***
“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.
“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”
“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.
Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.
“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?” tanya Kakek, wajahnya yang pasrah mulai tak lagi memedulikan aku malam itu, sedangkan Nenek tersenyum dan mengajakku untuk kembali makan.
15 menit kami berdiam di atas meja makan, aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, cerita sesungguhnya yang kualami akibat perundungan yang Ilva lakukan. Kakek tampak terpejam, entah dia menikmati semua ceritaku hingga tertidur atau dia memang benar-benar malas untuk mendengar celotehanku.
Berbeda dengan Nenek, ia tampak begitu antusias mendengarkan hingga selesai. Tak hanya itu, ia banyak bertanya siapa yang memulai pertengkaran dan setelah terjadi pertengkaran.
“… Begitulah yang terjadi,” ucapku, menamatkan ceritaku dengan kesimpulan yang singkat.
Kakek hanya menganggut-anggut, sedangkan Nenek mulai berjalan dan duduk di sampingku. Ia peluk tubuhku hangat sembari mengusap kepalaku dengan tangannya yang mulai keriput. Rasanya tidak senyaman pelukan ibu, tapi aku memang sangat membutuhkan pelukan dari seseorang, tentu untuk melepaskan penat dan tekanan yang kuterima.
“Lain kali jika ada yang memulai, jangan kamu iyakan. Kamu baru masuk sekolah sudah membuat onar, akan buruk citramu ke depannya.” Kakek berdiri dan memilih untuk pergi ke kamarnya, meninggalkan aku yang masih dipeluk dengan erat oleh Nenek.
“Jangan pikirkan apa yang ia katakan, lama-lama dia juga akan melunak, kok,” ucap Nenek, aku mengangguk, tak ada senyuman yang tercipta dari wajahku, kekesalan karena Kakek masih belum mengakui ceritaku membuat aku tidak bisa tersenyum begitu saja.
Hari itu, kuhabiskan sisa malam untuk membaca beberapa buku dan literatur. Alih-alih hendak menghilangkan stress dan tekanan, justru yang kudapatkan adalah keruwetan ketika membacanya. Memang benar apa kata orang, mood seseorang berpengaruh pada aktivitas ke depannya.
Dalam kesunyian malam, tepat pukul 2, yang kudengar hanyalah suara dari jangkrik dan ranting pohon yang saling bergesekan satu sama lain. Terbesit dalam pikiranku, bagaimana jika aku pergi ke luar dan menikmati udara malam di jam 2? Sungguh menyenangkan sepertinya, serasa kesunyian hanya milikku seorang.
Untungnya Kakek dan Nenek sudah tertidur jam segitu, jadi aku tidak perlu merisaukan omelan mereka ketika keluar dini hari seperti ini.
Rumah Kakek yang berada di dalam perkampungan, membuat suasana semakin sunyi karena warga yang sudah larut dalam dunia mimpi. Seringkali aku harus bersembunyi di balik pepohonan ketika melihat rentetan senter yang menyala berasal dari warga yang kebagi tugas ronda.
Aku terpikir untuk mengunjungi tepi sungai, bukan sungai besar, hanya aliran sungai kecil dengan rerumputan hijau di pinggir kanan dan kirinya. Sungguh sangat menenangkan dibandingkan lautan busa di lantai dua rumah Kakek, entah kenapa aku sangat menikmati kesendirian pada malam itu.
Bagaimana kabarmu di sana, Ibu?
Aku bergumam yang tidak-tidak, menceritakan tentang Ibu dan membayangkan kehadirannya di sampingku. Sungguh bodoh, aku yang menyuruhnya pergi, tapi aku juga yang menyesali perbuatanku padanya, setidaknya itu yang terbaik dengan pengharapan tempat yang utama bagi Ibu di sana.
Kutidur telentang di atas rerumputan hijau tersebut, ukurannya tidak terlalu besar, lebih mirip rumput di stadion sepak bola atau lapang futsal, terkadang aku berpikir yang terpasang di sini adalah rumput sintetis –rumput yang terbuat dari bahan plastik–
***
“Bagas! Kemarilah!” panggil Nenek dengan suara cukup lantang, aku yang masih terbaring di atas kasur terpaksa harus membukakan kedua mataku dan bangkit merespon seruan darinya.
Dengan wajah yang setengah mengantuk, kuberjalan menuruni tangga dan duduk di atas sofa. Semalam aku pulang jam 4 pagi setelah salah satu orang yang tengah meronda memergokiku tergeletak di atas rumput, tertidur.
Alhasil, aku pulang dengan banyak bintik-bintik bekas gigitan nyamuk di sekujur lengan dan kakiku. Untungnya Kakek dan Nenek tidak menyadarinya dan memilih untuk terus melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
Knock!
Suara ketukan terdengar nyaring, Kakek langsung membukanya dan terlihat dengan jelas sesosok siswa laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam datang bersama kedua orang tuanya. Dia adalah Ilva, orang yang kalah telak dalam peperangan di tempat sampah tersebut.
“Apa yang kamu lakukan di sini, sialan?!” erangku dengan kencang, membuat Ilva tersentak kaget.
“Aku datang untuk meminta maaf.”
“Eh?”
Kakek mempersilakan ketiganya masuk dan duduk di sofa yang masih kosong, Nenek mempersiapkan teh hangat untuk ketiganya dan ia juga memerintahkanku untuk membasuh wajahku.
Apa itu? Apa dia meminta maaf dengan terpaksa?
Mereka mengatakan yang sebenarnya, cerita Ilva hampir mirip dengan apa yang kukatakan, menurutku aku yang cukup berlebihan dalam bercerita pada Kakek dan Nenek.
Namun, aku mengagumi tekad dan keinginan Ilva untuk berdamai, cukup sulit bagi siswa laki-laki untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, bahkan kesalahan seperti merokok juga pasti akan mereka sembunyikan sebaik-baiknya.
“Aku yang salah sudah merundungnya,” ucap Ilva dengan wajah tertunduk.
Rasakan sialan! Jangan sekali-kali kau macam-macam denganku lagi.
“Kami sudah mengetahui cerita yang sebenarnya dari Bagas, apa yang kamu katakan sama persis dengan apa yang ia katakan. Jadi bisa ditarik kesimpulan jika keduanya memang tidak ada niatan untuk berbohong.”
Situasi menjadi emosional, kedua orang tua Ilva meminta maaf akibat ulah anaknya yang menyebabkan aku diskors selama satu minggu di hari pertama aku belajar. Ia juga akan menanggung seluruh biaya kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan, karena Ilva bahkan belum pernah memukulku.
“Aku sih tidak masalah, selagi anakmu tidak berbuat onar lagi, aku sama sekali tidak keberatan untuk memaafkan dia.”
Aku bersikap angkuh padanya, aku harus menunjukan siapa raja sebenarnya dan dengan bersikap seperti ini, aku bisa menghindari perundungan yang mungkin saja akan terjadi di lain hari.
“Bagas!”
“Apa, Nek? Biarkan dia yang menyesal, orang yang merundung harus diberi pelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.”
“BAGAS!”
Aku menghentakan lengan Nenek yang mencengkeramku erat, dan pergi dengan langkah cepat menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Entah kenapa aku merasa seperti ada gejolak yang terjadi padaku, aku memang senang jika Ilva dikalahkan, tapi aku tidak puas hanya dengan dirinya.
Muncul sebuah ide gila yang terbesit dipikiran, bagaimana jika aku terus berpetualang dan menjadi Raja di sana? Baik raja di bidang akademik atau di bagian anak-anak “bermasalah”.
“Ilva masalah kecil, akan kukuasai sekolah itu dan membiarkan semua orang tunduk padaku!”
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
***“Sarapan!”Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”Aku mengangguk malas, segera kumela
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak