***
Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana.
Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut.
Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu.
“Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan.
Ia mengabaikanku sebagai pemilik rumah, dan meninggalkan tempat ini dengan segera. Tak ada penjelasan dari maksud pandangan darinya kepadaku, aku harap dia tidak mengetahui semuanya.
“Jika kamu ingin kepastian yang benar, kami bisa saja melakukan autopsi untuk—”
“Jangan. Aku ingin ia dikuburkan dengan keadaan yang utuh, tanpa luka baru sedikit pun.”
Aku menolak dengan tegas gagasan itu. Dengan dilakukannya autopsi, bukan tidak mungkin mereka akan mengetahui makanan yang ada di perut Ibu dan mulai menyelidikinya.
“Baiklah, itu juga hak keluarga untuk memutuskan.”
Mereka, para petugas mulai mengemasi barang-barang dan pergi dari tempatku. Sebelum mereka benar-benar pergi, aku menarik tangan seorang petugas yang tadi berbicara denganku dan hendak meminta tolong padanya.
“Aku ingin bertemu dengannya, apa kamu bisa mengantarkanku?” tanyaku.
“Siapa?”
“Ayahku.”
Kami sempat beradu pandang selama beberapa menit, pada akhirnya ia menyetujui dan menyuruhku untuk bersiap sebelum berangkat. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya, mungkin sepatah atau dua patah kata perpisahan dari Ibu dan dariku untuknya, karena ialah dalang dari semua kekacauan di dalam rumah.
Kami berangkat, dengan menaiki mobil polisi, aku sudah seperti seorang penjahat yang tertangkap. Terkejutnya lagi ketika polisi di depanku berbicara tentang kemungkinan dari kematian ibuku, menurutnya, cara dan kronologi kematian Ibu sangat janggal.
“Jika dugaanku tidak salah, kamulah yang membunuhnya.”
Deg! Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku dikejutkan dengan spekulasi yang polisi itu katakan, selebihnya tepat tapi aku enggan mengakuinya dengan begitu saja. Itu bisa menghindariku dari reuni tak terduga Anak dan Ayah di dalam sel penjara.
“Tapi tidak mungkin. Tidak ada anak yang mau membunuh orang tuanya, kan?” tanya polisi tersebut sembari tersenyum.
“I-iya….”
“Jika kalian membutuhkan pembuktian, kami bisa saja menerima tindakan autopsi sesuai yang diinginkan oleh keluarga korban.”
Aku mengangguk, selepas pembicaraan itu, kami saling diam tanpa suara hingga sampai di rutan tempat ayahku “tinggal” untuk sementara.
Aku tidak hapal di mana sebenarnya sel milik Ayah. Namun, seorang sipir wanita memberitahuku dan mengajakku dengan ramah, menyusuri koridor rutan yang menakutkan dan dipenuhi oleh orang-orang yang menatapku tajam.
Hingga sampailah aku di depan kamar sel milik Ayah, ketika dibukakan pintu, aku melihat Ayah yang sedang beribadah di dalam sel. Entah kenapa, rasanya aku sangat terkejut melihat sikap dan perilaku Ayah yang berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan.
“Ada apa?”
“Anakmu, dia hendak mengobrol denganmu.” Sipir itu menepi dan terlihat mata Ayah yang berbinar melihatku di depan matanya.
Ia segera memelukku dengan erat dan membenamkan wajahnya di pundakku. Hanya dia saja keluarga yang kumiliki. Namun, aku enggan untuk mengakuinya mengingat perbuatan bejad yang ia lakukan.
“Aku sangat merindukanmu, Bagas.”
“Hmm….”
Aku mencoba melepaskan pelukan Ayah dan meminta tempat sunyi agar aku bisa berbicara tenang dengannya. Sipir itu mengangguk dan menuntunku masuk ke sebuah ruangan yang kedap suara, di sanalah semua hal yang berkaitan dengan kematian Ibu, aku utarakan di depan Ayah.
***
Aku pergi setelah menceritakan semuanya kepada Ayah tentang kondisi Ibu, gangguan mental yang dialaminya, hingga cacian dan cibiran yang kami terima akibat perbuatan bejad pria tersebut.
Ayah bukanlah laki-laki yang bodoh, ia cepat menanggapi apa yang kukatakan dan mulai merenungkan penyesalan.
Inilah terakhir kali aku mengunjungi Ayah, aku tidak pernah menerima kabar apa pun darinya, bahkan mendekati rutan itu sendiri, aku enggan. Hukuman penjara selama 20 tahun, pasti akan membuatku bisa melupakannya dengan cepat.
Sampai di rumah, keadaan lebih sepi dibanding biasanya. Suara jerit tangis dari Ibu yang selalu kudengar ketika jam 5 sore, atau ketika efek penenangnya habis sudah tak lagi menghiasi rumah ini.
Keluarga besar sudah mulai pulang meninggalkan rumah ini kosong tanpa penghuni, keluargaku dengan keluarga besar memang tidak terlalu akrab, biasanya kami hanya dalam dalam acara-acara resmi saja, tidak pernah bersenda gurau atau bermain bersama dalam sebuah wisata seperti keluarga besar pada umumnya.
Sunyi.
Lampu rumah mati, perabotan cukup berantakan dan kain-kain berserakan memenuhi lantai. Segera kuraih sapu dan mulai membereskan satu persatu perabotan, menyusunnya kembali ke tempat semula dan menjadikan rumah ini kembali seperti biasa.
Ting!
Suara bel rumah terdengar. Aku langsung membukanya sembari memegang sapu di tangan kiriku. Kulihat seorang pria tua dengan sorban, baju panjang berwarna putih dan celana hitam menyapaku hangat, dialah ketua RT di lingkunganku.
“Apa keluarga yang lain sudah pulang?”
Aku mengangguk.
“Oh, sayang sekali, lalu kamu tinggal sendiri di sini? Apa perlu kami temani?”
“Tidak perlu, terima kasih.”
Ia berpamitan setelah mendapat kesan buruk dariku, jawaban singkat dan tatapan datar membuat pria itu tampak canggung dan langsung mengurungkan niatnya untuk menemaniku. Mereka pergi setelah adzan berkumandang di mesjid.
Hari-hari mulai kulalui dengan kesendirian, tanpa adanya orang terkasih yang menemani. Setiap malam, aku selalu terpikirkan jeritan dan penderitaan Ibu yang selalu kulihat, membayangkan jika Ibu masih hidup dan terus tersiksa batinnya akibat kekecewaan yang menutupi hatinya.
Perbuatanku, tanganku ternoda sangat hina. Kejadian yang tak boleh terjadi. Namun, harus terjadi. Aku diambang dilematis antara harus mempertahankannya atau merelakannya pergi bersama khayalan imajinasi.
Berbulan-bulan aku hidup di rumah ini, bermodalkan makanan yang ada di dalam kulkas dan uang dari para pelayat. Aku bisa bertahan dengan memakan makanan cepat saji dan mie instan, aku tidak pernah keluar untuk bersosialisasi atau mengobrol dengan tetangga, bahkan rasanya mereka mulai menjauhiku sedikit demi sedikit.
Terdengar dari balik pintu kamar, beberapa orang yang mengaku “kerabat” terdekat dari Ibu menyapaku, suaranya lembut dan tutur katanya sopan. Aku sangat menghargainya. Namun, aku menolak ketika ia mengajakku untuk tinggal bersamanya.
Beberapa ajakan lain kutolak, bahkan ada yang mengiming-imingi untuk tinggal dan hidup mewah, serasa mempunyai kehidupan baru di balik dosa besar yang sudah kuperbuat. Namun, aku tetap dalam pendirianku, kutolak semua ajakan itu dan membiarkan mereka pulang dengan hampa.
Hingga satu waktu, ajakan berbeda datang dari orang yang tak terduga. Suaranya berat dan cukup pelan, cukup serak dan tutur katanya khas orang asli priangan. Aku mengira itu kerabat Ibu yang lainnya. Namun, ketika mereka menjelaskan siapa. Aku langsung membuka pintu dan menatap kedua orang itu dengan tatapan sedih.
“Kakek … Nenek….”
Wajah yang familiar di pikiranku, dulu aku sering bermain di rumah mereka dan sepertinya mereka hendak mengajakku untuk tinggal di rumah mereka selamanya. Seketika dalam bayang-bayang mata ini, aku seperti melihat dua buah sayap dari masing-masing punggung mereka.
“Ah, malaikat, yah?”
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
***“Sarapan!”Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”Aku mengangguk malas, segera kumela
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak