***
Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.
Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.
“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.
Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di tiga sekolah aliansi.
“Apa maksudnya itu?” tanyaku kepada Ilva, selama jam istirahat ia selalu berada di dekatku, entah untuk melindungiku atau sebagai “ganti” kekalahan tempo hari.
“Para siswa terbaik, dalam hal pertarungan, mereka mengajukan diri sebagai komandan Tiga Sekolah Aliansi. Dulu aku bagian kepengurusan dari mereka,” ucap Ilva, ia duduk tepat di depanku sembari membawa makanan ringan yang ia bawa.
“Jadi, mereka hanyalah segerombolan anak sialan yang menghabiskan waktu untuk omong kosong kejayaan dan merundung orang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan?” tanyaku.
Ilva berdecak lidah ketika mendengar apa yang kukatakan, ia memalingkan wajahnya dan memandangi taman sekolah yang cukup indah dan rindang.
“Itu cukup jahat, tapi memang begitulah yang terjadi.”
Aku terdiam, menyimak semua kata yang barusan Ilva katakan. Sepenuhnya aku tidak merasa bersalah atas keputusan Ilva yang meninggalkan mereka, ia sudah kalah pertempuran, mau tidak mau dia harus menaati sang pemenang, karena sejarah ditentukan oleh para pemenang.
“Tch! Aku tidak punya waktu berurusan dengan mereka yang bahkan tidak memikirkan masa depan mereka sendiri,” hinaku, Ilva tampak semakin kesal, dilihat dari raut wajah dan alisnya yang perlahan semakin mengkerut mendengar kelanjutan dari ceramah dariku.
“Mereka juga tidak ada waktu mengurus pecundang sepertimu.”
“Ya benar juga sih, tapi sayangnya kamu yang salah satu petinggi dari kelompok sialan itu harus kalah dengan memalukan oleh pecundang ini.”
“Hentikan….”
“Bahkan aku masih mencium bau sampah dari dua ketiakmu itu, sialan!”
“Kubilang hentikan, KAU BRENGSEK!”
Ilva dengan lantang menarik kerah baju dan menatapku dengan kedua matanya yang menyala marah, seluruh siswa di kantin tak bisa melerai kami karena mereka tidak ada yang berani mendekati kami, dua orang paling menakutkan di SMA, hanya orang bodoh yang berani melerai kami.
Dan benar, orang bodoh itu datang sembari menyiram wajahku dan wajah Ilva menggunakan minuman yang ada di nampan yang ia bawa, bau dan rasanya seperti jeruk.
Semuanya sontak berteriak dan tersentak diam melihat adegan tak terduga dari wanita tersebut. Mereka mungkin tidak berpikir kalau kami tidak akan melukai seorang wanita, aku tidak tahu Ilva bagaimana, tapi lain denganku.
Kutarik kerah baju wanita di sampingku, rambutnya panjang terurai dengan kaca mata bulat yang ia kenakan. Bajunya ikut basah karena tanganku yang masih berlumuran air jus tersebut.
“Apa kamu ingin aku merusak wajahmu itu, Mata Empat?!” bentakku.
“Lakukanlah! Aku tidak takut sama sekali,” erangnya, menatapku tajam dengan nada suara yang cukup tinggi.
Tak lama, datanglah seorang guru BK yang berpakaian seragam olahraga guru. Ia melihat kekacauan di kantin yang semakin tak terkendali berkat amarahku, segera ia menarik dan mengunci kepalaku di lengannya, begitu juga dengan Ilva dan wanita sialan yang melemparku tadi, keduanya dituntun oleh orang yang berbeda.
“KAU SISWA SIALAN! Aku bisa saja mengeluarkanmu saat ini juga.”
Entah kenapa, aku justru mendapatkan cacian lebih dari kedua orang di sampingku. Mungkin itu disebabkan karena guru yang pertama datang tengah melihatku mencekik kerah baju wanita tersebut.
“Sudah kubilang, aku sama sekali tidak—”
Plak!
Ucapanku terhenti dengan kasar, sebuah telapak tangan guru mendaratkan pukulan dan tamparannya di wajahku. Kekuatan dan kecepatannya luar biasa, mungkin ini pukulan pertama yang kudapatkan di sekolah ini, ironisnya langsung dari guru.
“Sudah salah masih mau membantah, dasar anak sialan!” bentak guru tersebut.
“T-Tunggu dulu, ini semua salahku karena aku yang membuat keadaan di kantin semakin kacau,” ucap wanita di sampingku.
“Jangan membelanya! Dia sudah menarik bajumu, tidak sepatutnya kamu membela orang jahat sepertinya.”
Aku hanya terdiam sembari wajah yang terus tertunduk, aku tidak mengerti dengan sistem keadilan di SMA ini, kenapa orang selalu melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja? Kenapa mereka tidak mencoba untuk melihat sesuatu dari berbagai perspektif? Lalu kenapa akhirnya aku yang selalu disalahkan?
“Kamu akan saya hukum, buka seragam kamu!” titah guru tersebut, aku mengiyakan karena memang posisiku sangat terpojok dan tidak ada satu pun yang bisa membantuku.
Kubuka seragam sekolahku yang terlanjur basah, kini hanya ada kaus oblong berwarna hitam yang kukenakan. Guru itu juga memintaku untuk membukanya, kubuka dengan perlahan.
Kini di hadapan guru BK tersebut, aku sudah bertelanjang dada. Salah satu pria mengeluarkan benda dari dalam lemari dan benar apa yang kuduga, itu adalah papan nama yang akan dipasangkan padaku, dan sebuah mesin cukur.
“Tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku dulu, Pak!” lantang wanita tersebut, tapi kedua guru itu sama sekali tidak mengindahkannya.
Keduanya diusir dari ruang BK, kini hanya meninggalkanku seorang. Mereka langsung mencukur habis rambut kepalaku hingga pendek layaknya tentara, begitu juga dengan papan yang mereka siapkan.
Aku sudah seperti tahanan yang dipermalukan di depan umum.
Tidak ada gunanya untuk melawan, kan?
Penghinaan itu telah berakhir di ruang BK, kini aku dituntun untuk dihukum untuk berdiri di lapangan upacara dengan bertelanjang dada dengan papan nama yang dikaitkan ke leherku dan terpasang di depan dadaku.
Orang-orang mulai menatapku dengan tatapan menghina, mengejek, dan ada beberapa yang melemparkan batu kearahku. Terkadang ketika kutatap balik mereka, siswa-siswa itu memilih pergi dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Yang lebih buruk, hujan turun sangat deras. Tak ada perintah apa pun dari guru untukku berteduh dan semacamnya. Aku bermandikan air hujan sore itu hingga pulang sekolah, kini tak hanya baju, celanaku ikut basah sepenuhnya.
“Apa kamu tetap berdiri sejak hujan turun?” tanya seseorang di depanku, kutegakan kepala ini dan melihat ternyata dia adalah wanita si pengacau di kantin siang tadi.
“Mereka tidak menyuruhku meneduh, aku tidak bisa mendapat hukuman lain selain ini,” ucapku dengan datar.
“Tapi secara logika, harusnya kamu—”
“Jika bertanya seputar logika, apa hukuman ini sesuai dengan logika yang benar?” tanyaku menyela pertanyaan wanita tersebut.
Huft, tak ada gunanya berbicara dengan wanita itu.
“Pergilah, sebelum guru itu datang dan mulai menghilangkan logika tentang kebenaran suatu hal,” titahku kepada wanita tersebut.
Benar, ia pergi dengan wajah yang sedih. Sungguh, aku tidak membutuhkan belas kasihan darinya. Hukuman yang kudapatkan menimbulan rasa malu yang tak terhingga, mereka mungkin akan mengenal diriku sebagai seseorang yang berandal dan tak beradab.
Itulah yang terjadi, mereka akan menarik kesimpulan dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka pahami.
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
***“Sarapan!”Pagi itu, rutinitas hidupku hampir sama seperti biasanya –Pergi makan, sekolah, bermain, dan mengerjakan tugas. Tidak ada sesuatu yang menarik terjadi, sama seperti saat ini. Panggilan Ibu untuk pergi sarapan terdengar lantang hampir di setiap jam 6 pagi di hari biasa.Jika aku tidak membalas ucapannya dalam tiga menit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia dikenal sebagai seorang yang disipliner dalam segala hal.“Bagas! Sudah kubilang untuk pergi makan, apa kamu masih tidur di jam segini?”Suaranya terdengar lebih jelas dari balik pintu kayu yang terpasang poster anime Naruto tersebut, ketukan sebanyak tiga kali menghiasi kepanikan di pagi hari yang selalu menjadi suatu kebiasaan kami.Aku buka pintu itu dan tersenyum, meskipun rambut masih terlihat berantakan.“Basuh mukamu dan pergilah ke bawah, atau kamu akan telat pergi ke sekolah.”Aku mengangguk malas, segera kumela
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
*** Pertama, kucoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Silva yang terlanjur “rusak”. Kudatangi kelasnya yang ternyata cukup jauh dari kelasku dan melihat respon dari gadis tersebut, sama sekali tidak seantusias kemarin ketika kami bertemu sepulang sekolah. “Dengar, aku minta maaf dengan kejadian kemarin. Aku sadar kalau aku—” “Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk tidak lagi mendekatimu? Kenapa justru kamu sendiri yang kini menghampiriku?” tanya Silva, menyela dengan cepat susunan perkataan yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk meyakinkan gadis tersebut. “Soal itu, aku benar-benar minta maaf.” Silva terdiam, ia sungguh mengetahui kalau keadaan sekarang justru banyak menguntungkan dirinya. Aku tak habis pikir dengan diriku di kemarin sore, bagaimana bisa aku menyakiti dan mengatakan hal yang buruk padanya? Bahkan di depan orang banyak. Jika aku ingin berkata dengan jujur, aku ingin Silva terus berada di sampin
*** Apa yang kuduga benar-benar terjadi, kuberikan surat pemanggilan orang tua yang terbilang horor bagi siswa SMA kepada Kakek dan Nenek. Mereka hanya diam sembari memelototiku, dalam pikiran mereka mungkin berkata “Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” “Baiklah, seperti biasa, kan?” tanya Kakek. Seperti bukan sesuatu yang aneh terjadi, sikap Kakek dan Nenek berbanding terbalik dengan apa yang kupikir. Sebuah tatapan dan raut wajah pasrah dari mereka terukir sekali lagi ketika aku menyerahkan surat “kekecewaan” kepada mereka. Hari ini, mereka tiba sesuai waktu yang ditentukan. Kulihat Silva juga datang bersama ayahnya, kulihat pakaian Ayah Silva berbanding terbalik dengan setelan kemeja sederhana dari kakekku yang tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah. “Tak kusangka kamu datang lebih awal dariku,” ucap Silva, ia menepuk punggungku sebagai salam pembukaan di perbincangan alot yang nanti akan kita lakukan. “Aku hanya ingin masalah
*** Sontak dalam beberapa hari ini, murid yang lain mulai menjauhiku dengan alasan berandal, menjijikan dan sebagainya, bahkan karena hal ini juga membuatku kesulitan untuk mendapatkan kelompok belajar ketika ujian sebentar lagi tiba. “Kuharap ia diusir dari sekolah ini.” “Orang asing yang tak tahu tata krama.” Haha! Semua orang membicarakanku, membuatku tenar hingga satu sekolah tak ada yang tak mengenalku. Aku harus berterima kasih pada Ilva dan wanita sialan itu, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan membuatku setenar ini dalam waktu cepat. “Kudengar kamu hendak berbuat jahat pada Silva?” Ah, benar. Nama wanita itu adalah Silva, wanita yang kuat dan pemberani, cantik dan menawan. Aku yakin tipe laki-laki yang ia sukai tidak ada di dalam diriku ini. “Hah? Apa maksudmu? bukankah dia sendiri yang memulai kekacauan ini?” “Sialan! Kenapa kamu menyalahkannya? Bukankah yang dihukum itu kamu sendiri?!” erang murid l
***Hari demi hari terlewati, pasca skorsingku yang mencapai batas –skors selama satu minggu– di hari kemarin. Kini aku siap untuk kembali ke sekolah, mencoba meraih peringkat atas akademik dan kepopuleran di antara siswa lain. Hal ini tentu bisa membuat seseorang menjadi tidak nyaman.Ilva, ia kini sepenuhnya berada dalam tanganku. Kekalahan memalukan melawan anak baru membuatnya harus menanggung malu yang sangat besar, dari cerita murid lain –Aku mendengarnya ketika istirahat makan siang. Ilva menjadi salah satu siswa “jagoan” di tiga sekolah aliansi.“Tiga sekolah aliansi? Itu mengesankan,” ucap salah satu siswa, merasa terkagum mendengar apa yang seharusnya menjadi rasa malu bagi seorang siswa.Merasa hebat di bagian kenakalan? Yang benar saja! Apa hidup mereka akan berakhir menjadi gelandangan dan preman suatu hari nanti? Aku tak habis pikir dengan tingkah mereka yang mengagung-agungkan posisi mengesankan di
***“Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi seorang berandal, Bagas!” erang Kakek, amarahnya masih menggebu-gebu karena ulahku beberapa hari lalu, berbeda dengan Nenek yang sudah mulai melunakan hatinya yang semula keras padaku.“Bukankah sudah kubilang kalau mereka duluan yang menghinaku, aku sama sekali tidak bersalah, aku hanya mencoba membela diri.”“Apa membela diri adalah tindakan yang salah?!” tanyaku dengan lantang, kami yang saat itu sedang makan malam sontak saling pandang satu sama lain, benar, mereka merasa terganggu dengan sikapku yang seolah-olah ingin mencari pembenaran.Nenek menggeram kepada Kakek, membisikan sesuatu tepat di depanku. Mereka memang biasa seperti itu, jika ada sesuatu yang ingin Nenek katakan, ia biasa membisikannya pada Kakek biar pria tua itu yang mengatakannya padaku.“Baiklah, kami akan mendengarkanmu. Jadi, jangan memulai pertengkaran di atas meja makan, kamu mengerti?&
***Hari ini menjadi hari pertama aku masuk ke sekolah menengah atas, melanjutkan pendidikan yang terhenti di Jakarta. Kakek dan Nenek mau membantu sekolahku secara finansial, beberapa petak tanah dan usaha lainnya pasti membuat keuangan keduanya stabil hingga kini.Aku senang, mereka begitu peduli padaku, setelah Ayah pergi dan Ibu tiada, tidak ada lagi kupikir seseorang yang mau peduli dan sayang padaku, dugaanku salah besar.“Bersiaplah, Kakek pikir sekolah di Bandung perlu adaptasi yang relatif lama dibandingkan daerah Jabodetabek,” jelas Kakek.“Itu benar, soalnya ada anak tetangga yang kesulitan beradaptasi dan memilih kembali ke Bekasi dan melanjutkan sekolah di sana. Aku harap kamu tidak seperti itu, Bagas,” timpal Nenek, ia menuangkan sup hangat dari dalam panci ke mangkuk besar kaca yang tampak indah.Kuletakan tas sekolahku dan mulai menyantap sarapan bersama mereka, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengecew
***Keduanya membawaku pergi ke Bandung dan menetap selamanya di sana, kutinggalkan seluruh kenanganku yang berharga tentang Ayah dan Ibu di rumah itu, biarkan mereka bercerita suatu saat nanti kalau ada kejadian luar biasa yang pernah terjadi di rumah itu.“Tidak usah khawatir, kamu aman bersama kami,” ucap Nenek halus, aku mengangguk.Aku pergi menjauh dari pintu rumah dan duduk di atas mobil angkutan umum yang telah diberhentikan oleh Kakek. Sekali lagi, aku berbalik badan dan memalingkan wajahku menatap rumah yang sudah kudiami selama 15 tahun itu, tak kusangka perpisahannya akan seberat ini.“Bagas, ayo kita berangkat.”Benar, aku harus memulai hidup baru. Aku harus memulai lembaran yang baru. Aku harus mulai melupakan kematian Ibu. Aku harus mulai melupakan tentang Ayah. Benar! Aku harus memulai semuanya lagi dari awal.“Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu dulu sebelum pergi?” tanya Kakek dalam mobi
*** Ibu dibawa oleh beberapa orang keluar rumah dengan keadaan tubuhnya yang tertutup kain berwarna putih. Aku masih bisa melihat bekas piring dan gelas tempat Ibu makan dan minum semalam, entah apa yang kulakukan ini benar atau justru membuat Ibu semakin menderita di sana. Karena kematiannya yang janggal, kepolisian terpaksa memeriksa area rumah dan beberapa perabotan. Orang-orang khusus yang mengenakan pakaian serba tertutup berwarna putih dan memakai topeng datang dan mulai mencari “bukti” di dalam rumah tersebut. Mereka pasti sudah menyadari jika ada sesuatu di piring tersebut, mereka terus menyisir daerah dapur dan berharap dapat menemukan sesuatu yang menggemparkan. Salah satu petugas sesekali melirikku dan menatapku tajam, aku yakin pandangan darinya bermaksud sesuatu. “Tidak ditemukan apa-apa, dia sepertinya menengguk racun itu,” ucap seorang petugas labfor sembari membuka masker penutup mulut yang ia kenakan. Ia mengabaikanku sebagai
***Beberapa bulan setelahnya, aku secara resmi tinggal berdua dengan ibuku. Kami sudah tak memedulikan keadaan Ayah seperti apa di penjara, kekecewaan yang ia berikan pada kami cukup membuat kami berpaling dan menjauh darinya, untuk selamanya.Senyum, tawa, dan kehangatan di dalam lingkaran keluargaku sudah menghilang. Ibu, sosok orang terdekat yang masih berada di sampingku, wajah dan tubuhnya tampak seperti tak bersemangat. Makanan yang ia sajikan juga terkadang terasa hambar di lidah.Aku tidak bisa protes, aku tidak bisa ngeyel padanya. Situasi kami berada dalam keadaan yang sama-sama sulit. Aku kehilangan ayahku, dan dia mungkin kehilangan belahan jiwanya untuk selamanya. Aku mencoba hidup dalam rutinitasku dan berharap suatu saat, semua ini akan berakhir.“Bagas … bangunlah,” ucap Ibu di pagi hari, matanya sayu dan menatapku dengan raut wajah kesedihan.Aku berdiri dengan sigap, jika Ibu melemah dalam kondisi saat ini, mak