Kali ini mendadak Sean yang berubah pucat pasi, lidahnya berubah kelu tak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan dari Amora tersebut.“Kau jelas-jelas membalas ciumanku, Sean. Itu tandanya kau masih menginginkan aku dan mungkin saja kau masih mencintaiku,” lanjut Amora kembali dengan ekspresi yang sangat puas.Bagaimana Amora tidak puas melontarkan kalimat tersebut, karena ia bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah yang tadinya begitu pongah kini mendadak pias. Seakan-akan ia tengah melontarkan sebuah kebenaran yang ia anggap sangat memalukan.Sean langsung menggeleng. “Ti—tidak mungkin!” bantahnya dengan tegas, tidak terima dengan tuduhan yang Amora layangkan padanya.Amora terkekeh skeptis. “Kau bisa saja bersikap munafik dengan tidak mengakuinya, Sean. Tetapi hatimu tidak akan mungkin berbohong, akui saja bahwa di sudut hatimu yang paling dalam sebenarnya masih menginginkan aku. Mulutmu bisa saja mengatakan tidak lagi mencintaiku, tetapi sejujurnya hatimu masihlah mengingink
Dengan cekatan Valerie segera menghapus sisa-sisa air mata di pipinya saat suara pintu dibuka dari luar. “Sarapannya sudah selesai?” tanya Sean kemudian setelah menutup pintu di belakangnya dan menemukan Valerie yang tengah duduk terdiam di pinggiran kasur. Valerie mendongak dan menatap Sean dengan tatapan nelangsa. Bayangan tentang apa yang baru saja dilihatnya kini mengganggu pikirannya, pemikiran tentang pria itu baru saja berciuman mesra dengan Amora langsung mengganggunya. Tetapi meskipun hatinya terasa sakit dan begitu nyeri, Valerie sama sekali tidak menunjukkan kesedihannya. Justru ia berusaha keras terlihat baik-baik saja di hadapan Sean, berusaha ceria agar pria itu tidak menyadari kalau ia baru saja menangis karena tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. “Hmm ... ya, aku sudah selesai,” jawabnya dengan nada lemah. Sean tentu saja bisa menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi melalui dari nada suara Valerie. Segera ia mendekat dan menatap Valerie dengan intens.
Sean menatap khawatir ke arah Valerie yang masih banyak diam dan tampak memikirkan banyak hal. Padahal mereka baru saja mampir di makam ibunya, tetapi tampaknya mood wanita itu belum juga membaik. Masih diam dan diliputi kesedihan.Dengan penuh perhatian, Sean yang mengemudikan mobil untuk pulang ke penthouse mereka. Satu tangannya bergerak menyentuh tangan Valerie, menggenggamnya dengan lembut.“Ada apa, Valerie? Kenapa kau masih terlihat begitu muram? Apa kau masih merindukan ibumu?” tanya Sean dengan kekhawatiran penuh.Valerie yang sejak tadi hanya membuang pandangan ke luar jendela, menikmati jalanan dalam diam seketika tersentak mendapati sentuhan di tangannya yang disusul dengan suara Sean.Wanita itu segera menoleh ke arah pria itu dan memberikan gelengan pelan. “Aku sudah tidak apa-apa, Sean.”Sean yang berusaha fokus dengan jalanan di depannya sesekali menatap Valerie dengan tatapan tidak percaya atas jawabannya barusan.“Tetapi kenapa kau diam saja sejak tadi? Bahkan sejak
“Wanita bodoh itu melihatku dan Sean berciuman—““Berciuman? Kau serius?”Juliet langsung memotong kalimat Amora dengan sebuah pertanyaan dengan ekspresi terkejut. Jika apa yang Amora katakan itu memang benar adanya maka dia ikutan excited dibuatnya.Amora mengulas senyum malu-malu, memberikan anggukan pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Juliet tersebut. “Hmm ... kami berciuman,” jawabnya malu-malu bercampur rasa bahagia yang tercetak jelas dari raut wajahnya.Juliet langsung berseru bahagia. “Apa aku bilang, Sean itu masih mencintaimu. Dia hanya terkena pelet perempuan itu sampai bisa menduakanmu, tetapi di dalam hatinya masih kamu yang meratu di sana.”Raut wajah Amora berangsur-angsur berubah muram mendengar perkataan Juliet tersebut. “Sebenarnya ciuman itu terjadi bukan karena inisiatif Sean sendiri, tetapi justru aku yang memaksa hingga ciuman itu terjadi. Pria itu bukan lagi Sean yang dahulu, Ibu. Dia benar-benar sudah berubah.”Amora tentu saja tidak bisa berpura-pura lagi ba
“Menginap dua malah di rumah itu hidupku sudah seperti di neraka!”Amora mengatakan kalimat itu sembari membuka lemari pakaian Bara. Ia kemudian menyambar kemeja milik pria itu, kemeja kesukaannya saat menginap di apartemen Bara.Tidak lama kemudian, Amora sudah meloloskan gaun yang melekat di tubuhnya, menyusul bra berenda yang jatuh di kakinya kemudian menutup tubuhnya dengan kemeja Bara.Saat ini Amora enggan pulang ke penthouse-nya dan lebih memilih mendatangi apartemen Bara. Dia hanya akan kesepian jika seorang diri tanpa keberadaan Sean, karena ia tahu sekali suaminya itu akan lebih memilih menginap di tempat Valerie alih-alih kembali ke penthouse yang sudah mereka tinggali selama bertahun-tahun.Bara yang mendengar keluhan Amora segera membuka suara, “Kenapa?” tanyanya yang saat ini sedang duduk di meja kerjanya sambil menatap serius pada laptop di hadapannya.“Sean membawa istri keduanya!” ucap Amora dengan nada meninggi, sembari tangannya kembali menarik selembar boxer yang
“Apakah kau bisa melakukannya?”“Kau meragukanku?” tanya Bara balik, sedikit tersinggung dengan kalimat Amora yang seolah tengah meragukan kemampuannya.Amora menggeleng cepat. “Tidak ... maksudku sudah terlalu banyak cara aku lakukan untuk menyingkirkan wanita itu namun semua hasilnya nihil. Sean sama sekali tidak akan melepaskan Valerie, begitupun wanita licik itu sangat pandai dalam mempengaruhi Sean untuk terus berpihak padanya.”Bara langsung tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Amora yang tidak mampu menyingkirkan wanita itu. “Kau sangat tahu aku, bukan? Aku bisa melakukan sesuatu yang kau pun tidak bisa sangka-sangka. Dan aku yakin sekali Sean akan langsung meninggalkan wanita itu seperti keinginanmu.”Amora tersenyum senang. “Aku akan sangat berterima kasih jika kau benar-benar bisa melakukan itu untukku, Bara.”Tentu saja Amora tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya mendengar Bara berniat membantunya untuk melakukan sesuatu agar Valerie dan Sean segera berpisah. Bagai
Sean dan Valerie tiba di penthouse saat hari sudah berubah malam. Perjalanan dari rumah orang tuanya memakan waktu yang cukup lama karena berhubung mereka mampir ke makam ibu Valerie untuk menyalurkan kerinduan.Alhasil, mereka tiba saat sudah malam hari. Setelah memarkir mobilnya di basement Sean berniat turun dari mobil tetapi sebelum itu ia menoleh ke samping di mana Valerie yang sejak meninggalkan rumah orang tuanya terlihat berbeda, begitu murung dan tidak seceria biasanya.Senyum Sean langsung terbit saat mendapati ternyata Valerie sudah tertidur begitu pulas bahkan tidak menyadari kalau mereka sudah sampai di penthouse. Saking fokusnya ia mengemudi, Sean sampai tidak menyadari kalau Valerie di sampingnya sudah tertidur.“Kau sudah tertidur rupanya, Sayang,” bisik Sean senang mendapati wajah damai Valerie saat tertidur.Tanpa membuang waktu lama, Sean segera turun dari mobil. Ia harus segera membawa Valerie ke kamar agar wanita itu bisa beristirahat dengan nyaman.Dengan gerakan
Sudah hampir setengah jam Valerie berada di dalam kamar mandi dan belum ada tanda-tanda ia akan segera keluar. Bahkan suara gemericik air yang menandakan wanita itu tengah mandi pun tidak terdengar.Hal itu membuat Sean semakin panik dibuatnya. Dia tidak menyusul masuk seperti yang selama ini ia lakukan karena tidak ingin semakin memperkeruh keadaan dan membuat Valerie semakin kesal. Alhasil ia hanya menunggu dengan rasa takut sekaligus khawatir.“Apa yang dia lakukan di dalam sana?” tanya Sean dalam keheningan kamar. Menimbang apakah ia harus mengecek keadaan wanita itu atau tidak, takutnya ada sesuatu yang buruk terjadi dan ia tidak menyadarinya.Karena penasaran dan tidak ingin membuat Valerie sampai celaka karena tidak cepat mengecek keadaannya, Sean segera bergegas menuju depan pintu kamar mandi. Tanpa mengetuk terlebih dahulu ia membuka handle pintu itu namun pergerakannya terhenti saat menyadari pintu itu terkunci dari dalam.Tidak biasanya Valerie mengunci kamar mandi, karena