Aditya melempar tubuh istrinya di ranjang. Dia tidak ingin tertipu oleh wanita.
"Kamu jangan pura-pura sakit. Apa yang kamu inginkan dariku?" Emosinya semakin tidak stabil, apalagi jika melihat sang istri. Kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Wajah Aisyah tampak begitu pucat, dengan rona yang hilang dari pipinya seolah segala energi telah terserap habis. Matanya terlihat lembab, berkaca-kaca, memancarkan lelah dan ketidaknyamanan yang mendalam, tanda bahwa tubuhnya tengah berjuang melawan sakit yang dia rasakan. Napasnya sesekali terdengar berat, menambah kesan betapa tubuhnya sedang lemah dan membutuhkan istirahat. Rasa sakit begitu dahsyatnya masih sangat terasa yang dirasakan Aisyah. Aditya tidak pernah percaya kalau istrinya memang benar-benar sakit. "Tuan, aku sakit," ucap Aisyah lirih sembari meringkuk. "Baiklah, jika memang kamu sakit. Pergilah ke rumah sakit!" Aisyah sedikit senang mendengar Aditya menyuruh untuk pergi ke rumah sakit. "Pergi sendiri sana!" ucap Aditya lagi tanpa melihat istrinya. Rasa kecewa membuat Aisyah pupus harapan. "Aku tidak punya uang dan aku belum paham di kota ini," balas Asyah lirih. "Alasan, aku sudah menduga. Kamu memang wanita licik, sudah berapa banyak pria yang kamu tipu?" tanya Aditya dengan ketus. "Apa maksud Tuan, berapa banyak pria?" tanya Aisyah tidak paham yang dikatakan suaminya. "Sudahlah, jangan pura-pura. Aku antar kamu ke rumah sakit, tapi jangan harap aku baik padamu. Penipu tidak akan mengaku," kata Aditya masih ada kebaikan dalam dirinya. Aditya berjalan cepat di depannya tanpa tahu keadaan sang istri. Rasa ngilu dibagian tengah yang dirasakan Aisyah dia mencoba kuat untuk berjalan. Baginya cukup malam pertama saja rasa trauma masih menyelimuti. Dia berjalan mengangkang dengan pelan, menuruni anak tangga sedikit demi sedikit. Terlihat sang suami sudah berada di dalam mobil. "Jangan lelet, pura-pura sakit segala!" seru Aditya dengan ketus. Aisyah duduk di sebelahnya, di perjalanan menuju rumah sakit, tanpa ada kata apa-apa. Ya, meskipun dia kejam Aisyah sedikit senang ternyata dia tidak seburuk yang dia pikirkan. Ketika terbuai memandang ketampanan suami, mata terasa sangat kantuk yang dirasakan Aisyah. Akibat semalam kurang tidur, sehingga kepalanya bersandar di bahu sang suami. Spontan terperanjat kaget terdengar kalimat kasar terlontar begitu saja dari mulut suami, "Menyingkirlah! Apa kamu tidak tahu aku lelah." "Maaf." Aisyah langsung menundukkan kepala, sementara Aditya menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Sesampai di rumah sakit, Aditya tidak turun dari mobil. "Pergilah sendiri!" suruhnya tanpa melihat ke arah Aisyah yang kesulitan untuk berjalan. "Tapi aku tidak paham rumah sakit sini," tolak Aisyah dengan lirih. 'He, pintar sekali wanita licik ini. Ingin mencari perhatianku,' gumam Aditya dalam hati. "Jangan pura-pura polos. Mulut kamu itu buat apa? Tanya bodoh!" Perkataan Aditya sungguh kasar menusuk dalam hati, tidak terasa air mata sang istri menetes membasahi pipinya. Aisyah belum sempat membalas perkataannya, Aditya berkata lagi, "Nangis mulu, jangan pura-pura lugu. Aku tidak mempan dengan aktingmu." Aisyah segera mengusap air matanya, lalu berjalan dengan mengangkang pelan menuju bangunan besar tersebut. Ada beberapa orang yang berkata, "Kasian wanita itu berjalan mengangkang sendirian." Dia hanya bisa menahan air mata agar tidak jatuh. Diabaikan mereka lalu bertanya di beberapa petugas rumah sakit. Beberapa menit kemudian sampai di ruang dokter. Selesai diperiksa, Aisyah dimarahin sebab pergi sendirian, suaminya mana? Suaminya tidak boleh melakukan seperti itu lagi, bagian tengah hingga robek. Bagian tertentu untuk istirahat terlebih dahulu, jelas dokter, beberapa penjelasan yang dokter lontarkan kepadanya. Dia hanya mengangguk saja. Aisyah keluar dari rumah sakit, sampai di depan, ternyata tidak ada mobil Aditya. Dia menunggu hingga berjam-jam lamanya, terdengar suara adzan Ashar. Dia memutuskan untuk shalat di masjid dekat rumah sakit tersebut. Setelah selesai shalat, Aisyah pergi tanpa membawa apa-apa. Saat di rumah sakit hanya uang pas yang dikasih Aditya. Dia ingin pulang sendiri tidak tahu alamat rumah yang dia singgahi. Sampai malam tiba, Aditya belum datang juga. Aisyah meringkuk di pojok serambi masjid. Ada beberapa orang bertanya, dia hanya diam saja. Akhirnya dia tertidur di serambi masjid tersebut. "Hey, bangun!" suara Aditya menggema di alam mimpi. Aisyah mencoba membuka mata. "Maaf." Hanya kata itu yang bisa diucapkan Aisyah. "Mau pulang tidak?!" suara Aditya gemlegar terdengar sangat kasar sambil berlalu meninggalkan istrinya. Aisyah segera membuntuti di belakang suami yang tampak bergegas menuju pinggir jalan raya. Angin malam terasa dingin, menambah suasana yang semakin tegang. Mereka berdua tanpa berkata apa-apa, hanya mendengar deru kendaraan yang lalu lalang di depan. Sesampainya di pinggir jalan, masuk mobil dan tanpa banyak bicara. Aisyah segera ikut masuk ke dalam. Wajah Aditya tampak kaku seperti biasanya, sang istri hanya bisa duduk diam di sebelah. Sesampai di rumah, seperti biasanya rumah besar terasa sepi. Banyak anggota keluarga Glazer, tetapi banyak konflik sehingga menimbulkan perpecahan keluarga. Bangunan rumah megah terlihat hambar tanpa keharmonisan seluruh keluarga. "Pergilah ke dapur aku lapar! Ingat kamu di sini hanyalah pembantu saja," kata Aditya sambil berlalu masuk kamar. "Baik." Aisyah menundukkan kepala, lalu beranjak ke dapur dengan pelan. Mata mulai berkaca-kaca dia tahan dalam-dalam. Bagian tengah masih terasa sangat perih, tetapi dia tahan. Selesai masak, langsung disajikan di ruang makan. Aditya sudah duduk di ruang makan, "Masak lama amat! Apa ini?" Aditya tidak memakannya langsung dilempar di lantai sehingga berserakan. Hati Aisyah bergetar mendengar barang dilempar. Dia langsung memunguti masakan yang berserakan. "Makan!" serunya sambil mengambil daging di lantai lalu disodorkan sangat kasar di mulut istrinya. Aisyah terpaksa memakan makanan yang kotor tersebut sambil air mata menetes membasahi pipinya. "Makanan ini seperti dirimu yang pantas diinjak-injak. Setelah itu masak lagi yang enak!" Suaranya selalu kasar, entah mengapa Aditya selalu ingin marah pada Aisyah. Seakan-akan semua masalah yang menimpa dirinya, di awal pernikahan mereka berdua. "Nangis, nangis, jangan pura-pura. Aku tidak bodoh seperti pria yang pernah kamu tipu," kata Aditya kasar. 'Kapan aku pernah menipu pria? Kenapa dia selalu menuduhku wanita nakal?' batin Aisyah bertanya-tanya. Dia tidak banyak berfikir untuk menerka-nerka pikiran sang suami. Dengan penuh genangan air mata membasahi pipi. Tangannya masih membersihkan masakan tersebut di lantai. "Aditya, ngapain marah-marah. Istrimu buat aku saja!" kata pria yang baru datang–Delon. Aditya tidak banyak bicara kepada seluruh keluarganya. Dia juga tidak terlalu dekat dengan kedua orang tuannya sendiri. Di samping itu, kedua orang tua Aditya sering ke luar negeri. Aisyah sudah masuk di ruang dapur untuk memasak lagi. Aditya langsung masuk di ruang dapur tanpa menjawab ocehan Delon yang tidak penting baginya. "Tidak usah masak lagi!" larang Aditya sambil menarik tangan istrinya. "Hey, Adit. Istrimu kesakitan pelan-pelan dong!" kata Delon. Aditya tidak menghiraukan pria itu. Sesampai di kamar, tubuh Aisyah didorong keras. "Jangan sekali-kali bicara dengan Delon!" larang Aditya dengan nada tinggi. Aisyah hanya menganggukkan kepala saja. "Tidak bisakah kamu bicara! Hah!" bentaknya. "I–ya, Tuan," balas Aisyah terbata. 'Apakah dia ingin seperti malam pertama kemaren lagi?' batin Aisyah menduga-duga. Aisyah tidak tahu harus menghadapi suaminya, bagian tengahnya masih terasa sangat sakit. Perasaannya bercampur aduk ketakutan dan kecemasan menjadi satu.Waktu terus berjalan, Aisyah ingin pergi dari rumah tersebut, tetapi dia berfikir membutuhkan biaya banyak. Dia tahan untuk mengumpulkan dana untuk pergi dari rumah tersebut. Suami hanya memberi uang harian tidak seberapa. Aisyah sangat berhemat, dia tidak pernah membeli yang tidak diperlukan. Aditya masih kejam dan dingin, jika ingat video panas sang kekasih dengan selingkuhannya. Pikiran pria itu sangat buruk bila menyangkut penghianatan orang dia cintai dan dia percaya. Emosinya tidak bisa dikendalikan yang mengakibatkan kekejaman pada istrinya. Selama setahun kehidupan Aisyah di keluarga Glazer. Semua perkataan dan penjelasannya, yang selalu diabaikan suaminya. Pada suatu hari, Shintya sudah pulang dari Amerika. Saat itu Aditya mendapat telpon dari asistennya. ('Tuan, Nona Shintya sudah ada di depan rumah. Bagaimana? Dia ingin masuk,' kata asisten pribadi yang selalu mengikuti instruksi Aditya. Sekarang dia berjaga di depan rumah. 'Apa? Chintya!' Aditya seketika ingat penghi
Setelah pertemuan Aditya dengan wanita yang dicintainya. Malam yang biasa sangat kejam, dia hanya diam saja. Aisyah mencoba untuk berani bertanya, "Apa yang Anda pikirkan?" "Ada apa maksud kamu. Hah ...!" "A–ku hanya bertanya, Tuan," balas Aisyah ketakutan. "Apa yang kamu inginkan? Tiba-tiba muncul di ruang tamu saat Chintya datang." Seketika hati Aisyah berdegup kencang mendengar suara keras suaminya. Seakan masuk dalam hati yang paling dalam. Dia belum berkata apa-apa, Aditya langsung menarik pakaiannya. "Maaf, maaf, aku tidak bicara lagi." Aisyah ketakutan melihat suaminya semakin marah, dia mengeluarkan sesuatu. Selama ini dia lakukan sudah keterlaluan, malam ini membuat Aisyah seumur hidup tidak bisa memaafkan pria itu. Perlakuan seperti di saat malam pertama, terulang kembali. Terasa lebih dari apa yang selama ini yang dia rasakan. Tubuhnya dibuat seperti boneka, setelah Aditya puas membuat air mata menetes membanjiri pipi sang istri. Perlakuan suami yang begitu bu
Suasana di dalam ruangan terasa serius tetapi produktif. Telepon di meja berdering, Aisyah segera mengangkatnya. Ternyata dari sang asisten pribadi Pak Joseph memberi instruksi cara pengembangan proyek yang ditangani Aisyah. Aisyah mendengarkan dengan seksama sambil mencatat poin-poin penting. Seakan-akan dia tidak menghiraukan pria di depannya. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak seperti dulu lagi. Aditya diam-diam mencuri pandang melihat istrinya, dia sangat cantik. Aisyah berwajah oval dan kulit cerah. Matanya besar dan berkilau, seolah-olah selalu menunjukkan kebaikan dan kehangatan. Senyumannya indah saat berbicara di telepon. Saat bersama Aditya, Aisyah jarang bicara apalagi tersenyum, hanya isak tangis. Ditambah lesung pipi muncul di kedua sisi pipinya. Busananya sederhana, tetapi elegan membuat beda dengan wanita yang pernah ditemui Aditya. 'Kenapa dulu tidak pernah melihat sisi baiknya dari wajah, memang aku terlalu bodoh menilai wanita,' batin Aditya menyesal. Ber
Tangan Aisyah kesakitan disebabkan cengkraman Aditya, tetapi dia tahan. Seketika Aditya sadar bahwa dia menyakiti istrinya. Lengannya terlihat membiru, "Maaf!" Baru kali ini Aisyah mendengar suaminya minta maaf. Dia terheran-heran, tetapi tidak ingin terpesona dengan kepura-puraan Aditya. Aisyah mengira kejamnya pria tidak akan bisa berubah. "Shintya, jika kamu tidak ingin pergi. Apa perlu aku panggil satpam," kata Aditya, dia tahu istrinya ketakutan karena suara kerasnya. Wanita licik itu tanpa berkata-kata langsung keluar dari ruangan. "Aku tidak akan membiarkan kamu kembali kepada Aditya," bisik Shintya saat berjalan di sebelah Aisyah. Aditya membawa kotak kesehatan, dia ingin mengobati lengan Aisyah. "Tidak apa-apa, luka ini tidak seberapa dibandingkan satu tahun yang lalu." Aisyah kembali duduk di kursi, sementara Aditya mengembalikan kotak obat di tempatnya. "Bisakah kamu tidak mengingat masa lalu. Aku ingin hari ini adalah awal pertemuan kita, perkenalkan namaku
Aisyah mengingat masa lalu muncul kembali. Ketika dia menyadari betapa buruknya perlakuan suaminya terhadap dia. Saat itu, ingatan-ingatan pahit kembali membayangi pikirannya, menggambarkan momen-momen di mana dia bertindak tanpa berpikir panjang, menyakiti Aisyah baik secara verbal maupun emosional. Masa lalu yang kelam itu seakan menempel di benaknya. Aisyah merasa terjebak dalam bayangan masa lalu yang menghantui setiap langkahnya, menimbulkan rasa benci kepada sang suami yang sangat dalam.Setelah malam pertama yang buruk itu, Aisyah masih ingat diperlakukan di belakang pintu kamar dengan ganas. "Tuan, lepaskan aku," mohon Aisyah penuh dengan air mata. Aditya tanpa menghiraukan rintihan istrinya."Bukannya kamu menikmati permainan panas seperti ini. Apa mungkin kurang hot," kata Aditya memasukkan miliknya berkali-kali sambil tubuh Aisyah di tekan di dinding.Hasrat liar Aditya tidak bisa berhenti, entahlah ketika dia memperlakukan istrinya seperti itu dia mulai kecanduan. Apalagi
Aditya langsung ikut masuk ke kamar tersebut. Di sudut ruangan, terdapat meja kaca berisi minuman premium yang tersaji rapi, menambah kesan glamor. Tidak ada suara hiruk-pikuk dari luar, hanya ada suara pria menggoda.Terlihat pria paruh baya tersebut ingin menyentuh Aisyah. Namun, Aisyah sedikit sadar menendang bagian tengahnya. "Auh," rancau pria mesum itu."Pak Yan, Anda mau apa?" tanya Aditya tiba-tiba masuk."Pak Aditya!" Pria itu terkejut melihat rekan bisnisnya tiba-tiba muncul. Satu pukulan meluncur di wajah pria paruh baya."Sorry, ambil saja wanita ini." Pak Yan langsung keluar dari ruangan tersebut. Aditya memang terkenal kejam di kalangan pembisnis.Terlihat istrinya tergeletak, Aditya langsung memegang tangan Aisyah. Spontan efek dari obat tersebut, Aisyah menjadi nakal. Dia seperti wanita yang berhasrat tinggi. Tanpa kata dia langsung melumat bibir Aditya. "Astaga, Aisyah sadar," ucap Aditya sambil menolak keinginan istrinya."Aku sangat panas sekali," kata Aisyah sam
Hati Aditya sangat berbunga-bunga mendengar istrinya mau kembali ke rumahnya. Dia menyangka sang istri memaafkan dirinya. Dibalik istrinya mau kembali ke rumah tersebut ada banyak rencana awal balas dendam. "Hem, bagaimana hubungan kamu dengan Shintya?" tanya Aisyah."Aku tidak ada hubungan lagi dengan dia, kamu tidak perlu khawatir tentang dia. Ya, meskipun Mama menjodohkanku dengannya. Aku harap kamu percaya penuh denganku," jelas Aditya memastikan istrinya.Aisyah tidak begitu percaya padanya, tetapi demi ingin balas dendam. "Oke, Pak Aditya. Besok kita melihat proyek yang kita tangani. Sekalian kita pulang ke rumah.""Sebelum itu, maukah ikut aku?" "Hem, tentu saja." Mereka berdua keluar dari ruangan tersebut. Aisyah dengan langkah berat, hening mengiringi keduanya, tidak ada satu pun kata terucap. Suara derap kaki di lantai bergema samar, seolah menekankan kekosongan suasana hati mereka. Setibanya di parkiran, hanya suara pintu mobil yang terbuka dan tertutup yang terdengar.
Delon tidak melawan pukulan Aditya, dia ingin membuktikan kalau dia pria baik. Dibalik semua itu, ada rencana terselubung di dalam pikirannya.Sedangkan Aisyah tidak menghiraukan mereka berdua, dia masuk ke kamar. Dia mengontrol perasaan takut yang muncul dalam dirinya. Di luar kamar, Aditya sudah puas memukul adik angkat yang selalu berencana buruk. "Awas jika kamu menyentuh istriku!" kata Aditya geram. 'Hem, istrimu adalah poin pertama untuk menghancurkanmu, Aditya,' batin Delon sambil menghapus darah di bibirnya. Aditya langsung masuk kamar. Terlihat istrinya termenung duduk di ranjang."Aisyah, maafkan aku!" Aditya mendekati sang istri. "Apakah harus dengan kekasaran setiap kamu bertindak." Aisyah pindah di sofa sebelah kanan."Aku akui, aku memang kasar dan gampang marah. Itu memang sifatku," kata Aditya tanpa mendekati istrinya. Dia sadar kalau Aisyah belum memaafkan dirinya dengan penuh."Aisyah, aku tidak suka dengan Delon," kata Aditya lagi."Hem." Aisyah mengambil buka
Beberapa jam kemudian, suasana duka menyelimuti pemakaman keluarga besar Glazer. Langit mendung seolah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan semua orang. Jasad Kakek Glazer telah dibawa ke makam keluarga, tempat peristirahatan terakhir bagi generasi pendahulu keluarga Glazer.Aditya berdiri di barisan depan bersama Aisyah di sampingnya, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya terlihat pucat dan letih, matanya sembap karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Namun, dia berusaha tetap tegar demi menghormati mendiang Kakek.Di sekitar mereka, anggota keluarga besar Glazer lainnya berkumpul, termasuk Elsa dan Fransisco. Namun, tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya tatapan dingin yang menambah suasana tegang di tengah prosesi duka.Seorang berdiri di depan makam, membacakan doa perpisahan dengan suara tenang namun penuh makna. Keluarga Glazer tidak beragama, mereka mengikuti umumnya di daerah setempat.Setelah doa selesai, para pelayat dipersilakan untuk member
Saat Aditya memasuki ruang tunggu, matanya langsung tertuju pada sosok Aisyah yang sudah berada di sana. Wanita itu, duduk di sudut ruangan dengan wajah cemas, menunduk memandangi tangannya yang menggenggam erat tas kecilnya. Aditya menghentikan langkahnya sejenak, perasaan penuh ketidakberdayaan menyelimuti dirinya.Aisyah menyadari kehadirannya dan langsung berdiri. Dia berjalan mendekat dengan raut wajah khawatir, menyadari betapa terguncangnya sang suami.Aisyah suara lembut, penuh perhatian, meskipun dirinya berpura-pura. Rasa kemanusiaannya masih ada. Dia sadar bahwa Kakek Glazer adalah yang selalu baik padanya. "Mas... kamu baik-baik saja? Aku dengar kabar tentang Kakek dari Pak Rudy, jadi aku langsung ke sini."Aditya tidak langsung menjawab. Matanya menatap dalam ke arah Aisyah, seolah mencari kekuatan di dalam dirinya. Namun, di balik itu, ada ketidakberdayaan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aditya dengan suara lemah, hampir berbisik, "Aku... aku tidak tahu lagi ha
Aditya mondar-mandir di ruang CEO dengan langkah gelisah. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk, mencoba menghubungkan berbagai kemungkinan. Dia merasa dikhianati, tapi oleh siapa? Amelia Earhart tak mungkin bisa mengambil alih semuanya tanpa bantuan orang dalam. Tapi siapa? Itulah pikiran Aditya berputar-putar yang tidak tahu ujungnya.Aditya berbicara pada dirinya sendiri, wajahnya tegang, "Shintya... Dia memang licik. Tapi apa dia punya akses ke dokumen rahasia? Atau... jangan-jangan ada orang lain? Seseorang yang dekat denganku?"Aditya mengingat beberapa kejadian terakhir. Dia mulai merasakan ada kejanggalan. Shintya memang sering bersikap manipulatif, tapi dia bukan tipe yang bekerja dalam diam. Jika memang Shintya, kemungkinan besar dia akan meninggalkan jejak yang jelas. Namun, ada juga kemungkinan orang lain yang lebih cerdik, seseorang yang tidak pernah dia curigai.Aditya memikirkan Adre, asistennya yang tiba-tiba menghilang di saat krisis ini. Apakah Adre terlibat
Mereka berdua mulai bermain, Aditya dengan lihai bermainan panas di atas ranjang. Permainan panas membuat keduanya menikmati bersama sampai puas. Keesokan paginya, setelah malam yang berat, Aditya terbangun dan melihat Aisyah duduk di dekat jendela kamar, tampak tenang dan teduh dalam keheningan pagi. Dia tersenyum melihat Aisyah yang begitu penuh kasih dan perhatian. Aditya merasa bersyukur memiliki istri yang selalu mendampinginya. Aditya tersenyum hangat, mendekati sang istri lalu berbisik, "Selamat pagi, Sayang. Maaf ya, aku membuatmu khawatir semalam."Aisyah pura-pura membalas tersenyum lembut, "Selamat pagi juga, Mas. Tidak apa-apa, aku hanya senang kamu sudah lebih baik. Lagian, kamu sungguh hebat tadi malam, main kuda-kudaan."Aditya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Supaya kamu nggak terlalu tegang, bagaimana kalau kita isi hari ini dengan bersantai dan bermain sesuatu yang seru?"Aisyah tertawa tipis merasa senang dengan ide itu, dia bertanya, "Bermain apa, Mas
Beberapa jam kemudian, dokter datang untuk memeriksa kondisi Aisyah sekali lagi. Setelah memastikan semuanya stabil, dokter memberi izin kepada Aisyah untuk pulang ke rumah.Dokter tersenyum hangat lalu berkata, "Nyonya, kondisi Anda sudah membaik. Anda bisa pulang sekarang, tapi ingat untuk tetap beristirahat dan tidak terlalu banyak pikiran, ya."Aisyah tersenyum tipis, masih terlihat lemah tetapi sudah lega mendengar penjelasan dari dokter. "Terima kasih, Dok," balas Aisyah.Aditya menatap dokter dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Dokter, atas bantuannya. Kami akan pastikan istriku mendapat istirahat yang cukup di rumah."Setelah semua administrasi selesai, Aditya membantu Aisyah berdiri dengan hati-hati, memegangi bahunya dengan lembut saat mereka berjalan keluar rumah sakit.Sesampainya di mobil, Aditya menyiapkan kursi dan memastikan Aisyah nyaman.Aditya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Aisyah berkata, "Kamu sudah siap pulang? Kita bisa berhenti kapan saja kalau ka
Sesampainya di rumah sakit, Aisyah langsung mendapatkan perhatian dan penanganan cepat dari dokter. Dokter segera melakukan pemeriksaan awal untuk menilai kondisinya dan memastikan dia mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Tim medis juga sigap menyiapkan peralatan serta obat-obatan yang mungkin diperlukan agar pasien. Aditya dengan wajah cemas bertanya, "Dok, bagaimana kondisi Aisyah sekarang? Kenapa dia belum sadar?"Dokter menenangkan Aditya, "Tenang, Pak Aditya. Setelah kami periksa, Istri Anda hanya mengalami kelelahan dan stres berlebih. Dia hanya perlu istirahat yang cukup."Aditya sedikit lega sambil mengelus dada, "Syukurlah, saya kira kondisinya parah. Terima kasih, Dok."Beberapa waktu kemudian, Aisyah akhirnya sadar.Aditya menghela napas lega, mendekati sang istri sambil berkata, "Aisyah... kamu sudah sadar. Kamu tahu betapa khawatirnya aku?"Aisyah hanya diam dan terlihat bingung.Aditya membelai rambut Aisyah yang tanpa mengenakan jilbab, "Sayang, kamu baik-baik saja?
Aditya terbangun di pagi hari dengan sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar mereka. Udara pagi terasa segar, disertai embun yang masih menempel di daun-daun di taman kecil depan rumah.Aditya menggeliat pelan, membuka matanya sambil tersenyum melihat Aisyah yang masih tertidur di sampingnya. Perlahan, dia bangkit dan menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk mereka berdua.Tak lama kemudian, aroma teh yang harum tercium ke seluruh ruangan, membangunkan Aisyah yang akhirnya membuka matanya. Dia mengalami perubahan kepribadian yang signifikan setelah bermimpi tentang Aditya yang kembali bertindak kejam. Mimpi itu terasa begitu nyata hingga membuatnya sangat terkejut dan terguncang. Setelah bangun, perasaan takut dan cemas menghantui Aisyah. Awalnya, dia adalah sosok yang penuh kelembutan dan optimisme, tetapi mimpi tersebut seolah membuka luka lama, mengingatkan kembali trauma yang pernah dia rasakan. Sejak saat itu, dia menjadi lebih waspada, curiga, dan lebih ser
"Pake tanya lagi, tangan kamu membuatku kepanasan," balas Aisyah.Di tengah hiruk-pikuk jalan raya yang masih ramai, Aisyah yang duduk di dalam mobil tersenyum. "Ayo kita bermain di sini," ajak Aisyah, entah perasaannya sudah tidak bisa ditahan lagi dia juga ketagihan permainan suaminya. "Ah, tahan dulu. Aku akan cari tempat untuk bersenang-senang." Aditya segera mencari tempat yang lebih sepi untuk menikmati kebersamaan tanpa mengganggu arus lalu lintas. Aditya perlahan mengemudikan mobil mereka keluar dari keramaian, menuju tempat yang tenang. Di sana, Aditya tertawa lepas, menikmati kebersamaan yang nikmat, membuat momen yang tak terlupakan di bawah langit senja di dalam mobil. "Pindah kebelakang, di sini sempit!" kata Aditya. "Bukannya enak yang sempit." "Ist ... istriku sekarang mulai nakal dan berani." "Itu ajaran dari kamu." "Benarkah?" "Hem." Aisyah mulai ganas bermain di dalam mobil goyang, ganti di belakang sampai puas. Sama-sama puas mereka bersenderan di kursi. K
Aditya tertawa renyah meninggalkan Delon di kantor polisi.Di perjalanan mereka meluncur ke sebuah restoran untuk menikmati makan malam bersama. Suasana di restoran tersebut hangat, dengan lampu temaram yang memberi kesan romantis dan santai.Saat mereka asyik memilih menu dan bercanda kecil, "Sayang, ada siapa itu?" Saat Aisyah menoleh ke arah yang ditunjuk Aditya, jari telunjuknya diletakkan tepat di pipi Aisyah agar saat menoleh lagi mengenai jari telunjuknya."Ha ha, kena pipi sayangku yang mulus." "Hem." Aisyah sedikit tertawa, sehingga lengsung pipinya terlihat."Kamu jarang tersenyum," kata Aditya, padahal dulu dia juga tidak pernah tersenyum.Tiba-tiba pandangan Aditya terpaku pada sosok wanita yang baru saja masuk ke restoran. Aditya tidak menghiraukan mantan kekasihnya itu. Shintya yang tidak sengaja menoleh ke arah mereka tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum sopan. Sementara itu, Aisyah yang menyadari perubahan ekspresi suaminya ikut menoleh, lalu menatap Aditya den