatan Pramam keluar jalur, Mara menepis kedua tangan kekar itu dari tubuhnya. Mara memutar tubuh. Kembali mendorong dada Pramam kuat-kuat hingga pria itu mundur beberapa langkah.
“Silakan, tapi biarkan aku meyakinkan Mbak Anne kalau rahimku cocok untuk ikut program itu,” tangkasnya telak.
“Persetan, Mara!” seru Pramam kesal. Ia menyugarkan rambut beberapa kali, sebelum akhirnya menatap tajam Mara. “Kamu sudah gila?”
Mara tergelak, hingga napasnya tersengal dan dibarengi bahu yang bergerak naik-turun. “Memang, semenjak kamu menyeretku ke lingkaran setan ini!”
***
“Kamu selalu cantik dari segala kondisi, Sayang.”
Pramam muncul di balik pintu, melangkah mendekati sang istri yang tengah mematutkan diri di depan cermin. Kiranya sudah puluhan kali Anne berputar sambil menggerakkan pakaiannya yang mahal. Sorot matanya berubah sedih kala menangkap perut yang tak lagi membesar. Dan kini Pramam mengikis jarak dengan memeluknya dari arah belakang.
Anne melirik, lantas tersenyum tipis. Pujian demi pujian yang dilayangkan padanya, terasa tidak cukup untuk mengobati luka akibat kehilangan ke sekian kali. Sampai sudah dua pekan setelah kepergian janinnya, wanita itu masih merasakan gerak geli di perutnya.
“Apa dengan tubuhku yang begini, masih bisa membuat kamu bergairah, Mas?” Anne mencurahkan kekhawatiran sambil menggerakkan telunjuk di punggung tangan Pramam.
Tidak segera menjawab, Pramam justru mendaratkan kecupan singkat di sebelah pipi Anne. Lalu turun ke area leher yang hendak diterkamnya saat itu juga. Namun, Anne menghindar.
“Aku nggak minta kamu buktikan detik ini juga, lho,” dengkus Anne. “Kamu kudu siap-siap, kita harus check semua kesehatan Mara. Semoga aja hasilnya baik, biar aku bisa cepat-cepat gendong anak sendiri.”
Harapan Anne begitu besar untuk memiliki keturunan. Sama seperti Pramam, tapi tidak sebesar milik Anne. Pramam sudah berserah diri dengan apa yang terjadi nanti. Jika di dunia ini rejeki anak tidak datang padanya, itu bukan masalah besar. Lagi pula ia percaya jika Pramam akan terus menyayanginya, sekalipun tanpa kehadiran anak di antara mereka.
“Kita pasti bisa, kita lakukan terbaik untuk semuanya,” sahut Pramam sebelum beringsut ke walk in closet yang menyatu dengan kamar.
“I love you, Mas.” Anne berujar seketika begitu Pramam baru melangkah. Pria itu menoleh dan tersenyum, lalu menangkup wajah Anne untuk memberikan satu kecupan singkat di bibir.
“I love you more, Ann.”
Rasanya manis, kelewat manis hingga mampu menutupi kegelisahan Pramam sejak kali terakhir bertemu dengan Mara kemarin. Wanita itu resmi memutuskan hubungan dan pindah tempat tinggal. Kini Pramam hanya bisa bernostalgia di apartemen mewah yang sengaja dibeli dengan mengatasnamakan Mara Cikal. Meski begitu, Pramam tidak serta merta melupakan Anne dan segala keinginannya memiliki keturunan.
Sesaat sebelum melajukan mobil sekaligus menunggu Anne naik, Pramam menyempatkan diri untuk mengecek riwayat obrolannya dengan Mara. Pesan terakhir yang ia kirim beberapa jam lalu urung dibaca. Namun, deretan kalimat tanya guna memastikan keadaan si wanita sudah terbaca.
Pramam mengesah pelan dan segera memasang sabuk pengaman ketika pintu penumpang dibuka dari luar. Anne duduk dengan napas tersengal, seperti baru berlari karena buru-buru. Penampilannya cukup elegan dengan gaun warna coral.
Tanpa ditanya sang suami, Anne sudah lebih dulu memulai, “Mara udah di jalan, katanya mau sampai di rumah sakit.” Ia menarik seatbelt dan bergegas memasangnya. “Ayo, Mas, agak cepetan. Aku nggak enak sama Mara.”
Pramam mengangguk patuh. Walau dalam benak ada perasaan tak terima. Mara bisa saja membaca dan membalas pesan-pesan yang datang dari Anne, tapi tidak darinya.
Mengeratkan kepalan di kemudi, Pramam berusaha menenangkan pikiran sebelum akhirnya melajukan mobil. Akan tetapi, jalannya harus terhenti sebelum mencapai bibir gerbang. Bunyi klakson memuakkan terdengar cukup nyaring.
“Ibu kamu ke rumah, Mas?” ujar Anne mengerutkan kening begitu mengetahui mobil mewah hendak masuk ke pekarangan rumah. “Kok kamu nggak bilang-bilang kalau Ibu mau ke sini? Kita udah ada janji sama Dokter Mega, lho, Mas?”
“Aku nggak tahu beneran kalau Ibu mau ke sini,” aku Pramam yang kemudian memarkirkan kembali mobilnya. “Tunggu sebentar ya, Sayang?”
Anne tahu betul jika disuruh menunggu, sudah pasti urusan semakin panjang. Mengingat kehadiran ibu mertua yang jarang sekali datang. Sekalinya datang, bisa runyam semua rencana.
Mau tak mau Anne turun dari mobil dan menyusul sang suami. Suasana hatinya berubah mendadak, rasanya ingin memakan orang. Namun, ekspresinya segera ditutupi dengan senyum agar tak menimbulkan curiga.
“Kalian mau ke mana pagi-pagi begini?” Dengan gelagat sombongnya, Ina Basuki menyergap anak serta menantunya tanpa basa-basi. “Apa jangan-jangan mau program anak lagi dan buang-buang duit?”
Pramam meminta sang ibu untuk duduk terlebih dahulu. Tak enak kelihatannya baru datang, tapi sudah menyudutkan. Ia juga menyuruh Anne untuk menempatkan diri, meski wanita itu sudah geram setengah mati.
“Anne, kamu ngaku aja. Rencana apa lagi yang kamu pikirkan untuk menguras harta suamimu?”
Anne mengangkat wajah. “Memang sejak kapan aku berniat menguras harta suami sendiri, Bu?”
“Wah, kamu lupa atau pura-pura, sih?” sahut Ina Basuki heran. “Apa perlu Ibu kasih bukti berapa uang Pramam yang kamu keluarkan buat program bayi-bayimu itu?”
Anne mengeratkan pegangan di tali tas yang melingkari bahunya. Tatapnya menyalak, ingin membalas kata-kata yang sama tajamnya dengan sang mertua. Namun, ia masih memiliki sopan santun sekaligus nama yang harus dijaga.
Belum berhenti sampai di sana, Ina Basuki melanjutkan, “Kalau kamu berulah lagi, lebih baik kamu danai sendiri program anak yang belum pasti itu. Daripada kerjaannya keguguran terus?”
Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan
Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya
Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s
Anne tidak merasa aneh awalnya. Ketika Pramam mendadak menelepon dan meminta Mara untuk tinggal bersama di rumah mereka. Namun, sejalan dengan langkahnya yang bergerak kembali ke kamar sang adik di rawat, pikirannya menjadi penuh. Beragam kemungkinan dan dugaan memenuhi kepala. Lagi pula urusan berkas perjanjian sudah disetujui Mara. Lalu mendadak suaminya justru memohon agar Mara pindah tempat tinggal sementara. Meskipun Anne sudah menyiapkan banyak hal di suatu apartemen untuk kebutuhan Mara, tetap saja suaminya kekeh memaksa. Dan satu hal yang menyorot kecurigaan, dalam berkas yang dibuatnya, Mara akan mulai tinggal ketika sel embrio mulai berkembang. Dokter Mega pun belum mengatakan apa pun pada Anne tentang proses itu. Rasanya ada yang kurang beres kalau begini. “Mbak Ann apa nggak sebaiknya pulang aja ke rumah?” ujar Arian. “Aku nggak enak sama Mas Pram. Kesannya aku nahan Mbak di sini, jadi nggak bisa urus suami.” Anne berjengkit, lamunannya disudahi begitu saja akibat tutu
Anne menutup wajah, air mata sudah membanjiri pipi. Buru-buru ia menyeka dan beranjak pergi ke toilet. Alasannya mengurusi Arian merupakan dalih agar telepon dari Ina tadi bisa dihentikan secepat mungkin. Air mata Anne tak terbendung lagi jika ditahan terus-menerus. Begitu sampai di bilik toilet, Anne menghempaskan diri dan duduk di atas kloset. Tangisnya tumpah dan kian menderas tanpa suara. Dering gawai yang nyaring mengambil alih atensi Anne. Ia merogoh tas dan meraih ponsel. Rupanya Arian yang menelepon. “Mbak di mana? Mas Pram datang nih, Mbak. Aku baru bangun, udah ada orangnya aja di sini.” Begitu kata Arian di awal pembicaraan. Anne mengerjap kaget. “Mas Pram?” tanyanya tak peduli seberapa parau suaranya sekarang. “Mbak Ann lagi nangis?” Sedikit menjauhkan ponsel, Anne menenangkan diri sejenak. Kemudian ia kembali menyahuti Arian. “Sebentar lagi Mbak ke kamar kamu, ini masih di luar,” sergahnya yang langsung mematikan telepon. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Menga
Pramam membuang napas kasar ke sekian kali. Ditatapnya pintu ruang VIP sembari memanggil salah satu staffnya. Barangkali Anne kembali dari toilet tanpa sepengetahuannya. Itu jelas akan membahayakan rumah tangga serta kehamilan Mara nantinya.Ia berhasil menghubungi Adrin. Pria yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya dan mampu menjaga rahasia. Belum lagi ketika masih menjalin hubungan dengan Mara, Adrinlah yang kerap membantu Pramam mengatasi segala kemungkinan terburuk.“Pokoknya kamu urus Mara di rumah selagi Ibu saya datang, jangan sampai gadis itu mengatakan hal-hal di luar rencana,” titah Pramam pada Adrin yang langsung disetujui.“Kalau ada masalah sedikit saja, saya bisa lenyapkan kamu, Drin,” sambungnya.Sambungan itu lekas dimatikan sebelum Anne kembali. Tepatnya satu menit setelahnya, sosok istri Pramam membuka pintu dan memberikan senyum manis. Parasnya yang ayu tampak jauh lebih segar daripada tadi di rumah sakit.Pramam kontan mendekat, memeluk tubuh Anne dan mengusap
Pramam mengangsurkan piring berisi buah-buahan segar, seperti anggur merah kesukaan Anne. Wanita yang baru saja menuntaskan mandinya kini melangkah menuju bibir ranjang. Tubuhnya sudah dibalut bathrobe bersama rambut yang dilapisi handuk.Anne akhirnya bermalam di kamar hotel yang dipesan sang suami. Begitu mendapati izin dari Arian, tentu saja Pramam girang dan meminta jatah untuk ke sekian kali. Meski Anne sudah menolak karena lelah, tapi mereka tetap melakukannya hingga Pramam terlelap demi menghindari pertanyaan sang istri soal Dokter Mega.“Coba dulu, Sayang.”Pramam memberikan sebutir anggur untuk disuapkan pada Anne. Wanita itu membuka mulut lebar dan menerimanya. Gigitan pertama berhasil membuat irisnya membulat akibat rasa manis yang menyegarkan memenuhi mulut.“Enak banget, mau lagi!” pintanya kemudian yang langsung dipenuhi Pramam.Setelah puas menyuapi istri, Pramam merebahkan diri dengan menumpu kepala menggunakan tangan. Tatapnya terus tertuju pada pesona Anne yang kini
Menggigit bibir, Anne meraih gelas dan menenggaknya pelan. Di hadapannya, Pramam masih sibuk mengunyah potongan melon dan beberapa butir anggur. Pria itu memang rutin mengonsumsi buah dan sayur, pantang memakan gorengan.“Mas?”Sekembalinya di meja yang ditempati Pramam, Anne disergap kebingungan juga kaget. Apa benar yang dibahas beberapa orang tadi soal suaminya?“Ada apa?”Pramam spontan menatap Anne, tangannya terulur hendak menyuapi potongan melon di garpu. Namun, Anne menolak karena sudah kenyang. Sebuah pertanyaan sudah mengendap di kepala, tapi mendadak Anne membatalkannya karena ragu. Kalau Anne melakukan konfrontasi sekarang, apa mungkin Pramam akan mengaku?Lagi pula, Pramam kerap datang bersama sekretarisnya ke hotel untuk melakukan meeting atau menjalankan perjalanan bisnis ke luar kota. Bukankah wajar jika petugas hotel menganggap sekretaris tersebut adalah istri atau pasangan Pramam?Lantas Anne menggeleng. “Aku harus buru-buru ke rumah sakit, takut Ari ada perlu,” kata
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya