"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Uap panas tampak mengepul-ngepul di atas secangkir kopi yang baru saja tiba ke atas meja. Ia menarik nafas sambil sesekali menolehkan pandangan keluar jendela kafe menatap ke arah keramaian lalu lintas di sore hari itu. Sebelum kemudian memutuskan menegur Ann yang sedari tadi hanya duduk diam seribu bahasa di hadapannya tersebut. Seolah berusaha menelan seluruh keresahannya sendiri, di matanya wanita itu tampak sangat gusar saat ini. Bahkan tangan yang menyuapkan sup ke bibir merah muda wanita tersebut pun tampak bergetar mengatasi rasa yang tengah disamarkan sosok di hadapannya itu. "Ada apa, Ann? Apakah hari ini rasa supnya berbeda dari biasanya?" ujarnya mencoba memulai pembicaraan dengan gurauan ringan. Meski Ann tampak sempat tertegun namun tetap saja bibir wanita itu masih mengatup rapat. Alih-alih menanggapi dengan jawaban, Ann meletakkan sendok sup yang ada di tangan serta menjauhkan tatapan. Will terhenyak. Entah mengapa diam-diam hati kecilnya merasa ada hal yang sungg
Dengingan yang terdengar lirih mengusik ruang dengarnya. Suara yang melengking seiring irama nafasnya itu sungguh memekakkan telinga. Perlahan dibukanya mata yang terasa berat itu. Bersitan cahaya lampu nan benderang menyergap matanya segera. Ia mengernyit dan memicing silau, berusaha secepat mungkin membiasakan pandangannya dengan cahaya tersebut. Dilayangkannya pandangan berkeliling. Dimana ini? Perlahan satu demi satu keingintahuan mulai bermunculan di dasar batinnya. Ia bergeming mengingsut masih dengan mata yang terus menyisir ruangan. Dan meringis miris disambut oleh rasa nyeri. Ini rumah sakit? Mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi denganku? Direndahkannya pandangan memeriksa diri sendiri. Dan terhenyak kala menemukan sekujur tubuhnya yang tengah dilekati berjenis peralatan bantu medis. Perlahan ia menggerakkan kedua tangan ke atas kepala. Memeriksa kepala serta wajahnya lewat usapan. Ia menemukan kepalanya tengah terbalut perban dan dilekati semacam alat pend
Sekonyong-konyong hendak memberi penghiburan, kedua perawat tersebut bergantian menyunggingkan senyuman kilas mereka padanya di sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan. Namun ia tak memberi tanggapan apapun. Hati kecilnya menyadari jawaban apapun tidak akan mampu menghiburnya saat ini hingga ia tak berkeinginan untuk menanyakan apapun. Dilayangkannya pandangan menyusuri sepanjang selasar lorong, menatap ke arah pintu demi pintu yang dilewati dengan tatapan tanpa hasrat. Sesaat sempat berkelebat keinginan memutar otak untuk mencoba kembali menggali ke dalam ruang ingatnya, namun seketika ia mengurungkannya. Entah dikarenakan tengah kehilangan daya pada tubuhnya atau memudarnya hasrat pada batinnya. Ia masih tetap diam nir tanggapan saat digiring memasuki sebuah ruangan yang lebih private dengan jendela pada salah satu sisinya. Ruangan tersebut juga tampak lebih sederhana tanpa kehadiran peralatan-peralatan medis yang kompleks nan riuh sebagaimana tempat ia dirawat sebelumnya. Da
Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya. "Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. Samar-samar terdenga
"Kakak mendengarnya juga ya?"Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya."Kakak sudah menemukan sarangnya?" Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. "Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku
Dengan langkah tertatih ia menghampiri wanita tersebut. Entah mengapa hanya dengan sekilas pandang terhadap sosok itu sontak membuat kerinduan dalam batinnya membuncah. Demikian pula dengan hasrat yang tak terjelaskan menyeruak begitu saja dalam dirinya tanpa aba-aba. Hingga-hingga butuh perjuangan menahan dirinya untuk tidak mendekap sosok tersebut.Diraihnya tangan wanita itu serta melontarkan pertanyaan singkat. "Siapa kamu?"Namun wanita dengan rambut coklat terurai itu mendorongnya menjauh. Serta merta ia mengeraskan tubuh. Ketika mendekatkan wajah pada sosok tersebut, seketika ia tertegun kala mendapati sepasang mata berwarna biru tersebut telah dibasahi oleh air mata. Membiarkan hasratnya tak terbendung, didekapnya tubuh mungil itu. Dihelanya nafas gusar ditenggarai gelengan. "Maafkan aku. Aku berusaha mengingat tapi aku..."Seketika nafasnya tercekat. Rasa sakit yang hebat kembali mendera kepalanya. Disertai gemeretak gigi menahan rasa tersebut, diangkatnya wajah hendak mel
Dokter Lucas mengangguk sembari menyandarkan tubuh ke belakang bangku, membalas tatapannya. “Ya. Anda adalah Wilbert Anderson. Tentu saja hampir semua yang bekerja di sini mengenali Anda. Anda mewakili ayah Anda, Abraham Anderson –yang merupakan salah satu direksi pendiri rumah sakit mengawasi operasional tempat ini. Kantor Anda ada di lantai tiga gedung ini. Jika ingin, Anda bisa menggunakannya seperti biasa...” tutur pria tua tersebut panjang disertai kilasan senyum.Sontak ia tergelak miris menanggapi. “Gurauan Anda itu tidak lucu, Dokter. Saya bahkan tak dapat memastikan kebenaran identitas diri dengan ingatan sendiri...”Terdengar kekehan pelan sang dokter. “Karena itu saya mohon kesabaran juga kerja sama dari Anda untuk menjalani proses pemeriksaan dan pemulihan yang akan membutuhkan waktu. Anda sedang mengalami efek-efek traumatis akibat kecelakaan. Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama 48 hari. Dan semuanya itu berdampak besar pada kondisi Anda sekarang...”.Dihel
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter