Share

Teringat masa lalu

Suasana di dalam ruangan terasa serius tetapi produktif. Telepon di meja berdering, Aisyah segera mengangkatnya. Ternyata dari sang asisten pribadi Pak Joseph memberi instruksi cara pengembangan proyek yang ditangani Aisyah.

Aisyah mendengarkan dengan seksama sambil mencatat poin-poin penting. Seakan-akan dia tidak menghiraukan pria di depannya. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak seperti dulu lagi.

Aditya diam-diam mencuri pandang melihat istrinya, dia sangat cantik. Aisyah berwajah oval dan kulit cerah. Matanya besar dan berkilau, seolah-olah selalu menunjukkan kebaikan dan kehangatan. Senyumannya indah saat berbicara di telepon. Saat bersama Aditya, Aisyah jarang bicara apalagi tersenyum, hanya isak tangis. Ditambah lesung pipi muncul di kedua sisi pipinya. Busananya sederhana, tetapi elegan membuat beda dengan wanita yang pernah ditemui Aditya.

'Kenapa dulu tidak pernah melihat sisi baiknya dari wajah, memang aku terlalu bodoh menilai wanita,' batin Aditya menyesal. Bertahun-tahun berpacaran dengan Shintya, dia terlalu percaya dengan perkataan manis Shintya. Pada akhirnya dia yang kecewa, dan sangat benci dengan wanita.

"Baiklah, Pak Aditya. Besok kita bahas lagi, silahkan Anda pulang!" kata Aisyah selesai berbicara di saluran telpon.

"Aisyah!"

Baru kali ini Aisyah mendengar suara panggilan nama dari mulut suaminya.

Tiba-tiba ponsel Aditya berdering, dia mengeluarkan ponsel dari saku. Dia hanya melihat saja, tetapi tidak mengangkat panggilan tersebut.

"Apakah dari kekasihmu?" tanya Aisyah menduga.

"Besok kita akan bertemu, saya akan mencoba membuat dokumen yang baru lagi." Aditya tidak menjawab pertanyaan pribadinya.

"Oke, biarkan aku yang pergi ke kantor Anda." Aisyah menawarkan untuk pergi ke kantornya. Sekalian menguji mental dan fisik dirinya sendiri.

"Suatu kehormatan, saya akan menunggumu." Aditya akhirnya pergi dari ruangan tersebut.

Semenjak berhadapan dengan Aditya ketegangan dan ketakutan menjadi satu pada diri Aisyah.

"Rasanya sangat lega saat melihat dia keluar dari ruangan," ucap Aisyah sambil mengelus dada.

Aisyah segera pulang ke rumah. Pertemuan dengan Aditya dengan lancar.

"Bagaimana Aisyah?" tanya Kakek yang sedang duduk di sofa.

"Alhamdulillah, lancar. Ini bentuk awal untuk masuk di kehidupan keluarga itu." Aisyah bersaliman kepada kakek, beliau membalas dengan senyuman.

Aisyah menceritakan kejadian baru saja kepada pria tua yang sudah dianggap kakeknya sendiri. Sang kakek selalu menasehati Aisyah agar tidak gampang percaya kepada orang lain.

__________

Di sisi lain, di kediaman keluarga besar Aditya. Kakek Glazer menanyakan tentang cucu menantunya, Aditya hanya bisa berjanji pada sang kakek.

"Kakek tenang saja, Aditya akan membawa Aisyah tanpa paksaan."

"Aku percaya padamu, kakek tahu tentang Sera dan Aisyah. Memang awalnya keluarga Dirgantara ingin menjodohkan dengan Sera, dan kakek juga tahu kalau Sera bukan gadis baik-baik. Kakek yang mengatur Sera kabur dengan kekasihnya agar kamu bisa menikah dengan Aisyah," jelas kakek Glazer.

"Kenapa Kakek tidak bilang sama Aditya?"

"Kamu tidak tanya, lagian kakek pikir kamu sudah menikah dengan Aisyah."

"Ah, sudahlah."

Aditya pergi ke kamarnya, dia ingat kekejaman yang pernah dilakukan selama ini kepada istrinya.

"Aku harus minta maaf, dengan cara apapun agar Aisyah memaafkanku," ucap Aditya.

____________

Waktu terus berjalan, keesokan harinya. Aisyah sudah siap dari penampilan dari ujung kepala sampai kaki. Selain balas dendam di keluarga Glazer, dia ingin membantu Kakek Joseph mencari putri satu-satunya yang pernah diusir.

Di pagi yang cerah, Aisyah berada di dalam mobil mewah meluncur dengan tenang di jalanan kota. Sopir pribadi dengan cekatan mengendalikan kemudi. Aisyah berpenampilan rapi, duduk di kursi belakang sambil memeriksa dokumen penting di tangan. Mobil berhenti perlahan di depan gedung perusahaan Glazer, sebuah perusahaan besar yang terkenal dengan arsitektur modernnya.

Sopir pribadi keluar dari mobil, berjalan cepat ke sisi penumpang dengan sopan membuka pintu. Aisyah keluar dari mobil dengan penuh percaya diri, menyesuaikan pakaian dengan gerakan yang mantap. Kaki panjangnya melangkah masuk ke dalam gedung Glazer, siap untuk menghadapi hari yang penuh dengan pertemuan penting dan keputusan besar.

Tiba-tiba ingatan masa lalu Aisyah muncul di pikirannya, saat pertama kali masuk di perusahaan yang ada di depannya.

Di ruangan tersebut tempat yang besar, tetapi terasa sempit karena atmosfer yang mencekam. Lampu neon yang terlalu terang menyorot tajam, membuat bayangan di sudut ruangan tampak lebih gelap dan menyeramkan.

Aditya berdiri di belakang meja besar yang terbuat dari kayu mahal, sikapnya dingin dan matanya menatap tanpa belas kasih. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tajam dan menusuk, seperti pisau yang memotong perlahan tetapi dalam. Setiap kalimat yang diucapkan bukan hanya sekadar perintah, tetapi juga penghinaan, seolah-olah sengaja ingin mengikis harga diri.

"Apa yang ingin kamu lakukan di sini?" tanya Aditya dengan ketus.

"Maaf, Nyonya menyuruhku untuk mengantarkan bekal nasi ini untuk Tuan." Memang saat itu kedua orang tua Aditya baru pulang dari Singapura.

"Jangan berbohong, mereka tidak pernah membawakanku bekal makanan. Apakah kamu ingin sesuatu?" Tiba-tiba tangannya mencekam mulut Aisyah, lalu mendorong di dinding ruangan.

"A–ku." Aisyah ingin bicara tetapi sulit dikarenakan cekamanya, dia pun melepas tangannya.

"Aku tidak berbohong," balas Aisyah dengan penuh ketakutan.

"Apa kamu ingin menggodaku agar berbuat baik padamu. Hah!" kata kasar muncul dari mulut Aditya.

Aisyah tidak bisa berkata-kata lagi. Dia memang disuruh oleh ibunya Aditya. Nyonya Elsa adalah ibu dari Aditya, ibunya ingin ngerjain menantunya. Elsa tahu bahwa putranya tidak suka dengan perjodohan yang diatur oleh sang kakek. Memang keluarga Aditya banyak konflik keluarga dan harta.

"Masih tidak mengaku, apakah kamu, kamu, ingin ini." Aditya membuka resleting, dia menekan pundak Aisyah agar jongkok. Setelah itu, bagian tengahnya disodorkan ke mulutnya.

"Kolom cepat!" bentaknya dengan mata mendelik. Aisyah segera melakukannya dengan pelan. Tiba-tiba rambutnya ditarik yang berbalut jilbab olehnya sambil berkata, "Yang cepat!"

Terpaksa Aisyah akukan dengan cepat, rasanya sungguh jijik dan membuat perutnya mual. Hanya berapa detik, dia langsung muntah-muntah.

"Dasar gak guna!" Tangannya langsung membuka pakaian bawa Aisyah. Dengan keras tubuh Aisyah dihadapkan di meja, dari belakang memasukkan lalu menarik kembali dengan keras. Aisyah ingin menjerit tetapi ini adalah kantor perusahaannya. Semenjak malam pertama, Aditya semakin kecanduan melakukan hubungan intim. Dia termasuk pria berhasrat tinggi.

Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Aisyah, "Anda istrinya Pak Aditya?"

Bayangan setahun lalu lenyap, Aisyah langsung menghapus air mata yang ingin menetes di pipi. Ternyata dia hanya mengingat kekejaman Aditya, ingatan itu seakan dia kembali merasakan perlakuannya. Dia merasa lemah, tetapi harus bisa kuat untuk balas dendam.

"Maaf, Pak Aditya ada?" Aisyah balik bertanya pada pria berseragam tersebut.

"Ada, beliau memang menunggu Anda," balas Pak Satpam ramah.

"Baiklah, terima kasih." Aisyah segera melangkah masuk ke lift.

Sesampai di depan ruangan tersebut, Aisyah perlahan melangkah menuju ruang CEO. Tempat yang dulu menyimpan kenangan kelam, di mana dia pernah merasakan penderitaan yang tidak terlupakan. Setiap langkah yang dia ambil dipenuhi dengan perasaan campur aduk—antara ketakutan, kemarahan, dan keberanian yang saling berperang di dalam dirinya. Bayangan masa lalu yang kini harus dia hadapi lagi, meski dengan hati yang masih rapuh dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Tok tok tok tok

"Masuk!"

Aisyah berusaha untuk tenang menghadapi Aditya.

"Duduklah!" perintah Aditya tanpa melihat Aisyah, dia segera duduk dengan baik.

Aditya mendongakkan kepalanya, lalu mendekati Aisyah. Dia duduk di atas meja tepat di depannya. Tanpa bicara dia langsung melumat bibir Aisyah dengan kasar. Dia ingin memukul, seketika tangannya memegang erat kedua tangan. Dengan kasar menciumi bibir, lalu menghisap leher. Pria itu seperti binatang yang kelaparan berbulan-bulan belum makan. Tubuh Aisyah dicumbui dengan ganas tanpa henti.

"Aisyah, ada apa dengan dirimu?" tanya Aditya yang sedang duduk manis di depan. Ternyata semua itu adalah imajinasi Aisyah saat masuk di ruangan tersebut. Keringatnya mulai bercucuran membasahi pipi.

"Apakah kamu tidak mendengarkanku?" tanya Aditya.

Aisyah masih diam belum menjawab pertanyaannya, "Em, maaf, saya kelelahan. Apa yang Anda bicarakan?"

"Apakah kamu sakit?" tanya Aditya yang ingin mendekati istrinya, memang Aisyah terlihat sangat gugup.

"Oh, tidak. Aku baik-baik saja," balas Aisyah tangannya diangkat dengan telapak menghadap ke depan, jari-jari terbuka lebar. Mengisyaratkan supaya Aditya tidak mendekatinya.

"Oke, aku dari tadi menjelaskan tentang pekerjaan. Em, kelihatannya kamu tidak mendengarkannya. Terlihat pucat wajahmu, apakah kamu baik-baik saja?" Aditya ingin menunjukkan kalau dia rekan bisnis profesional. Dia tidak ingin kesalahan dulu bisa terulang kembali. Aditya ingin istrinya kembali tanpa paksaan. Dia memang benar-benar pria sejati.

Aisyah menarik napas dalam-dalam lalu keluarkan pelan, ingin membalas perkataannya.

Tiba-tiba ada seseorang masuk, saat Aisyah menoleh ke arah pintu ternyata–Shintya.

Shintya menatap kepada Aisyah dengan tajam.

"Hee, apa dia istri yang meninggalkanmu itu?" tanya wanita itu dengan mata melirik ke arah Aisyah.

"Apa kamu ingin kembali kepada Aditya dengan penampilan norak seperti ini?" Aisyah hanya diam, dan tidak mendengarkan dia bicara.

"Chintya, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Aditya.

Wanita itu tetap memandang Aisyah mulai dari bawah hingga kepala.

"Aku dan Aditya saling mencintai, kamu tidak perlu berdandan seperti ini. Norak, kampungan, menyewa pakaian dari mana kamu? Hah!" hina Shintya.

Aisyah tidak membalas kata-katanya, Shintya tetap mengoceh, "Aditya tidak akan tertarik dengan dirimu. Sebentar lagi kami akan menikah."

"Ck, siapa yang ingin menikah dengan kamu?" tanya Aditya beranjak berdiri, lalu berkata lagi, "Chintya kamu keluar dari ruanganku!"

"Sayangku, Mama sudah merestui hubungan kita," kata Chintya dengan manja.

Shintya tidak mau keluar, berhubung Aisyah tidak ingin berada di ruangan tersebut. Dia memutuskan untuk keluar, "Pak Aditya, besok kita lanjutkan lagi. Aku tidak ingin mendengar persoalan kalian berdua."

Ketika Aisyah ingin melangkah tepat di depan pintu, tiba-tiba lengannya ditarik oleh Aditya, "Kamu jangan pergi dulu. Masih ada sesuatu yang ingin aku jelaskan."

Dilihat dari wajahnya, Aditya memang benar-benar tulus. Aisyah menghembaskan tangannya, dengan keras Aditya meraih tangan istrinya lagi.

"Chintya keluar!" suara lantang Aditya, seketika Aisyah langsung terkejut mendengar suara kerasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status