Sekonyong-konyong hendak memberi penghiburan, kedua perawat tersebut bergantian menyunggingkan senyuman kilas mereka padanya di sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan. Namun ia tak memberi tanggapan apapun. Hati kecilnya menyadari jawaban apapun tidak akan mampu menghiburnya saat ini hingga ia tak berkeinginan untuk menanyakan apapun.
Dilayangkannya pandangan menyusuri sepanjang selasar lorong, menatap ke arah pintu demi pintu yang dilewati dengan tatapan tanpa hasrat. Sesaat sempat berkelebat keinginan memutar otak untuk mencoba kembali menggali ke dalam ruang ingatnya, namun seketika ia mengurungkannya. Entah dikarenakan tengah kehilangan daya pada tubuhnya atau memudarnya hasrat pada batinnya. Ia masih tetap diam nir tanggapan saat digiring memasuki sebuah ruangan yang lebih private dengan jendela pada salah satu sisinya. Ruangan tersebut juga tampak lebih sederhana tanpa kehadiran peralatan-peralatan medis yang kompleks nan riuh sebagaimana tempat ia dirawat sebelumnya. Dalam waktu singkat kedua perawat tersebut tampak dengan sigap membenahi segala sesuatunya. Dan dalam waktu singkat pula keadaan ruangan menjadi senyap. Hanya tinggal seorang perawat senior yang masih berada di dekatnya, memastikan semuanya telah terpasang dengan baik dan kemudian memantau selang infusnya untuk beberapa saat. Menjelang meninggalkan ruangan, sang perawat tak lupa meninggalkan sebuah info padanya sembari menjulurkan tombol pemanggil di dekat bantalnya. "Apabila butuh bantuan Anda cukup tekan tombol ini untuk memanggil para perawat jaga. Selamat malam dan selamat beristirahat, Tuan Anderson..."Keheningan yang memekakkan telinga sontak menyergapnya begitu pintu ruangan menutup. Seakan lupa untuk menggeser pandangan dari pintu biru pada kanan depannya tersebut, ia masih tetap pada keterbungkamannya. Seakan enggan untuk bergeming, ia membiarkan diri terjeda.
Berkutat dengan benak sendiri bersama pertanyaan-pertanyaan sama yang belum menemukan jawaban. Mengapa aku bisa berada di rumah sakit dalam keadaan begini? Mengapa aku bisa mengalami kecelakaan? Kecelakaan apa? Dimana kejadiannya? Denyutan nyeri yang mulai mengerayapi dalam kepalanya menyadarkannya. Lagi-lagi ia tanpa sadar mencoba menggali ingatannya. Semakin ia bersikeras, semakin intens rasa tersebut menghajarnya. Ia mengerang dan merintih. Sekalipun ia menekan kepalanya yang dipenuhi balutan perban tersebut di segala arah, tetap tak dapat menjangkau pusat rasa sakit apalagi menghentikannya. Diputuskannya untuk segera berhenti memaksa diri mengingat. Semuanya hanya nihil belaka. Sembari mendesah dengan nafas memburu, dilemparnya pandangan ke luar jendela. Dunia telah sangat gulita di luar sana. Apakah jika mentari telah menyingsing benderang esok hari ingatannya akan lebih mudah dipanggil kembali? Apakah jika dunia telah menunjukkan warna aslinya esok hari sepasang kakinya akan lebih berdaya untuk melangkah?Sosok di kejauhan itu tampak samar-samar. Ia memicingkan tatapan mencari tahu sembari melangkah satu satu dengan perlahan.
"Siapa di situ?" tanyanya was-was pada sosok tersebut.Sayup-sayup terdengar sosok itu berbicara. Namun ruang dengarnya tak mampu menangkap ucapan dari sosok tersebut meskipun hanya segelintir. Ia tetap melangkah menghampiri sosok itu hingga akhirnya berada dalam jarak yang cukup dekat. Ia terhenyak. Sosok tersebut tak lain tak bukan adalah seorang wanita yang tengah meratap pilu. Sontak langkahnya terhenti."Si...siapa Anda?"Kali keduanya ia bertanya dengan suara gagap penuh kewaspadaan. Dicondongkannya tubuh hendak meraih tangan wanita itu sebelum kemudian ia menyadari sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan mata tengah bergerak liar menghambur ke arah mereka. Dan siap menerjang...Ia memekik dan seketika tersadar. Setelah terkesiap sembari membuka pelupuk matanya dengan sekali hentakan, ia segera mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan. Bersama nafas yang tersengal-sengal ia berkali-kali mengerjapkan mata seolah hendak memastikan telah berada di alam sadar bersama tubuh dan jiwanya.
Apa itu tadi? Apakah tadi aku bermimpi? Mengapa mimpi terasa demikian nyata hingga-hingga bagai tengah mengalaminya? Siapa wanita itu tadi? Apakah ada hubungannya denganku? Ataukah hanya cerminan imaginasi dari rasa tak nyamanku? Berjibun pertanyaan yang dipenuhi rasa haus akan jawaban memenuhi benaknya dalam satu waktu. Gemeretak giginya menahan erangan resahnya. Diremasnya kepalannya menahan rintihan gelisahnya. Mengapa aku tak bisa mengingat apapun? Mengapa pikiran ini terasa demikian hampa sekalipun hatiku terasa gundah. Lagi-lagi ia meringkuk dan merintih didera oleh rasa sakit yang kembali menghampiri kepalanya.Seorang perawat menghampirinya saat cahaya mentari tampak telah meninggi. Perawat berwajah ceria tersebut memberinya salam selamat pagi ditenggarai sebuah senyuman ramah. "Apakah Anda sudah siap untuk menjalani rangkaian pemeriksaan hari ini, Tuan?"
Dengan memicing mengatasi cahaya mentari yang menerabas masuk ke dalam ruangan, ia menatap ke arah sang perawat yang telah siap bersama sebuah kursi roda tersebut. Sekonyong-konyong menyatakan kesiapannya secara tersirat, ia segera menarik tubuh beringsut perlahan ke posisi duduk. Dikulumnya bibir menahan agar erangannya menahan rasa sakit tidak sampai terdengar. Sang perawat tadi dengan tanggap memapahnya untuk memindahkan diri ke atas kursi roda serta mulai membawanya menuju ruang pemeriksaan. Penasaran dengan kedua tungkai kakinya, di sepanjang perjalanan diam-diam dicobanya menggerakkan keduanya bergantian. Sontak rasa sakit dari kedua tungkai kaki tersebut menyergapnya tanpa ampun. Ia mengerang tertahan. Dalam seketika beragam rasa kekesalan bercampur keputusasaan pun turut berkecamuk dalam dirinya. “Ada masalah,Tuan?” terdengar teguran sang perawat dari balik punggungnya. Digigitnya bibir juga mengeratkan kepalan tangan menahan keresahan yang kian membuncah. Kemudian ia hanya menanggapi perawat tersebut dengan melontarkan sebuah gumaman pelan tak jelas yang diikuti dengan kebungkamannya.Di siang harinya ia diantar kembali ke ruangan. Efek obat yang disuntikkan padanya saat pemeriksaan organ dalam tadi masih menyisakan rasa mual yang menekan uluhati. Ditambah dengan rompi penyangga yang dipasang di depan dada membuatnya semakin tidak nyaman sekalipun rasa sakit yang menderanya berkurang drastis.
“Makan siang Anda...” sahut perawat padanya sembari mendekatkan meja penyaji pasien ke dekat pembaringan. Ia lagi-lagi hanya bergumam sekenanya tanpa menoleh. Ruang dengarnya menangkap keriuhan kicau burung ditenggarai tawa anak-anak di luar jendela. Dan serta merta membangkitkan keinginannya untuk menghampiri jendela menatap dunia luar. Ketika perawat menyodorkan pundak hendak memapahnya kembali ke atas pembaringan, ia bergeming menjauhkan tubuh. “Biarkan aku tetap begini untuk sementara...”pintanya sembari melekatkan kedua tangan ke atas pegangan kursi roda. Dalam bungkam, dilayangkannya tatapan ke arah jendela tanpa terusik oleh kehadiran perawat tersebut. “Anda sebaiknya bersantap dulu agar dapat melanjutkan pemeriksaan selanjutnya...” terdengar perawat itu berusaha membujuknya dengan mengingatkan. Alih-alih terbujuk, kali ini ia bahkan hening tanpa tanggapan. Sikapnya yang minim reaksi tersebut tampaknya berhasil membuat perawat itu menyerah. Wanita berseragam hijau tersebut terdengar meninggalkan pesan –sebagaimana yang selalu dilakukan para perawat umumnya sebelum bergegas meninggalkan ruangan. “Anda dapat menekan bel pemanggil jika butuh bantuan...”Seakan mulai terbiasa dengan kesenyapan, batinnya diam-diam menikmati suasana hening yang memekakkan telinga kala pintu ruangan tertutup itu. Dikayuhnya kursi roda mendekati depan jendela. Disingkapnya gorden tipis yang terbuka separuh jalan dan menatap ke luar jendela. Dan menemukan sebuah taman kecil rumah sakit berada tepat di bawah jendelanya. Berusaha menenggarai ketidaknyaman yang bercokol di dirinya, ia melempar pandangan luas menyusuri taman. Berusaha mencari penghiburan bagi kekosongan batinnya, ia mengamati setiap pergerakan yang ada di tempat tersebut dengan lekat. Sejenak menyimak kebahagiaan beberapa anak yang tampak tengah bercanda di tengah taman. Kemudian menggemingkan pandangan ke sisi lain. Pandangannya tertarik pada seorang anak perempuan yang tengah duduk menyendiri di bawah sebuah pohon oak tua nan rindang. Menyadari arah tatapan anak perempuan itu yang seolah terasing dari kumpulan anak-anak yang tengah bermain tadi membuat dirinya sekonyong-konyong mampu merasakan perasaan anak tersebut. Kesendirian. Kehampaan. Sebuah perasaan yang membuat diri merasa bagai tengah berada di dunia terpisah sekalipun berada di tempat yang sama. Ia menghela nafas panjang dengan erangan gusar. Bersama batin yang tiada henti-hentinya mempertanyakan apa dan kenapa, ditopangkannya dahi pada kaca jendela yang terasa hangat di hadapannya itu. Yah, apapun itu aku tak berdaya untuk menyudahi masalah-masalah pelik yang tengah kuhadapi saat ini...Diliriknya balutan gips pada kedua kakinya. Baik masalah yang kasat mata... Kemudian diangkatnya wajahnya, menatap ke arah pantulan diri pada kaca jendela. Juga masalah yang tak kasat mata...Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya. "Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. Samar-samar terdenga
"Kakak mendengarnya juga ya?"Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya."Kakak sudah menemukan sarangnya?" Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. "Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku
Dengan langkah tertatih ia menghampiri wanita tersebut. Entah mengapa hanya dengan sekilas pandang terhadap sosok itu sontak membuat kerinduan dalam batinnya membuncah. Demikian pula dengan hasrat yang tak terjelaskan menyeruak begitu saja dalam dirinya tanpa aba-aba. Hingga-hingga butuh perjuangan menahan dirinya untuk tidak mendekap sosok tersebut.Diraihnya tangan wanita itu serta melontarkan pertanyaan singkat. "Siapa kamu?"Namun wanita dengan rambut coklat terurai itu mendorongnya menjauh. Serta merta ia mengeraskan tubuh. Ketika mendekatkan wajah pada sosok tersebut, seketika ia tertegun kala mendapati sepasang mata berwarna biru tersebut telah dibasahi oleh air mata. Membiarkan hasratnya tak terbendung, didekapnya tubuh mungil itu. Dihelanya nafas gusar ditenggarai gelengan. "Maafkan aku. Aku berusaha mengingat tapi aku..."Seketika nafasnya tercekat. Rasa sakit yang hebat kembali mendera kepalanya. Disertai gemeretak gigi menahan rasa tersebut, diangkatnya wajah hendak mel
Dokter Lucas mengangguk sembari menyandarkan tubuh ke belakang bangku, membalas tatapannya. “Ya. Anda adalah Wilbert Anderson. Tentu saja hampir semua yang bekerja di sini mengenali Anda. Anda mewakili ayah Anda, Abraham Anderson –yang merupakan salah satu direksi pendiri rumah sakit mengawasi operasional tempat ini. Kantor Anda ada di lantai tiga gedung ini. Jika ingin, Anda bisa menggunakannya seperti biasa...” tutur pria tua tersebut panjang disertai kilasan senyum.Sontak ia tergelak miris menanggapi. “Gurauan Anda itu tidak lucu, Dokter. Saya bahkan tak dapat memastikan kebenaran identitas diri dengan ingatan sendiri...”Terdengar kekehan pelan sang dokter. “Karena itu saya mohon kesabaran juga kerja sama dari Anda untuk menjalani proses pemeriksaan dan pemulihan yang akan membutuhkan waktu. Anda sedang mengalami efek-efek traumatis akibat kecelakaan. Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama 48 hari. Dan semuanya itu berdampak besar pada kondisi Anda sekarang...”.Dihel
Semilir angin musim semi nan hangat membangkitkan kantuknya seketika. Dipejamkannya pelupuk mata yang terasa berat tersebut barang sejenak.Entah sudah berapa malam dilaluinya dengan mimpi serupa yang berulang bagai film kuno yang diputar berulang kali mengusik benak. Entah sudah berapa malam dilaluinya tanpa terlelap dengan layak sebagaimana mestinya.Ia telah separuh jalan terlelap kala sebuah rasa dingin mendarat pada lengan kanannya. Dengan terkesiap ia membuka mata dan menoleh. “Maaf membangunkan kakak. Tadinya aku mengira kakak sedang bersedih,” tegur Fransisca dari atas kursi roda yang disandingkan tepat pada sampingnya.Ia tersenyum tipis. Diusapnya titik airmata kantuk dari sudut matanya. “Aku tak mendengarmu datang ....”Gadis berwajah pucat itu membalas senyumannya. “Baru saja. Hari ini aku ada pemeriksaan rutin makanya sedikit terlambat ke mari ....”Ia hanya tergelak pelan dan mengangguk menanggapi penjelasan gadis kecil tersebut. Diraihnya buku yang ada di pangkuan Fra
"Sang putri terbangun dari tidur panjangnya dan kemudian ... ia pergi berkeliling dunia bersama sahabatnya, Fransisca ...." Ia menutup buku sembari menyeringai iseng ke arah gadis kecil yang duduk di hadapannya itu. Setelah sempat tercengang beberapa saat, Fransisca mendelik padanya ditenggarai senyum yang terkulum. Namun tak mampu membendung gelak lebih lama lagi, pada akhirnya gadis kecil tersebut meledakkan tawanya dalam seketika. "Idih. Kak Will ternyata iseng, ya...", ucap gadis tersebut masih ditenggarai gelak. Ia tersenyum lebar menanggapinya. "Melihat kamu yang tampak demikian serius menyimak, aku jadi ingin iseng." Masih sesekali tergelak, Fransisca menggeser pandangan serta melambaikan tangan ke arah seorang gadis yang tengah berjalan mendekat. Gadis yang tampak sebaya dengan Fransisca itu tidak terlihat lebih sehat dari sobat kecil di sampingnya."Kak, biarkan Kat bergabung dengan kita," ujar Fransisca begitu gadis tadi berhasil menghampiri mereka. Ia mengangguk dan b
Sesaat ia hanya terjeda serta termangu. Benaknya berputar mempertimbangkan sebelum memutuskan. Diliriknya Fransisca yang masih menatap lekat padanya menanti jawabannya. Gadis itu tampak bersiap memulai kayuhan pada kursi roda. Tak ingin tertinggal seorang diri berada di bawah pohon oak tersebut, ia pun turut mengkayuh kursi roda miliknya. Disetarakannya laju kayuhan agar berdampingan dengan Fransisca."Dari mana kamu mengetahuinya, Fran? Apakah kalian sangat dekat?" tanyanya dengan nada penuh selidik seakan mencari keyakinan untuk mendukungnya memutuskan. Gadis tersebut masih tetap pada kayuhannya. "Ruangan Kathy dan aku letaknya berseberangan. Itu sebelum dia dan Kay dipindahkan ke ruangan lain beberapa hari lalu..."Walaupun perlahan, kedua sobat itu mengkayuh kursi roda mereka dengan pasti menuju ke dalam rumah sakit. Ia mengikuti Fransisca dalam hening, tanpa melontarkan pertanyaan ataupun kata-kata berupa tanggapan. Gadis tersebut tampak yakin dengan arah tujuan kayuhannya. Ia
Bagai para maling yang tertangkap basah di tengah aksi mereka, serta merta kedua sobat itu terlonjak kaget. Susah payah ia mengatasi degupan galau jantungnya kala melihat seorang petugas penjaga menghampiri mereka dengan langkah bergegas. "Kalian tidak seharusnya berada disini," ujar sang petugas dengan wajah mengernyit dalam. Seketika ekspresi sang petugas tampak bergeming kala beradu pandang dengannya. Nada suara pria tersebut mendadak terdengar melembut setelah menyempatkan diri berdeham pelan."Tuan Anderson, ini daerah steril. Sebaiknya Anda tidak berada di sini," usir halus petugas itu padanya dengan kalimat tersirat. Petugas itu tampak mengulurkan tangan hendak menuntun kursi roda miliknya. Namun dengan cepat ia menolak.“Tunjukkan saja arahnya, kami akan mengikuti,” ujarnya pada pria tersebut dengan nada datar dan dingin. Digerakkannya kepala pada Fransisca mengisyaratkan pada gadis itu untuk segera turut beranjak meninggalkan tempat tersebut.Sesaat kemudian ia dan sobat k
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter