Dengingan yang terdengar lirih mengusik ruang dengarnya. Suara yang melengking seiring irama nafasnya itu sungguh memekakkan telinga.
Perlahan dibukanya mata yang terasa berat itu. Bersitan cahaya lampu nan benderang menyergap matanya segera. Ia mengernyit dan memicing silau, berusaha secepat mungkin membiasakan pandangannya dengan cahaya tersebut. Dilayangkannya pandangan berkeliling. Dimana ini? Perlahan satu demi satu keingintahuan mulai bermunculan di dasar batinnya. Ia bergeming mengingsut masih dengan mata yang terus menyisir ruangan. Dan meringis miris disambut oleh rasa nyeri. Ini rumah sakit? Mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi denganku? Direndahkannya pandangan memeriksa diri sendiri. Dan terhenyak kala menemukan sekujur tubuhnya yang tengah dilekati berjenis peralatan bantu medis. Perlahan ia menggerakkan kedua tangan ke atas kepala. Memeriksa kepala serta wajahnya lewat usapan. Ia menemukan kepalanya tengah terbalut perban dan dilekati semacam alat pendeteksi. Tangannya terhenti ketika tiba pada bagian belakang telinga kanannya. Ia dapat merasakan di balik perban masih tersisa luka yang cukup besar di tempat itu. Disudahinya segera pemeriksaan manualnya tersebut. Kembali diturunkannya tangan ke samping tubuh sembari mendesah. Kedua bola matanya turut bergerak liar seiring pikirannya yang mulai menggeliat mencari jawaban atas keingintahuannya. Ia terhenyak heran ditenggarai rasa nyeri yang timbul. Entah mengapa isi pikirannya kosong sekosong-kosongnya bagai secarik kertas bersih tanpa noda apapun di atasnya. Sekalipun ia berjuang keras menggali ingatan tak satupun yang berhasil muncul ke permukaan. Yang ada hanya menimbulkan rasa sakit yang mendera dalam kepalanya semakin intens.Ia mengerang putus asa. Aku harus mencari tahu bagaimanapun caranya, putusnya dalam batin seketika. Dan mulai melepas selang bantu pernafasan yang melekat di depan hidungnya. Dengan erangan tertahan, diangkatnya tubuhnya beranjak duduk di atas pembaringan dengan gerak satu-satu. Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan sontak menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia tersentak dan meringis. Namun rasa itu tak menghentikannya. Ia lanjut melepaskan satu demi satu jarum-jarum infus yang menggelantung pada kedua belah tangannya. Juga mencoba turun dari pembaringan. Seketika seluruh pandangannya tampak berputar hebat hingga membuatnya kehilangan kendali atas keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh tersungkur ke atas lantai ruangan yang dingin dengan menimbulkan suara berdebam. Ia mengerang menenggarai sakit yang menjadi semakin intens mendera sembari menyeret tubuhnya beranjak bangkit.Tak ayal, sesuatu yang tak diduganya membuat nafasnya tercekat. Kedua tungkai kakinya terasa bagai remuk redam hingga-hingga menahan rasa nyeri yang hebat itu seakan hendak meledakkan jantungnya. Seketika rasa panik menyergapnya tanpa ampun. Dikesampingkannya rasa sakit yang menderanya, dengan terengah-engah gusar ia menggeser pandangan ke sana ke mari mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai penopang untuk bangun. Susah payah diraihnya tepi pembaringan sebagai satu-satunya benda yang layak digunakan untuk tujuannya tersebut.
Diseretnya separuh atas tubuhnya bangkit berkali-kali. Namun berkali-kali pula ia gagal. Ia tak memiliki daya yang cukup untuk mampu menyeret tubuhnya bangkit. Bahkan untuk merangkak naik kembali ke atas pembaringan sekalipun. Akhirnya ia membiarkan diri kembali jatuh terpuruk ke atas lantai sembari berteriak kesal dengan suara serak yang tak dikenalinya sendiri. Ada apa gerangan ini? Mengapa tak ada satupun bagian tubuhku yaang terasa benar? Aku kenapa? Ia menahan erangan keputusaasaannya dalam tangkupan tangan. Ia hanya mampu terpuruk menelungkup di atas lantai dan membiasakan diri dengan rasa sakit bervariasi yang tengah memberinya penyambutan meriah atas kembalinya kesadarannya itu.Beberapa saat berselang terdengar derap langkah yang mendekat. Seorang perawat tampak menghentikan langkah di depan ruangan, menatapnya dengan membelalak tak percaya. Kemudian wanita paruh baya tersebut memanggil seorang perawat lainnya untuk membantunya. Dalam waktu singkat, kedua paramedik itu memasuki ruangan bersamaan dan dengan sigap membantunya kembali ke atas pembaringan.
"Panggil dokter Lucas. Tuan Anderson telah sadar!", ujar seorang perawat yang lebih tua itu kepada perawat satunya lagi. Ia terhenyak dan tercengang. Menyadari adanya hal-hal yang esensial juga tampaknya menghilang dari ingatannya. Ia tak dapat mengingat siapa dirinya. Ia tak dapat mengingat namanya. Ada apa ini? Mengapa bahkan namaku sendiri tidak terlintas dalam ingatanku? Segera diraihnya tangan perawat yang masih ada di dekatnya itu, mencengkeram serta menarik wanita tua itu mendekat dengan tangan yang bergetar. "Tolong katakan ada apa ini? Siapa Anderson?" tanyanya masih dengan suara serak nan hilang timbul ditenggarai nafas yang memburu. Meski menangkap keterkejutan yang besar pada tatapan sang perawat, ia masih bersikeras dengan cengkeramannya pada tangan wanita tua tersebut. Hingga pada akhirnya terdengar wanita tua itu membuka mulut berbicara. "Apakah Anda tidak mengenal nama Anda sendiri, Tuan Wilbert?" ucap perawat itu menatapnya dengan tatapan was-was. Sontak ia terdiam membeku seketika. Wilbert...?Anderson...? Sungguh itukah namaku? Mengapa aku tak dapat mengingat apapun? Apa yang membuat aku menjadi seperti ini? Diraihnya kembali tangan perawat tersebut setelah sesaat sempat melepaskan cengkeramannya. "Katakan apa yang terjadi? Mengapa aku bisa begini? Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"Alih-alih resah, kali ini perawat itu menatapnya lembut seakan berusaha memahami keadaan yang tengah dihadapinya. "Tenanglah, Tuan. Anda mengalami cedera-cedera yang cukup berat akibat dari kecelakaan yang Anda alami. Ditambah Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama hampir dua bulan. Jadi sedikit banyak akan berdampak bagi seluruh organ tubuh Anda. Sebaiknya Anda tidak terlalu memaksakan diri. Dokter akan datang memeriksa keadaan Anda sebentar lagi..."Segelintir harapan perlahan hinggap dalam batinnya setelah mendengarkan ucapan sang perawat barusan. Sebuah harapan untuk bisa menemukan jawaban yang lebih mumpuni dari dokter yang memeriksanya nanti. Saat selang-selang infus kembali dipasangkan kembali pada tubuhnya, ia membiarkannya. Seolah baru usai bergelut dengan badai, mendadak ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Direhatkannya diri dengan bersandar ke belakang pembaringan. Dan kemudian hanya hening tak bergeming hingga dokter tiba untuk melakukan pemeriksaan secara ringkas pada dirinya. “Anda akan saya jadwalkan untuk pemeriksaan yang lebih teliti dan menyeluruh dalam waktu secepat mungkin. Untuk saat ini Anda sebaiknya beristirahat dengan baik agar proses pemulihan berjalan lancar...” “Apakah saya baik-baik saja?” Sebuah pertanyaan basa-basi terlantur begitu saja dari bibirnya seakan tak tercerna lewat akalnya terlebih dahulu."Kita baru akan dapat menganalisa keadaan Anda lebih jelas setelah melakukan rangkaian pemeriksaan, Tuan Anderson. Setidaknya saat ini tanda-tanda vital Anda terlihat baik..." sahut dokter berkumis putih itu padanya kemudian.Seakan tak puas dengan jawaban yang dianggapnya terlalu dangkal dan terstruktur tersebut, ia memutuskan menahan langkah sang dokter dengan melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di benaknya. "Apakah saya akan bisa berjalan lagi? Dan mengingat lagi?"Sang dokter tampak menghentikan langkah, menoleh ke arahnya. Sambil melonggarkan posisi kacamata, dokter itu menatapnya lekat serta seksama. Kemudian melemparkan tatapan yang menyiratkan rasa prihatin. "Saya mengerti kekhawatiran yang Anda rasakan. Tapi seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kita baru dapat mengetahui secara jelas setelah ada hasil pemeriksaan. Saat ini sebaiknya Anda tetap tenang, Tuan Anderson..." jawab dokter itu sebelum kemudian melanjutkan langkahnya. Menjelang mendekati pintu dokter tersebut tampak kembali berhenti sesaat dan berbincang dengan perawat tua yang sedari tadi berjaga di ruangan itu. Setelahnya perawat tersebut bersama dengan seorang lainnya kembali menghampiri. Perawat yang tampak lebih senior mulai membenahi balutan gips pada kedua kakinya. "Dokter mengatakan Anda sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, Tuan Anderson..." ujar perawat lainnya memberitahukan di sela kesibukannya bersiap-siap.Ia hanya bungkam seribu bahasa. Entah dikarenakan keinginannya untuk tidak peduli ataukah dikarenakan oleh keresahannya yang tak terungkap. Satu yang pasti, untuk saat ini hanya kehampaan yang memenuhi seluruh ruang sadar juga batinnya. Bersama tubuh yang letih oleh deraan rasa sakit ia menyerahkan diri untuk rebah perlahan ke atas pembaringan. Serta merta ia merasakan pembaringan tempatnya berada tersebut digiring berpindah ruangan.Sekonyong-konyong hendak memberi penghiburan, kedua perawat tersebut bergantian menyunggingkan senyuman kilas mereka padanya di sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan. Namun ia tak memberi tanggapan apapun. Hati kecilnya menyadari jawaban apapun tidak akan mampu menghiburnya saat ini hingga ia tak berkeinginan untuk menanyakan apapun. Dilayangkannya pandangan menyusuri sepanjang selasar lorong, menatap ke arah pintu demi pintu yang dilewati dengan tatapan tanpa hasrat. Sesaat sempat berkelebat keinginan memutar otak untuk mencoba kembali menggali ke dalam ruang ingatnya, namun seketika ia mengurungkannya. Entah dikarenakan tengah kehilangan daya pada tubuhnya atau memudarnya hasrat pada batinnya. Ia masih tetap diam nir tanggapan saat digiring memasuki sebuah ruangan yang lebih private dengan jendela pada salah satu sisinya. Ruangan tersebut juga tampak lebih sederhana tanpa kehadiran peralatan-peralatan medis yang kompleks nan riuh sebagaimana tempat ia dirawat sebelumnya. Da
Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya. "Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. Samar-samar terdenga
"Kakak mendengarnya juga ya?"Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya."Kakak sudah menemukan sarangnya?" Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. "Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku
Dengan langkah tertatih ia menghampiri wanita tersebut. Entah mengapa hanya dengan sekilas pandang terhadap sosok itu sontak membuat kerinduan dalam batinnya membuncah. Demikian pula dengan hasrat yang tak terjelaskan menyeruak begitu saja dalam dirinya tanpa aba-aba. Hingga-hingga butuh perjuangan menahan dirinya untuk tidak mendekap sosok tersebut.Diraihnya tangan wanita itu serta melontarkan pertanyaan singkat. "Siapa kamu?"Namun wanita dengan rambut coklat terurai itu mendorongnya menjauh. Serta merta ia mengeraskan tubuh. Ketika mendekatkan wajah pada sosok tersebut, seketika ia tertegun kala mendapati sepasang mata berwarna biru tersebut telah dibasahi oleh air mata. Membiarkan hasratnya tak terbendung, didekapnya tubuh mungil itu. Dihelanya nafas gusar ditenggarai gelengan. "Maafkan aku. Aku berusaha mengingat tapi aku..."Seketika nafasnya tercekat. Rasa sakit yang hebat kembali mendera kepalanya. Disertai gemeretak gigi menahan rasa tersebut, diangkatnya wajah hendak mel
Dokter Lucas mengangguk sembari menyandarkan tubuh ke belakang bangku, membalas tatapannya. “Ya. Anda adalah Wilbert Anderson. Tentu saja hampir semua yang bekerja di sini mengenali Anda. Anda mewakili ayah Anda, Abraham Anderson –yang merupakan salah satu direksi pendiri rumah sakit mengawasi operasional tempat ini. Kantor Anda ada di lantai tiga gedung ini. Jika ingin, Anda bisa menggunakannya seperti biasa...” tutur pria tua tersebut panjang disertai kilasan senyum.Sontak ia tergelak miris menanggapi. “Gurauan Anda itu tidak lucu, Dokter. Saya bahkan tak dapat memastikan kebenaran identitas diri dengan ingatan sendiri...”Terdengar kekehan pelan sang dokter. “Karena itu saya mohon kesabaran juga kerja sama dari Anda untuk menjalani proses pemeriksaan dan pemulihan yang akan membutuhkan waktu. Anda sedang mengalami efek-efek traumatis akibat kecelakaan. Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama 48 hari. Dan semuanya itu berdampak besar pada kondisi Anda sekarang...”.Dihel
Semilir angin musim semi nan hangat membangkitkan kantuknya seketika. Dipejamkannya pelupuk mata yang terasa berat tersebut barang sejenak.Entah sudah berapa malam dilaluinya dengan mimpi serupa yang berulang bagai film kuno yang diputar berulang kali mengusik benak. Entah sudah berapa malam dilaluinya tanpa terlelap dengan layak sebagaimana mestinya.Ia telah separuh jalan terlelap kala sebuah rasa dingin mendarat pada lengan kanannya. Dengan terkesiap ia membuka mata dan menoleh. “Maaf membangunkan kakak. Tadinya aku mengira kakak sedang bersedih,” tegur Fransisca dari atas kursi roda yang disandingkan tepat pada sampingnya.Ia tersenyum tipis. Diusapnya titik airmata kantuk dari sudut matanya. “Aku tak mendengarmu datang ....”Gadis berwajah pucat itu membalas senyumannya. “Baru saja. Hari ini aku ada pemeriksaan rutin makanya sedikit terlambat ke mari ....”Ia hanya tergelak pelan dan mengangguk menanggapi penjelasan gadis kecil tersebut. Diraihnya buku yang ada di pangkuan Fra
"Sang putri terbangun dari tidur panjangnya dan kemudian ... ia pergi berkeliling dunia bersama sahabatnya, Fransisca ...." Ia menutup buku sembari menyeringai iseng ke arah gadis kecil yang duduk di hadapannya itu. Setelah sempat tercengang beberapa saat, Fransisca mendelik padanya ditenggarai senyum yang terkulum. Namun tak mampu membendung gelak lebih lama lagi, pada akhirnya gadis kecil tersebut meledakkan tawanya dalam seketika. "Idih. Kak Will ternyata iseng, ya...", ucap gadis tersebut masih ditenggarai gelak. Ia tersenyum lebar menanggapinya. "Melihat kamu yang tampak demikian serius menyimak, aku jadi ingin iseng." Masih sesekali tergelak, Fransisca menggeser pandangan serta melambaikan tangan ke arah seorang gadis yang tengah berjalan mendekat. Gadis yang tampak sebaya dengan Fransisca itu tidak terlihat lebih sehat dari sobat kecil di sampingnya."Kak, biarkan Kat bergabung dengan kita," ujar Fransisca begitu gadis tadi berhasil menghampiri mereka. Ia mengangguk dan b
Sesaat ia hanya terjeda serta termangu. Benaknya berputar mempertimbangkan sebelum memutuskan. Diliriknya Fransisca yang masih menatap lekat padanya menanti jawabannya. Gadis itu tampak bersiap memulai kayuhan pada kursi roda. Tak ingin tertinggal seorang diri berada di bawah pohon oak tersebut, ia pun turut mengkayuh kursi roda miliknya. Disetarakannya laju kayuhan agar berdampingan dengan Fransisca."Dari mana kamu mengetahuinya, Fran? Apakah kalian sangat dekat?" tanyanya dengan nada penuh selidik seakan mencari keyakinan untuk mendukungnya memutuskan. Gadis tersebut masih tetap pada kayuhannya. "Ruangan Kathy dan aku letaknya berseberangan. Itu sebelum dia dan Kay dipindahkan ke ruangan lain beberapa hari lalu..."Walaupun perlahan, kedua sobat itu mengkayuh kursi roda mereka dengan pasti menuju ke dalam rumah sakit. Ia mengikuti Fransisca dalam hening, tanpa melontarkan pertanyaan ataupun kata-kata berupa tanggapan. Gadis tersebut tampak yakin dengan arah tujuan kayuhannya. Ia
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter