***
Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.
Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.
“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.
“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.
Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecewakan kalian.”
Kakek dan Nenek tersenyum, mereka melanjutkan makan bersama denganku hingga waktu menunjukan pukul delapan pagi, sudah saatnya aku pergi sekolah.
Berbeda dengan siswa lainnya, aku datang jam 8 karena diminta oleh pihak sekolah. Kedatanganku ke sekolah sebagai siswa pindahan, bukan siswa baru. Aku pun tidak terlalu paham, tapi begitulah apa yang diperintahkan sekolah kepadaku.
Bukan bermaksud sombong, nilaiku selama di Jakarta dengan ketika penyamaan nilai di Bandung ternyata berbeda jauh. Nilai asliku di Jakarta terbilang tinggi ketika berada di Bandung, dengan kata lain para staf sekolah menganggapku seseorang yang cerdas.
“Aku berangkat!”
Kakek dan Nenek melambaikan tangan sembari tersenyum hangat, kedua mata mereka terpejam seperti mengharapkan ada sesuatu yang baru terjadi padaku. Semoga saja harapan baik yang mendatangiku.
Seluruh ceremonial terjadi, seperti perkenalan diri dan berbincang dengan teman sebangku. Semuanya terasa sangat lancar, bahkan seperti tidak ada masalah berarti. Kuperhatikan mata pelajaran dan mencoba menyimak penjelasan dari guru di depanku, pelajarannya cukup mudah dimengerti.
Bel istirahat berbunyi, mereka segera keluar secara berbondong-bondong dari kelas, beberapa kulihat ada yang makan di kelas, ada juga yang pergi ke kantin. Aku masih terdiam di kelas, masih terasa canggung meskipun aku sudah banyak bercerita pada teman sebangku tadi.
“Hei murid baru, apa kamu ingin pergi makan?” tanya salah satu siswa laki-laki, ia berjalan di depan tiga orang di belakangnya, kancing di seragamnya terlepas satu dan rambutnya cukup gondrong untuk ukuran seorang siswa.
“Tidak perlu, aku tidak lapar.”
Ia terdiam, menerima penolakan memang tidak mengenakan, tapi ada dua sikap yang biasa dilakukan orang-orang. Pertama, menerima penolakan. Kedua, menolak penolakan. Yang kulihat dari wajah laki-laki itu adalah opsi kedua, menolak penolakan.
“Tidak apa-apa, sekalian kuberi tumpangan untuk berkeliling sekolah. Kupikir kamu perlu tahu sebelum tersesat dan menangis di pojokan gedung,” ledek laki-laki tersebut, teman-teman di belakangnya tertawa, lawakan yang cukup lucu dari laki-laki itu, tapi tidak bagiku.
Ucapanya lebih mirip ke arah penghinaan dibandingkan lawakan, teman-temannya tertawa karena mereka tahu sifat asli laki-laki itu seperti apa. Namun, mereka tidak tahu sifatku seperti apa, dan mereka tentu tidak tahu apa aku menerima lawakan itu atau tidak.
“Aku tidak suka kamu menghinaku seperti itu!” tegasku sembari berdiri dari atas kursi dan menatap wajah laki-laki di depanku.
Ia tersenyum, sembari merenggangkan telapak tangannya di depanku, ia mengajakku untuk bertemu selepas sekolah di tempat yang sudah ia tentukan. Aku mengiyakan, jika aku menolak, bukan tidak mungkin ke depannya mereka akan terus menggangguku.
Aku harus segera mengakhiri ini di sini dan secepatnya.
***
Mereka telah datang lebih dulu ketimbang diriku, tidak ada yang tahu kalau pada akhir jam pelajaran ini akan terjadi baku hantam pertama sejak aku masuk sekolah di Bandung. Mereka telah bersiap dengan membuat setengah lingkaran yang menghadap kearahku.
Siswa laki-laki yang sok jagoan itu, ia berdiri di tengah-tengah temannya, melompat-lompat ringan seolah-olah sedang bertinju di atas ring. Wajahnya tegas dan tajam menatapku, sedangkan aku hanya diam membalas tatapannya, tanpa ada seseorang yang menemaniku dan mendukungku dari belakang.
Sungguh, ini awal yang buruk untuk memulai hidup baru, harapan yang diinginkan oleh Kakek dan Nenek kepadaku.
Kurapatkan celah yang terbuka di antara dua sikutku dan mencoba membuat kuda-kudaku semakin kuat. Melihatku banyak persiapan, membuat mereka cukup ketakutan, pasti mereka takut setelah melihat kuda-kudaku seperti seseorang yang paham bela diri.
Padahal aku hanya mengikuti gerakan yang kutonton di TV, dan aku yakin semua itu pasti rekayasa.
“Apa kamu yakin akan melakukannya?” tanya laki-laki itu, memastikan untuk kedua kalinya padaku. Aku mengangguk.
Tanpa banyak bicara kudaratkan kepalan tangan nan keras ini menghantam wajah laki-laki itu, gerak yang sangat cepat dan keras, membuat ia terhuyung jatuh dengan wajah yang memar. Aku mengunggulinya.
“Sialan! Aku sama sekali belum bersiap, brengsek!” cela laki-laki itu.
Aku bergerak cepat, segera kutendang perutnya dan beberapa kali menghantamkan kepalanku mengarah ke wajah dan perutnya, membuatnya terkapar dengan wajah yang lebam tak karuan.
“Aku bilang belum siap, sialan!”
“Aku pikir ini adalah pertarungan, bukan ajang pencarian bakat!” Kutarik kerah baju laki-laki itu dan melemparnya ke tumpukan sampah di dekat sebuah kebun, baju putihnya kini kotor berlumuran lumpur berwarna cokelat dan bau menyengat dari sampah.
Mereka, teman-teman laki-laki itu hanya bisa diam dengan wajah melongo, melihat temannya babak belur hingga bahkan tersungkur dengan wajah tertunduk. Mereka terlalu bodoh untuk melawanku dan memilih untuk pergi berpencar meninggalkan laki-laki itu sendiri.
Hujan tiba-tiba datang mengguyur, keadaannya semakin mengenaskan dengan baju seragamnya yang sepenuhnya basah dan kotor. Hari itu, aku memenangkan pertarungan dan mereka tidak lagi menggangguku. Tidak sebelum laki-laki kini justru mendekatiku dan bergaul denganku.
Ilva. Itulah nama laki-laki yang kalah telak di pertarungan satu lawan satu denganku. Ia mengatakan kalau dia akan menuruti apa yang kukatakan dan menjadi teman baiknya. Aku menyetujuinya, setidaknya itu yang terbaik baginya daripada haru kembali bertarung denganku.
Sial bagiku, keesokan hari setelah pertarungan. Ada seseorang yang melihat pertarungan itu dan membocorkannya ke pihak sekolah. Aku, si murid baru dipanggil untuk menghadap, begitu juga dengan Ilva. Kami mengatakan yang sebenarnya kepada sekolah, dan mereka hanya menatapku hina.
Kakek dan Nenek datang, aku sudah menduga kemarahan mereka tak terbendung ketika mendengarku berkelahi di luar sekolah. Pihak sekolah awalnya ingin mengeluarkanku dan Ilva. Namun, Kakek dan Nenek memohon dengan sangat agar aku tak dikeluarkan. Hati mereka luluh, aku hanya diskors selama 1 minggu.
“Obati lukamu itu, sialan! Aku belum selesai denganmu,” ucapku dengan tegas, menunjuk beberapa luka lebam di wajah Ilva.
Ia terdiam dan memilih pergi meninggalkanku. Aku pulang bersama Kakek dan Nenek, selama 3 hari itu, mereka berdua sama sekali tidak ingin bicara apa pun padaku. Selama itu, aku merasa seperti terasingkan kembali.
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
***“Sarapan!”Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”Aku mengangguk malas, segera kumela
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak