Detik tiap waktu berlalu terasa sangat berharga untuk Ashana saat ini. Di detik itu setiap napas Ibu nya sedang di perhitungkan. Setiap detik yang berlalu sebanyak itu pula, ia menyia-nyiakan nasib keselamatan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.
Ashana Fazaira, gadis yang berusia 24 tahun itu berdiri diam menatap cermin di depannya.Ia mengamati dirinya di cermin toilet rumah sakit, gadis dengan rambut hitam di ikat satu yang panjang, mata besar hitam yang tampak lelah, sayu dan kurang tidur. Lalu wajahnya yang putih tapi kasar karena beruntusan dan jerawat kecil di mengalir di sisi wajahnya.dahi dan pipi. Belum lagi cekungan di pipinya bahkan terlihat jelas karena bobot tubuhnya yang banyak hilang. Sedangkan lelehan air mata terus menghangat.Dia sungguh jelekSungguh banyak yang berubah padanyaKehidupan bahagianya juga telah hilangSeakan tak cukup sekarang Ia harus mendapatkan uang 150 juta untuk operasi Ibunya. Ashana terpaksa mengambil keputusan yang tergolong gila, dan termasuk dosa. Ashana hanya terpikirkan satu cara untuk keluar dari beban ekonomi yang saat ini menghampirinya. Jika tak ada lagi yang bisa ia jual, maka pilihannya hanya menjual dirinya sendiri.Karena itulah ia langsung menunju apartemen temannya Ava Janitra. Teman satu tempat kerjanya, mereka sudah mengenal selama 2 tahun dan hubungan pertemanan mereka sudah sangat dekat. Ia tau Ava sering kali keluar masuk club malam, dan pernah temannya itu mengatakan di bayar setelah tak sengaja melakukan one night stand dengan pria asing.Bukan hanya 1 juta atau 2 juta, tapi pria asing itu meninggalkan cek senilai 200 juta untuknya, atau mungkin untuk keperawanannya. Ava pada saat itu marah besar, saat bangun di kamar hotel melihat hanya ada cek tanpa sosok lain yang menemaninya semalaman itu.Tapi semarah apapun ia tak sanggup untuk membuang cek itu. Ia sudah banyak kehilangan, tak mungkin ia pergi dengan tangan kosong. Ava juga memiliki nasib ekonomi yang tergolong sedikit lebih baik dari Ashana, tapi tak tergolong kaya raya. Jadilah ia menyimpan dan menikmati uang 200 juta itu dengan sedikit perih di hati.Kembali mengingat itu Ashana menghubungi Ava, mungkin hanya ini jalan satu-satunya. Ia harus tidur dengan pria asing, dengan begitu berarti ia harus menyerahkan keperawanannya.Meski pahit, ia tak bisa tak memikirkan wajah Ibunya yang saat ini masih terbaring di atas ranjang rumah sakit.“Kamu serius?” Ava berdiri berkacak pinggang di depannya, dengan baju rumahan berupa dress pendek dengan tali spaghetti. Rambutnya bahkan tampak berantakan karena sedari ia mendengar kalimat itu, wanita di depannya ini langsung mengacak rambutnya frustasi dah tak habis pikir.Ashana mengangguk, “Iya, aku serius Va.”Walaupun mendengarnya langsung, wajah wanita itu masih tak percaya. Ia mengenal baik temannya ini yang selalu menolak ketika di ajak ke club hanya untuk sekedar bersenang-senang saja. Tapi dengan tiba-tiba temannya ini berubah, langsung ingin tidur dengan pria asing. Tentu ia boleh tak percaya, kan?Tapi Ava juga tau masalah yang saat ini di derita temannya ini, masalah ekonomi memang yang paling menyulitkan di dunia ini.Ava akhirnya duduk di sebelah Ashana, menyandarkan punggungnya, menghela napas panjang. Wanita itu menatap ke langit-langit apartemen kecil miliknya, “Sesusah itu emang ya Sha untuk dapetin uang. Orang bilang hidup nggak cuma sekedar tentang uang. Tapi nyatanya hidup nggak bisa tanpa uang.”Ashana yang melirik temannya itu, menunduk seketika ketika mendengar kalimat itu. Ya, uang memang lah segalanya.Melihat reaksinya temannya yang hanya termenung dari sudut matanya, Ava kembali menghela napas panjang. Ia juga sama putus asanya dengan Ashana, ia merasa bersalah sebagai teman.“Sorry Sha, aku nggak bisa bantu kamu kali ini. Aku juga cuma anak dari keluarga yang biasa aja. Paling banyak aku cuma megang uang 50 juta Sha” ucapnya lirih sarat kesedihan di sana.Rasa sedih itu ternyata sampai di mata Ashana yang tampak mulai mengembun, tapi dengan cepat di usir oleh tangannya.“Kamu bisa bantu kok, bantuin aku cari pria asing yang mau tidur sama aku. Kan kamu paling ahli soal begini” ucapnya sedikit bercanda untuk mengusir atmosfer sedih yang mulai tampak canggung itu.Dan benar saja, Ava langsung melayangkan pukulan ke lengan atas Ashana. Ia tak terima mendengar kalimat itu, “Enak aja aku di bilang ahli. Aku nggak seprofessional wanita club ya. Mereka tuh baru ahli”“Ya udah dari aku kan ahlian kamu. Jadi, senior tolong bantuannya ya” ucap memohon Ashana yang masih tampak main-main dengan senyum tipis yang membuat Ava mencibir mendengarnya.“Oke sekarang kita pergi” final Ava.**Lampu redup yang remang-remang dan suara musik yang menguasai tempat itu membuat kernyitan makin dalam terlipat di dahi Ashana. Ia baru pertama kali ke tempat ini, tapi atmosfer kebebasan sudah membuatnya tercekik.Sedangkan Ava berjalan pasti di depannya dengan berbagai rayuan yang terus menghampiri wanita itu.“Sha ke arah sini” tarik Ava yang langsung mengambil tangannya menuju lantai atas.Pemandangan yang mengejutkan tumpah di matanya, setiap tempat ia memandang selalu akan ada pasangan yang berbuat intim menghadang. Hal-hal intim yang lebih dari ciuman bahkan dapat dengan mudah di lihatnya.Ashana langsung mengecilkan bahunya merasa risih melihat baju wanita di sana yang hanya menutupi aset penting saja. Bahkan ada yang sudah terbuka di bagian dada.“Hei Va akhirnya ketemu juga kita” sapa seorang lelaki yang langsung mendekat dan mencium pipi kiri Ava tanpa adanya gerakan penolakan dari temannya itu.Cukup membuat Ashana kaget“Whoa lo bawa siapa nih?” tanya pria yang duduk di sofa tempat yang akan di tuju Ava.Ava langsung menarik Ashana ke sampingnya, “Temen gue, dia masih virgin. Yang gue bilang tadi” ucap Ava langsung tanpa basa basi yang mendapat siulan dari yang lainnya, sedangkan Ashana sudah menunduk karena malu.“Yakin sih masih virgin. Bentukan nya jelek gini, siapa yang mau nidurin kan?” ucap pria tadi yang mencium Ava, yang menaruh tangannya di dagu Asha mengangkatnya naik agar bisa menatap wajahnya.Asha langsung kaget di buatnya dan refleks mundur mendekat pada Ava.“Wah seriusan jelek? Percuma juga kalau perawan tapi jelek, nggak enak banget pas mau keluar liat wajahnya masuk lagi sperma gue” lelucon salah satu pria di sana yang makin membuat Ashana gemetaran.“Gimana sih Va. Lo bawa cewek jelek gini, mana jerawatan lagi, kulitnya kasar juga” ucap pria yang sama mulai mengelus lengan Ashana.“Mau jual diri juga harus cantik kali neng. Masa jual perawannya doang, tapi wajahnya lebih jelek dari pembantu gue” ucap lagi orang di sana.Ashana sudah memegang kuat tangan Ava, tak ingin lagi mendengar lelucon tentang dirinya. Ia hanya ingin pergi dari sini, tapi bisikan dari Ava langsung membuatnya sadar seketika, “Inget Ibu kamu yang lagi di rumah sakit Sha.”Iya, Ibunya membutuhkan uang secepatnya.Ava menatap orang di sana, “Nggak jelek amat kok, liat deh badannya bagus, berisi. Lagian yang kalian butuhin kan cuma badan doang buat di tidurin. Nyari perawan sekarang susah, jadi nggak usah banyak bacot. Ada yang mau tidur nggak, ama temen gue?” tanya Ava akhirnya membuat diam orang yang ada di sana.Pria yang duduk di sofa itu menatap lama pada Ashana, “Ya bener juga, payudaranya gede juga, di tambah masih perawan. Gue rasa gue mau tidur sama temen lo itu. Tapi ada syarat nya…”Perkataan menggantung itu membuat Ashana menaikkan pandangannya, menatap wajah sombong lelaki itu yang wajahnya biasa saja, tapi memang terlihat kaya.“Apa?” tanya AvaSeringai pria itu langsung muncul menatap lurus pada Ashana, “Suruh temen lo buka bajunya di sini. Gue juga harus mastiin barangnya bagus apa enggak” ucapnya yang langsung di sambut tawa semua orang di meja itu.Ava langsung mengeraskan rahangnya, sedangkan Ashana sudah menegang dan memucat di tempatnya. Telinganya seakan meledak mendengar itu.“Gimana, temen lo mau nggak? Buka semua pakaiannya tanpa tertinggal sehelai pun!” tekannya lagi.Badan Ashana meremang mendengar itu, itu perkataan paling hina yang pernah ia dengarDan di detik itu juga Ashana langsung berlari dari sana.Ia tak bisa, sekeras apapun ia mencoba. Ia tak mungkin berani melakukan itu.Ia tak sehina itu.Di kala ia lelah dan berhenti karena merasa tersesat tak tau arah pintu keluar. Suara lembut seseorang menyambutnya, “Saya bisa kasih kamu uang berapa pun yang kamu mau. Syaratnya cukup melahirkan anak untuk suami saya”Deg“Saya akan beli rahim kamu seharga 1 Miliar”Cahaya remang yang ada di club itu mengaburkan pandangannya pada sosok wanita yang ada di depannya saat ini. Siluet dress pendek dan rambut bergelombang panjang meyakinkan Ashana jika sosok di depannya ini adalah wanita.Kurangnya cahaya di dalam club ini memang membuat ia tak bisa melihat jelas wajah wanita itu, tapi untunglah suara lembut wanita ini masih bisa ia dengar dengan jelas.Untuk beberapa saat Ashana bergeming di tempatnya, seakan syok dengan perkataan yang baru saja masuk ke telinganya.Menatap lurus pada wanita yang ada di depannya, bibirnya tergagap ingin mengatakan sesuatu, tapi seakan ragu mulutnya tertutup kembali.“Apa kamu mendengar perkataan saya barusan?” suara dari wanita ini datang kembali terdengar indah di telinga menyadarkannya bahwa telinganya masih berfungsi normal, tak ada yang salah sedikitpun.Bergerak gelisah seolah tak yakin, Ashana akhirnya mengeluarkan suara, “Apa maksud perkataan anda barusan?” tanyanya pelan tak bertenaga.Wanita itu tampak menoleh
Seorang pria yang belum cukup tua terbaring di ranjang rumah sakit, dengan tangan yang di tempeli infus yang tak lagi leluasa bergerak. Mata pria itu lelah seakan tak bisa lagi mengangkat kelopak matanya untuk tetap terbuka.Tapi segaris senyum masih ada menghiasi wajah pucat kurus yang sudah mulai berkerut itu.“Asha…”“Ashana…”Napas pelan yang sulit di dengar itu, memaksa Ashana makin mendekat. Mencondongkan badan ke depan dengan tangan yang mulai menutupi tangan yang lemah itu.Menggenggamnya erat memberikan rasa hangat, Ashana tersenyum cerah seakan tak ada beban di hati.“Iya Ayah, Asha di sini” balas nya sama pelannya seolah berbisik.Wikan Fazaria, yang sudah berumur 40-an itu mengangkat lebih tinggi kelopak matanya menatap keseluruhan wajah putri semata wayangnya.“Putri Ayah…” bisiknya pelan ingin menyentuh wajah yang sangat mirip dengan istrinya itu.Melihat tangan itu yang hanya bergerak tapi tak terangkat, Ashana langsung menariknya hingga menempel pada pipi kanannya. Mata
Hari senin yang di janjikan datang tanpa di harapkan, sesuai janji dengan wanita yang ternyata seorang aktris itu, Ashana harus datang ke apartemen Wira.Tapi satu hal yang ia ragukan sekarang, jam berapa ia harus ke sana?Ingin bertanya ia bahkan tak punya kontak pribadi wanita itu, Ashana terpaksa duduk diam di meja kerjanya. Memikirkannya lagi pastilah ia harus datang malam kan? lagi pula mereka hanya perlu tidur saja.Ashana bergidik merasa ngeri saat kalimat tidur dengan pria asing itu muncul di pikirannya. Ia memang mengatakan dengan mulutnya bahwa akan menjual keperawanannya bahkan akan menjual rahimnya, tapi saat sudah menghitung jam seperti ini, ia benar-benar merasa gugup, takut, dan terhina secara bersamaan.Ia merasa menjadi wanita paling tak bermoral dan lebih buruk dari jalang . Jika tak mengingat wajah Ibunya tadi pagi yang sudah mulai membaik, ia pasti akan langsung bunuh diri saja. Tapi masih ada Ibunya dan masih ada kata bahagia yang ia janjikan pada Ayahnya.Ashana
Mobil Toyota Alphard berwarna hitam berhenti tepat di depan loby Awbel Hotel. Sebelum turun Bellanca berkali-kali menghirup napas, menenangkan perasaannya. Merasa dirinya sudah mulai terkendali, barulah wanita cantik itu turun.Bellanca kali ini menggunakan mantel hitam yang menutupi dress nya, dan topi lumayan lebar untuk menenggelamkan wajahnya.Walaupun penjagaan hotel ini ketat, tak ada salahnya berhati-hati kalau-kalau ada paparazzi yang mengikutinya.Baru saja masuk ke lantai dasar Hotel Awbel tempat restoran Awbel berada. Bellanca tertegun karena area ini kosong. Tak ada satu orang pun di sini.Sehingga matanya dengan cepat menemukan pria dengan punggung tegak sedang duduk membelakanginya.Ah, itu pasti Yasa.Yasa Zabran, cinta pertamanya di bangku SMA. Pria dengan ciri khas lesung pipit di pipinya itu menjadi mantan pertama Bellanca hingga semester pertama kuliah. Yasa adalah pria yang ramah, lembut dan sangat perhatian, sangat berbeda dari Caraka. Karena itu lah ia bisa berpa
Operasi sudah selesai, tapi Ibunya masih belum sadar juga. Ashana tak bisa membendung rasa khawatir di hatinya. Bahkan keringat gugup mulai mengisi di tepian anak rambutnya. “Tante pasti baik-baik aja Sha, tante orang yang kuat dia udah bertahan sejauh ini. Tante nggak mungkin bakal nyerah gitu aja” ucap Ava menguatkan.Ashana mendongak, dengan genangan air mata menatap wajah temannya itu, “Aku takut Va, Ibu lebih milih sama Ayah dari pada pulang ke aku. Aku takut di tinggalin Ibu sendirian Va” ucapnya dengan isak tangis yang mulai menyelingi.Ava menegarkan wajahnya, menarik temannya itu kedalam pelukan yang mungkin bisa menenangkan.Greb Pelukan itu bertambah berat dengan bertambahnya seseorang.Dhia Fannan, teman sekantornya yang sudah menjadi teman dekat, “Sorry aku baru bisa datang Sha, aku minta maaf tidak bisa menemani kamu pas lagi butuh” ucapnya yang sudah melepas pelukan dan kini mulai menangis.Temannya ini memang tak ada di kota ini, karena dia sedang ada dinas luar kota.
Mentari bersilau dari balik gorden yang masih tertutup rapat. Dan kedua insan yang tidur sambil berpelukan itu tampak tak terganggu dengan jam yang mulai tinggi. Merasa masih nyaman di tempat dengan selimut tebal yang lembut dan pelukan yang hangat.Bellanca mengerjap beberapa kali meminta kesadarannya muncul, bersamaan dengan matanya yang sudah mulai fokus. Ia tertegun menatap dada bidang tepat di depannya.Mengangkat mata perlahan, dengan deru jantung beradu, matanya melebar.Pria ini YasaBukan suaminyaDia tidur dengan Yasa semalam.Seolah kewarasan mulai menyelimuti, ia terpekik bangun dari tempatnya. Bergerak mundur menjauh dari sosok itu, melepas paksa tangan yang melingkar di pinggangnya. Lalu matanya menatap lurus pada Yasa yang mulai terusik, ini salah. Dia mengkhianati Caraka saat ini, mengkhianati 6 tahun pernikahan mereka. Kelebat wajah Caraka yang tersenyum lembut membuat dadanya sesak. Senyum itu menghujam tepat di jantungnya, menyadarkannya akan kesalahan yang sudah i
Flashback onAshana jelas sekali ragu-ragu, “S-saya ingin menikah dengan Pak Caraka”DegPerkataan itu membuat hening singkat di ruangan itu.Caraka mengepalkan tangannya erat, “Kamu hanya menjual diri, dan ada apa dengan omong kosong barusan?”Merasakan hawa mengancam di depannya, Ashana memejamkan mata mencoba menghalau rasa takutnya, ia tiba-tiba saja teringat Kevin, bocah yang ia temui tadi. Ashana tak bisa membayangkan bagaimana anaknya lahir di luar nikah bahkan hasil darinya menjual diri. Anaknya pasti akan mendapatkan karma dari tindakan buruk Ibunya. “P-pak saya tidak ingin anak saya lahir di luar nikah, saya tidak ingin anak ini menjadi anak haram” ucapnya pelan.Ia tau tidur dengan pria asing saja sudah dosa, dan Ashana semakin tidak ingin membuat anaknya harus menjadi anak di luar nikah yang lahir hasil dari perbuatan dosa tersebut.Caraka langsung berdiri mendengar itu, “Kalau begitu kenapa kamu menyetujui tawaran istri saya? kamu hanya menginginkan uang seperti jalang la
Ashana duduk dengan gugup saat ini, tangannya bahkan berkeringat seakan tak percaya jika CEO tempatnya bekerja itu bersedia untuk menikahinya. Padahal Ashana ingat bagaimana marahnya pria ini kemarin, hingga menghancurkan semua barang dan berteriak keras bahwa tidak akan sudi untuk menikah dengannya.Tapi tiba-tiba saja hari ini Pak Caraka menghubunginya dan menyuruhnya untuk datang ke apartemen Wira. Pernikahan ini hanya sah di mata agama saja, tapi tidak di mata hukum dan Ashana paham alasannya.Dia hanya bertugas untuk melahirkan anak saja, nikah sirih pun ia sudah sangat bersyukur setidaknya ia terhindar dari dosa zina. Menunduk menatap tangannya, Ashana bahkan tak mengenakan gaun putih pengantin, ia hanya mengenakan kemeja kerjanya. Padahal ini pernikahan pertamanya tapi keadaannya tak mencerminkan seorang pengantin sama sekali. Ashana meringis menyadari itu.Di ruangan yang kemarin sempat di hancurkan Caraka, sudah ada penghulu dan beberapa saksi untuk mereka menikah. Caraka ta
Sarapan pagi itu selesai dengan damai dan lancar, Ashana tak hentinya tersenyum lembut merasakan betapa indahnya pagi ini. Ia jadi merasa hari ini akan menjadi lebih baik lagi nantinya. Ashana berjalan kembali ke dapur dengan membawa piring kotor tadi ke wastafel. Ia tak bisa mengharapkan Dina untuk membersihkan meja makan. Lagi pula perempuan itu juga tak terlihat sedari tadi, mungkin ia masih bersembunyi karena menyadari Caraka masih di sini. Menyalakan kran wastafel, Ashana berniat mencuci piring sebelum ia berangkat ke kantor. Ia tak terbiasa meninggalkan piring kotor di rumah, semacam sudah kebiasaan untuk memastikan semuanya bersih sebelum ia pergi. Meninggalkan Caraka di meja makan, Ashana yakin pria itu pasti sudah pergi mengingat tadi Bellanca mengirimkan pesan. Walaupun Ashana tak sampai membaca pesan apa itu, tapi Ashana yakin Caraka akan menemui istri tercintanya itu. Lagi-lagi ketika mengingat kata istri, Ashana melirik ke jari manis tangannya yang tertutup oleh busa s
Suasana hangat itu langsung berubah canggung, Caraka tak bergerak setelah membaca pesan tersebut. Mata dan pikirannya terpaku pada beberapa kata itu. Terutama kata kangen yang di kirim Bellanca.Ashana yang membawa infused water di tangannya datang mendekat, dan tanpa sengaja melihat ke arah yang sama. Matanya bergetar mendapati nama my wife di layar hp Caraka. Tanpa bertanya siapa, Ashana sudah tau jawabannya.Dengan pelan ia meletakkan gelas itu, denting gelas dan meja beradu menarik kesadaran Caraka. Terkesiap, tangannya spontan menelungkup kan layar hp nya ke meja, seolah sedang tertangkap basah langsung menatap Ashana dengan kaget."Minumannya" ucap Ashana singkat yang mengambil duduk di kursi sana."Ah, makasih" balas Caraka tak kalah singkat. Canggung mendera mereka, Caraka yang seolah ingin mengatakan sesuatu menjadi ragu-ragu. Mulut pria itu terbuka lalu tertutup lagi seolah tak tau harus bicara apa. Di tengah hening itu, Ashana mengambil garpu nya, tanpa melihat Caraka ia
Mentari mulai muncul perlahan, mengintip di ujung timur dengan semburat jingga cerah. Denting jam berdetak seirama mengisi ruangan, gorden yang terbuka mengizinkan semilir angin masuk.Ashana mengerjap perlahan, berkedip-kedip menyesuaikan cahaya yang mulai terang. Bau wangi softener di selimut membangunkan semua inderanya. Ia mulai mengingat semua yang terjadi, ia mati kelelahan kemarin di dalam mobil Caraka. Semua badannya terasa pegal, bahkan ia sedikit meringis karena sakit. Sepertinya hukuman yang di janjikan Caraka benar-benar bukan omong kosong belaka. Caraka, pria dengan ucapannya, akan lebih baik untuk tidak memancing amarah pria ini lagi. Ashana bergerak perlahan, ia masih sadar untuk pergi bekerja, tak mungkin ia absen begitu saja. Baru saja bergerak perlahan, lenguhan dari arah belakangnya segera membuat Ashana berbalik.Caraka tertidur dengan wajah yang di benamkan di bantal. Lengan pria itu memeluknya di pinggang. "Dia tidur disini?" lirih Ashana. Ia tak ingat bagaima
Ashana yang berlari keluar berhenti ketika sampai di loby mall. Ia bingung, ia datang bersama Caraka, tidak masalah kan jika ia pulang sendiri?Menoleh ke belakang, Ashana menghela napas. Lagi pula sepertinya pria itu juga tak terlalu peduli padanya, buktinya Caraka sama sekali tidak mengejarnya. Meyakinkan diri, akhirnya Ashana berjalan keluar mencari taxi. Jalan raya malam ini terasa ramai, mungkin sebab itu lah ia tak juga menemukan taxi yang dicarinya sejak tadi. Apa sebaiknya ia memesan ojol saja?Saat pikiran itu datang, ia segera mengambil hp dari dalam tasnya, membuka aplikasi hijau.Akan lebih baik, jika ia segera menghilang dari sini sebelum bertemu Caraka lagi. Ashana bingung jika harus menjawab pertanyaan kenapa ia tiba-tiba keluar seperti tadi. Itu hanya gerakan impulsif semata karena perasaannya yang sedikit tertekan. Ia merasa tak bisa terlalu lama berduaan dengan pria itu.Sibuk menunduk menatap layar yang menampilkan driver sedang di cari, suara klakson dari arah de
Lagi-lagi untuk hari ini Caraka menyerangnya. Menciumi semua isi mulutnya, menjilatinya dengan tangan yang sudah meraba kemana-mana.Kulit nya yang terbuka akibat dress pendek itu sangat di manfaatkan oleh Caraka, tangannya bergerak liar dari punggung, pinggang hingga ke paha Ashana.Ashana memejamkan mata merasakan itu, mendesah pelan dengan menggigit bibir bawahnya agar tak terlalu berisik. Ia harus ingat bahwa ini tempat umum, bukan tempat seharusnya bagi mereka melakukan hal seperti ini. Mau bagaimana pun pikiran nya, tubuhnya sama sekali tak mendengarkan. Ia justru kembali terhanyut dalam perasaan menggelitik ini. Tubuhnya sama sekali tak ingin menghindar, malah semakin merapat ke arah Caraka."Hah" saat desah itu makin terdengar kuat dari Caraka, pria itu segera menarik diri. Menyatukan dahi mereka dengan napas saling beradu.Caraka membelai pipi Ashana yang terasa panas di ujung jarinya, "Kamu pasti lelah, maaf aku akan menahan diri" tulusnya.Ashana langsung mengangkat panda
Mall yang mereka tuju itu ramai dengan manusia. Suara langkah kaki hingga suara tawa memenuhi tempat itu.Ashana menatap sekitar, ini kedua kalinya ia masuk ke dalam mall besar ini, tempat yang pas untuk menghamburkan uang.Menoleh ke sampingnya, Caraka terlihat dalam suasana yang sangat baik. Ashana bahkan bisa melihat wajah dingin yang biasanya kaku itu mengendur rileks. Bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat tanpa beban. 'Jika tidak berwajah datar seperti biasanya, Caraka terlihat jauh lebih tampan' pujinya dalam hati. Ia dengan nyaman mengamati wajah tampan itu.Merasakan tatapan dari sebelahnya, Caraka menoleh hingga Ashana terpergok menatapnya sejak tadi. Ashana langsung kikuk, tidak sopan menatap orang lain secara terang-terangan begitu.Ia merutuki dirinya sendiri. "Apa yang sedang kau lihat?" tanya Caraka yang sama sekali tak merasa risih. Justru pria itu bertanya ramah.Ashana semakin bersalah, "Ah, tidak. Aku hanya tidak terbiasa saja datang kesini" ucapnya pelan. Caraka
Ashana mengerjap perlahan, tubuhnya terasa lelah ketika ia bergerak. Tapi hangatnya selimut di tubuhnya membuatnya tak ingin beranjak.Ketika ingatan terakhir tentang perbuatannya dengan Caraka terlintas, ia segera terduduk. Saat itu selimut gelap itu meluruh dari badannya. Ah, dia telanjang, Ashana langsung menarik selimut itu kembali, menutupi badannya.Melihat sekitar, ia di ranjang, tunggu kenapa bisa ia ada disini?"Ini dimana?"Bekerja? lalu bagaimana dengan pekerjaannya. Ingin beranjak dari kasur empuk itu tapi matanya tak menemukan pakaian kerjanya. Kemana perginya pakaiannya?Dengan terpaksa Ashana segera membawa selimut itu untuk berdiri. Ia bergerak membuka gorden, agar lebih leluasa meneliti tempat ini.Bukannya mendapatkan cahaya, matanya melebar ketika melihat pemandangan luar yang berubah gelap dengan lampu gedung menyala, "Jam berapa ini?" lirihnya tak percaya."8 malam" suara dari arah belakang membuatnya berbalik dengan kaget.Tepat ketika itu, Caraka bersandar di p
Suara desahan beradu dari mulut yang saling mengulum satu sama lain. Gerakan kasar pinggul itu menyentak kencang tubuh sang wanita. Di kamar yang luas dengan lampu remang itu membuat suasana makin syahdu di temani lilin putih yang terbakar perlahan di atas meja."Ah Yas..." desah Bellanca mengangkat pinggul nya menerima setiap dorongan yang di berikan Yasa. Napasnya memburu dengan desah nafsu makin tinggi.Yasa tak tinggal diam ia bergerak liar menghujam, merasakan akan mencapai puncaknya ia menekan tubuhnya lebih dalam. Bellanca terpekik nikmat dengan mendesahkan nama Yasa."Ahh Yas ini nikmat..." ucapnya yang terkulai dengan keringat membanjiri tubuh. Tak jauh berbeda dengan Yasa yang langsung terjatuh ke atas tubuh Bellanca. Meletakkan kepalanya di sudut leher wanita itu. Ini sudah pukul 3 pagi, entah sudah berapa lama mereka melakukannya. Tiba-tiba di tengah napas Bellanca yang terdengar pelan menikmati sisa kenikmatan itu, Yasa tersentak kaget seolah menyadari sesuatu.Ia lan
Ashana menatap malu pada pertanyaan Caraka. Wajahnya yang sudah merah makin merah dibuatnya. Kenapa Caraka malah tiba-tiba meminta izin untuk menciumnya? apa ia lupa, sejak tadi ia sudah berulang kali menciumnya?"Kenapa kamu meminta izin?" tanya Ashana dengan wajah tak sanggup menatap Caraka. Mendengar itu, Caraka tersentak sebentar dan kemudian berubah tersenyum manis merasa senang. Tangannya langsung berpindah bergerak ke pantat Ashana, menekannya ke bawah membuat Ashana mendesah kaget."Aah...""Benar, seharusnya aku bisa melakukan apa saja tanpa perlu meminta izin kan" ucapnya yang mulai menggerakkan pantat Ashana sesukanya.Menekannya kuat keatas dan bawah, membuat wajahnya meredup merasa nikmat. "Kalau begitu akan ku lakukan semua yang aku mau" bisiknya yang sudah mendekatkan wajah ke leher Ashana.Dan detik berikutnya kepala Ashana pusing dengan perasaan nikmat yang membakar tubuhnya. Gerakan tangan Caraka makin cepat menggerakkan pinggulnya, sedangkan mulutnya tak diam, mula