Anne baru menuangkan kopi hangat ke cangkir ketika suaminya menuruni anak tangga terakhir. Ia menyunggingkan senyum semringah dan mengucap selamat pagi seperti biasa. Pramam membalas dengan mendaratkan kecupan singkat nan manis di kening Anne, lalu tangannya terulur pada perut menggembung sang istri.
Pramam mengusap lembut, dan mengecupnya berkali-kali hingga Anne merasa diterjang rasa geli yang aneh. Ia tertawa kecil sambil membelai rambut Pramam pelan.
“Kamu udah dibilangin jangan capek-capek ngurus ini dan itu, tapi kenapa masih ngerjain pekerjaan rumah?” Pramam bertanya begitu duduk di kursi.
“Astaga, Mas, aku cuma buatin kamu kopi. Ini nggak akan menguras tenagaku dan jabang bayi kita,” balas Anne dengan mengerucutkan bibir.
Pramam mengerlingkan mata, lantas ia menyeduh kopi buatan istrinya. Sesaat irisnya membulat, menunjukkan rasa nikmat tiada tara. Diambilnya roti panggang yang sudah dipersiapkan asisten rumah tangga untuk sarapan.
“Dokter Mega terus ingatkan aku buat jaga kamu, Ann,” ucap Pramam. “Siang ini jadi periksa kandungan?”
Anne manggut-manggut. “Ketemu langsung di rumah sakitnya aja, ya. Aku mau ke klinik kecantikan dulu, udah risih sama kuku,” keluhnya sambil menunjukkan jemarinya yang menurut Pramam masih sama.
Namun, ia tak berani mengatakan sebenarnya. Sebab Anne mampu mengembalikan kata-katanya dengan fakta dari kacamata wanita. Alhasil, ia hanya bisa menghela napas dan mengalah.
Sebagai istri seorang CEO perusahaan properti yang tersebar di beberapa kota besar, pergi ke klinik kecantikan bukanlah hal sulit. Anne bisa saja melakukannya setiap hari, tanpa memohon-mohon uang dari suami. Lagi pula Pramam sudah memberikan black card yang bisa Anne gunakan sesukanya. Baginya membuat istri senang sudah lebih dari cukup.
Melirik jam di pergelangan tangan, Pramam buru-buru menyambar sisa roti di piring dan beranjak. Anne ikut bangkit dan mengecup punggung tangan suaminya. Lalu disambut baik Pramam dengan senyum merekah.
“Aku ada rapat pagi ini sama klien dari Jepang,” kata Pramam sebelum melanjutkan langkah menuju pintu utama. “Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku, Ann!”
“Hati-hati, Mas!” seru Anne bersama satu lengkungan cerah terukir di wajahnya.
Kembali ke meja makan untuk melanjutkan kunyahan, tatap Anne mendadak jatuh ke foto pernikahannya dengan Pramam. Di sana tergambar jelas bagaimana mereka tersenyum lebar karena kebahagiaan yang tiada tara. Hingga itu berlanjut di hari ini dan seterusnya, mengingat ada calon anak mereka di perut Anne.
Tepat enam tahun sudah mereka mengarungi bahtera pernikahan. Beragam hal datang menghadang keduanya, salah satunya perihal keturunan. Pada perjuangan kesekian, kabar baik pun datang. Anne berhasil mengandung buah hatinya dengan Pramam dari metode bayi tabung.
Kehamilannya sudah menginjak trimester kedua. Suatu pencapaian terbaik sejauh ini karena sebelumnya Anne kerap keguguran di pekan awal. Itu cukup menyita pikiran dan membuat Anne harus bolak-balik ke psikiater.
“Yang sehat-sehat di dalam sana ya, Nak, Mami sama Papi nggak sabar ketemu kamu nanti,” gumam Anne pelan seraya mengusap lembut perutnya.
Selagi sibuk mengusap perut, Anne dikejutkan oleh dering ponselnya di meja. Satu nama muncul di layar, seseorang yang ingin ia hindari selama menjadi istri Pramam. Benar, siapa lagi kalau bukan ibu mertuanya?
Anne menghela napas panjang. Menyentuh dada agar lebih siap menerima resiko saat berbicara dengan ibu dari suaminya itu. Setelahnya, telunjuknya menggeser layar. Anne mengangkat panggilan tersebut.
“Rupanya diangkat juga, kamu udah bangun atau masih di atas tempat tidur?”
Mendadak kepala Anne terasa pening mendengar suara sarkas yang jelas ditujukan padanya. Berusaha sabar, ia membalas, “Anne udah bangun, Bu. Baru aja Mas Pram berangkat ke kantor.”
“Jangan karena kamu lagi hamil, kamu bisa enak-enakan tidur di kasur. Kamu harus mengurus suami, jangan hobi menghamburkan uang aja!”
Kala bercakap dengan mertua, baik melalui telepon atau langsung, selalu saja kata-kata buruk itu berhasil menghujam hati Anne. Ia pikir segalanya akan membaik ketika berita bahagianya diketahui mertua. Namun sepertinya dugaan Anne meleset.
“Ngerti, ‘kan? Dengar nggak apa yang Ibu bilang?”
Suara itu muncul lagi setelah Anne mendadak diam karena pilu. Menyadari betapa kasihan dirinya mendapatkan ibu mertua yang kurang mampu menghargai menantu. Sungguh berbeda sekali sifatnya dengan Pramam yang selalu melarang Anne bekerja, bahkan bergerak banyak sekalipun.
“Dengar Bu, Anne juga mengerti bagaimana tugas istri yang baik,” sahut Anne akhirnya.
“Baguslah, sekarang gimana calon cucu Ibu? Apa baik-baik aja?”
Anne spontan menunduk, memandangi perut yang menggendut di balik gaun tidurnya. Lantas ia mengangguk dan tersenyum. “Baik, Bu. Nanti siang ada jadwal checkup mingguan.”
Helaan napas terdengar dari ujung telepon. “Kali ini jaga bayi itu baik-baik, bisa, kan, kamu mempertahankan kandungan sampai persalinan?” kata ibu mertua bersama volume yang meningkat. “Ingat, jangan buat Pramam menderita karena terus ngurusin istri yang kerjaannya keguguran melulu!”
Keguguran melulu, katanya. Anne melayangkan seringai, begitu berani. Toh, mertuanya tidak akan melihatnya secara langsung. Mengetahui buliran air mata sudah membasahi pipi, Anne lekas memutar otak untuk mencari alasan agar kabur dari konversasi bodoh dengan mertuanya ini.
Anne sempat mendengar keluhan di seberang sebelum telepon terputus, tapi ia tak peduli. Tak berkenan juga meminta maaf. Bukankah seharusnya ibu mertua yang memohon maaf karena terus menjelekkannya?
Keguguran tentu bukan keinginan Anne. Memang siapa pula yang ingin kehilangan janin setiap dikabarkan mengandung? Jika ada, mungkin saja wanita gila.
“Jangan dengar apa kata Oma ya, Nak, Mami pasti jagain kamu sampai kita ketemu nanti.”
***
Tiba di klinik Beauty and Sweet, Anne lekas turun dari mobil begitu supir pribadinya membukakan pintu. Kacamata hitam bertengger di hidung bangirnya pun tak ketinggalan membaut penampilan Anne tampak elegan. Langkahnya terayun menuju meja resepsionis.
“Siang Bu Anne.”
“Makin cantik aja, Bumil yang satu ini.”
Hampir semua pegawai menyapanya ramah. Saat dipersilakan duduk di sofa tunggu, iris Anne menangkap sosok wanita muda baru keluar dari ruang kerjanya. Saat mata mereka bertemu, Anne tak mampu menyembunyikan rasa bahagia dalam dada.
“Hai, Mbak Ann!” sapa wanita itu dengan senyum merekah. Ia mendekat dan menyambut pelanggan naratamanya penuh suka cita.
Anne langsung membalas sambutan itu dengan pelukan hangat, meski sedikit susah karena ada yang mengganjal di perutnya. “Ruangan VIP, biasa ya, Mar,” sahutnya lirih.
“Siap, mari masuk.” Mara dengan seragam kliniknya mempersilakan Anne memasuki ruangan yang sudah dipersiapkan.
Anne mengangguk pelan, mengikuti langkah Mara. “Kamu yang tangani aku langsung?”
“Buat Mbak Anne tercinta, apa sih yang nggak bisa Mara lakukan?” Wanita itu mengerlingkan mata, seolah tengah menggoda pelanggannya.
Senyum Anne kontan terbit di bibir. “Bisa aja kamu.”
Anne bergegas duduk di kursi, memposisikan diri agar tubuhnya nyaman. Tepat di hadapannya, Mara langsung mengurusi tubuh bagian bawah Anne. Terutama kuku yang ingin dirapikan.
“Bumil kok hari ini kusut banget mukanya, kenapa? Ada masalah di rumah?” celetuk Mara yang menyadari raut wajah Anne tidak sebaik seperti biasanya.
Cepat-cepat Anne mengubah air mukanya, menyunggingkan kembali senyum, meski samar. “Biasalah, mertuaku telepon pagi tadi. Isinya ya ngomel, komentar ini dan itu.”
Mara menghentikan sejenak pekerjaan tangan guna menatap sang pelanggan yang sudah seperti kakak kandungnya itu. “Berat banget ya, Mbak kalau punya mertua kayak gitu. Modalnya harus punya kesabaran besar dan hati lapang,” sahutnya ikut prihatin.
“Itu nggak cukup, Mar. Aku sabar terus sampai stress, capek lama-lama.” Anne menghela napas sambil mengusap-usap perutnya. “Pokoknya kamu kalau cari suami harus dicek dulu keluarganya, mulai dari orang tua terus saudaranya. Jangan sampai bernasib sama kayak aku.”
Mara berdecak sembari mengurut pelan jemari kaki Anne. “Ah, jangankan suami, aku kepikiran nikah aja belum, Mbak.”
“Kenapa nggak, kamu kan udah ada pacar. Jalan setahun lebih, pasti udah ada gambaran nikah dong kalian.”
Mara menggeleng cepat. Wajahnya menampilkan keraguan. “Belum ah, masih banyak targetku yang belum tercapai.”
“Jangan lama-lama, nanti keburu tua,” komentar Anne yang tak terkesan menggurui. “Coba deh, kamu kenalin pacarmu ke aku, biar aku bisa nilai sendiri.”
“Mbak yakin mau ketemu?” tanya Mara yang langsung tahu niat Anne tidak seserius itu. “Dia aja belum mau ketemu sama keluargaku, Mbak, walau cuma ada kakak dan adikku.”
“Ayahmu juga, Mar.”
Untuk kalimat yang satu itu, Mara membalasnya dengan senyum kecut. Mengatupkan bibir seolah kurang minat merespon. Kemudian tak ada lagi pembahasan soal pernikahan dan hal-hal yang menyudutkannya.
Sekitar setengah jam lamanya Anne dilayani, tubuhnya menggeliat tak nyaman, tangan mengusap perut dengan lembut. Kantuknya mulai muncul, membuatnya menguap beberapa kali dan akhirnya jatuh dalam kubangan mimpi.
Hingga kemudian, ada sengatan mencekit menyerang perut sampai bagian pinggul. Anne membuka mata seraya meraih perut buncitnya. Rintihan demi rintihan menyusul kemudian.
“Mar ….” Anne memanggil lirih. Kedua tangannya sibuk meremas perut yang disertai tubuh menggeliat tak nyaman. “Mar, perutku mendadak melilit. Sakit, Mar.”
“Astaga, Mbak!” seru Mara begitu mendapati liquid merah pekat mengalir membasahi kedua kaki Anne.
Mata bulat itu terbuka perlahan, rautnya meringis kesakitan. “Mar, tolong ….”
Pramam mengaduk saku celana saat ponselnya bergetar tak karuan, buru-buru ia mengeluarkannya. Siapa tahu orang penting memanggilnya, salah satunya Anne. Begitu melihat nama yang muncul di layar, napas Pramam tertahan.Ia memijat sesaat pangkal hidung sembari memejamkan mata. Di awal hari seperti ini, pasti ibunya baru melakukan panggilan dengan Anne. Lalu sesi berikutnya, sang ibu mengeluh sifat Anne yang inilah, itulah. Pramam mencoba mengumpulkan kesabaran sebelum akhirnya menggeser layar.“Pram, kamu udah di kantor?”“Iya, Bu. Ada meeting pagi sama klien sebentar lagi,” balas Pramam berusaha tenang. “Ada apa, Bu?”“Itu lho, istri kamu, si Anne.”Benar, ‘kan? Perbincangan ini tak akan jauh dari persoalan Anne dan ibunya yang kerap menjadi bahan keluhan. Hingga kini Pramam belum bisa mengerti, mengapa ibunya setega itu menyimpan rasa benci pada menantunya sendiri. Dalam situasi di mana Anne tengah mengandung cucunya.“Bisa nggak, sih, dia ngurus kamu dengan benar? Kerjanya cuma makan
Tanpa berucap, Pramam merengkuh Anne. Meletakkan kepala istri di dadanya. Tangannya pun ikut sibuk membelai punggung Anne yang terkesan ringkih.Hingga kemudian, bibirnya bergerak dan mengucapkan sesuatu, “Kita harus relakan dia, Ann. Aku yakin, kamu kuat.”Detik berikutnya, dorongan kuat menghantam Pramam. Ada kilat amarah sekaligus kecewa tergambar di mata indah itu. Anne menggeleng cepat, air matanya tumpah ruah, tapi tak ada isak tangis menyertainya.“Aku masih ngerasain dia hidup di perutku, Mas. Anak kita … baik-baik aja,” tandas Anne sambil membelai perutnya. “Jangan iseng gitu, deh. Soal pendarahan, kamu tahu sendiri kalau aku sering mengalami itu. Ini bukan apa-apa, Mas.”“Ann, tolong,” ujar Pramam lirih. “Kita harus ikhlaskan dia, sekarang waktunya kita biarkan dia keluar, ya?”Anne menyeka dagu yang terus meneteskan air di sana, gelengan itu muncul lagi dan semakin cepat. “Masih beberapa bulan lagi, kamu yang sabar dong. Jangan paksa anak kita!”“Anne! Ini demi kebaikan kam
“Rupanya kamu udah menikah, Mas.” Mara terkekeh geli. “Dan kamu suaminya pelanggan VIP, sahabat, sekaligus orang yang udah aku anggap kakakku sendiri.”Pramam bergeming di tempat. Dapat ia lihat betapa frustasinya si gadis. Ditambah sorot geli bercampur jijik mengarah padanya. “Sejak kapan kamu berteman sama Anne, Ra?” tanya Pramam pada akhirnya.“Itu bukan urusan kamu!” tandas Mara yang disertai amarah berapi-api. “Aku nggak nyangka bisa menjalin hubungan, bahkan setahun lamanya sama suami orang.”“Ra.” Tangan Pramam mengulur, berniat menggapai bahu Mara yang tersengal. Namun, ditepis wanita muda itu. “Tega benar kamu mengkhianati orang sebaik Mbak Anne,” isak Mara sambil menggeser duduknya. “Dan berani-beraninya kamu bilang sama aku kalau statusmu selama ini single. Astaga, udah seberapa banyak hal yang kamu sembunyikan, Mas?” “Ra, maafkan aku.”Pramam sengaja berlutut di depan gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Uki’ setiap kali bertemu. Dan puncaknya, sewaktu berada di
“Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening. “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”“Ada, kok.”Laki-laki itu masih tak habis pikir pada
Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak
“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.” “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.“Karena Mbak An
Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan
Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya