***
“Sarapan!”
Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.
Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.
“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”
Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.
Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.
“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”
Aku mengangguk malas, segera kumelangkah menuju kamar mandi dan membasuh wajahku yang lengker karena keringat selepas tidur. Entah kenapa, pagi hari ini di Jakarta terasa sangat gerah dan panas, berbeda dengan biasa.
Hampir memakan waktu lima menit untukku membasuh muka. Di depan meja makan, sudah duduk dengan rapi, ayahku, yang kini bekerja di salah satu perusahaan keungan, ia memegang bagian SDM.
Sedangkan Ibu masih berada di dapur, mempersiapkan hal terakhir yang biasa dipinta oleh Ayah, secangkir kopi hangat dan sebungkus kue manis yang menjadi pemecut Ayah untuk bekerja dengan maksimal.
“Hari ini kamu belajar seperti biasa, kan? Naik tingkat menjadi tingkat 2 SMP sesuatu hal yang baru tentunya,” ucap Ibu, ia membawa cangkir dan kue itu, serta meletakan keduanya di samping Ayah yang masih sibuk dengan ponselnya.
Aku mengangguk, tentu saja ini hal baru. Aku tidak tahu apakah tingkat dua SMP sama dengan tingkat satu, jikalau begitu tentu bukan hal yang baru.
Tapi tentunya berbeda tingkatan, beda juga level kesulitan yang harus kuraih. Ini kupelajari dari game yang selalu kumainkan di setiap malam setelah tugas. Setiap kamu mendapat tingkatan baru, pasti akan menemukan kesulitan yang berbeda.
“Sudah saatnya kamu belajar dengan giat, impian menjadi seorang dokter bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng,” jelas Ayah, tak biasanya ia bicara dan menasihatiku di pagi hari itu.
Aku mengangguk, semua nasihat yang mereka katakan, sepenuhnya sudah aku dengar beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir. Jadi rasanya hampir dejavu dengan kejadian yang terjadi, hasilnya akan tetap saja.
Aku menghabiskan sarapanku dan pergi ke kamar untuk bersiap, sedangkan Ayah sudah bersiap dengan jas dan kemejanya yang mengkilap, Ibu pasti selalu mempersiapkan segalanya agar Ayah terlihat memukau pagi itu.
“Aku pergi dulu, Mah.”
Ibu mengangguk, keduanya saling mengesun pipi satu sama lain. Ayah melambaikan tangan padaku dan aku hanya mengangguk pelan sembari tersenyum simpul. Entah kenapa, aku serasa canggung jika berbicara atau dekat dengannya.
“Cepat bersiaplah, Ibu mau pergi ke pasar dulu.”
Aku tersentak, segera kumelangkah dan masuk kamar, mengenakan seragam sekolah dan pergi menenteng tas. Semuanya sudah kupersiapkan untuk hari baru yang akan kujalani, semoga saja semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kuinginkan.
Namun terkadang, kita tidak boleh banyak berangan pada harapan.
***
“Bagas,” panggil ketua kelas.
Aku menoleh pelan, buku tulis yang sedang kubuka sengaja kututup dan kufokuskan pada isyarat tangan dari anak laki-laki yang memanggilku. Ia berdiri sambil memegang sebuah surat berwarna putih di tangan kanannya.
“Ada apa?”
“Ada surat untukmu,” ungkap ketua kelas kepadaku, ia memberi surat itu tanpa rasa ragu.
Aku kaget, kubaca keseluruhan isi pesan, entah kenapa hatiku seperti berhenti berdetak, mataku melotot tajam menyadari makna pesan tersebut.
Dengan secepat kilat, aku berlari keluar ruang kelas menuju pintu gerbang. Sungguh, berita yang tak mengenakan dan mengecewakan, kenapa hal buruk ini terjadi padaku di awal hari baru yang kuharapkan?
Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, aku harus menaiki angkutan kota untuk sampai di sana, itu pun membutuhkan waktu sekitar 15 menit.
Aku menunggu dengan risau, keringat dingin mengucur deras dari atas kepala, kepanikan dan tangisan ini tentu membuat sebagian penumpang yang satu mobil denganku kebingungan, bahkan ada dari mereka yang menanyakan perihal keadaanku.
Tapi aku tidak bisa memberitahu mereka, aku tidak bisa mengatakan kalau ayahku terbukti bersalah atas kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan karyawan perusahaan. Itu sungguh memalukan dan menjijikan!
Seperti apa yang terbesit dalam benakku. Rumahku, kampungku, tetanggaku, semuanya seketika heboh dengan berita tertangkapnya Ayah. Mereka pasti tidak menduga, sosok pria yang ramah dan aktif di desa bisa berbuat jijik dan tidak senonoh seperti itu.
Polisi berjaga di luar rumah ketika aku hendak masuk, “Oh nak, kamu jangan masuk!”
“Aku anak dari dia! Biarkan aku masuk!” tegasku dengan wajah berlinang air mata.
Kurusak garis polisi itu dan melihat beberapa polisi yang tampak tengah menggeledah kamar Ayah dan Ibu, mereka menemukan beberapa berkas yang tak kuketahui. Ketika kekacauan ini terjadi, hanya satu yang kupikirkan, di mana Ibu?
“Kemana Ibu?” tanyaku.
“Oh Istri tersangka? Dia ikut ke polres untuk dimintai keterangan.”
Tanpa membuang waktu, segera kulangkahkan kaki ini kembali menaiki angkutan umum dan pergi ke kantor polisi.
Sungguh tidak kuduga, kenapa hariku dimulai dengan kejadian begini?
Sesampainya di sana, aku melihat kedua orang tuaku yang tengah berbicara di depan seorang opsir yang bertugas mencatat atau mengetik sesuatu di depan komputer. Aku masuk tanpa izin dan memeluk Ibu dari belakang, kutumpahkan semua kekecewaan itu padanya.
“Bagas, tidak apa-apa, Nak. Ayahmu akan segera dibebaskan,” ucap Ibu, suaranya bergetar dan matanya merah karena terus menerus nangis.
Ayah hanya diam, dengan wajah tertungkul dan tertunduk. Ia memasrahkan apa yang terjadi pada dirinya, dan membuang semua harga dirinya di hadapanku. Sungguh, kumemikirkan sebuah kata yang pantas untuknya, memalukan!
“Bisa kita lanjutkan?”
Ayah mengangguk, dan Ibu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dari polisi tersebut. Ia menjawabnya dengan sungguh-sungguh, terkadang juga diiringi dengan bentakan yang lantang.
“Kamu! Jawablah semua pertanyaan itu, apa perlu aku yang membentengimu terus?” bentak Ibu, baru kulihat Ibu berkata seperti itu pada Ayah.
“Jadi, semua kejadian ini. Apa benar itu dilakukan olehmu, Tuan?” tanya polisi.
Ayah mengangguk pelan.
Ibu berang, dengan keras ia mendaratkan pukulan telak di wajah suaminya hingga jatuh tersungkur. Beberapa polisi berusaha melerai pertikaian tersebut dan memisahkan keduanya. Apa yang kulakukan melihat kejadian itu? Aku diam, seorang bocah laki-laki di situasi orang dewasa, apa yang bisa kuperbuat.
“KURANG AJAR KAMU!”
“Bawa dia pergi dari sini, begitu juga dengan dia.”
Polisi itu memerintahkan anak buahnya untuk membawa Ibu dan aku pergi dari ruang pemeriksaan, aku sama sekali tidak menolak, aku hanya masih menatap Ayah yang perlahan sirna dari mataku, harga diri dan semua yang berkaitan dengannya sirna dalam pusaran kekecewaan.
“Ibu, kumohon jangan—”
“DIAM!”
Suasana di kantor polisi itu, suasana antara aku dengan Ibu cukup canggung dan menegangkan. Wanita itu tak hentinya menangis, menghina dan mencaci Ayah dengan kata-kata umpatan yang tak seharusnya kudengar.
Tak berlangsung lama, Ayah keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya tampak babak belur dengan darah yang keluar dari hidung dan telingannya. Kuduga, ia pasti habis dihajar habis-habisan oleh polisi di dalam.
“Persidangan akan dilakukan dalam dua minggu ke depan. Harap persiapkan diri kalian.”
Ayah pergi berbeda arah denganku, ia masuk ke sebuah jeruji besi yang dipersiapkan untuk tahanan sementara. Ibu dengan kesalnya langsung pulang tanpa mengajakku. Itulah kali pertama aku merasakan sebuah kekecewaan dari orang terdekat, seseorang yang selalu hadir dengan penuh senyuman di pagi hari.
Ia tersenyum seraya memegang jeruji besi penjara.
“Bagas, maafkan Ayah.”
Aku menangis saat itu juga, pulang dan mulai menidurkan kepala yang serasa mau meledak ini. Malam itu, keadaan rumah lebih sunyi dari biasanya. Ah, rutinitasku akan tampak berbeda dari sebelumnya.
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak