Share

Bab 3 Sakit yang ditahan

Aditya melempar tubuh istrinya di ranjang. Dia tidak ingin tertipu oleh wanita.

"Kamu jangan pura-pura sakit. Apa yang kamu inginkan dariku?" Emosinya semakin tidak stabil, apalagi jika melihat sang istri. Kemarahannya tidak bisa ditahan lagi.

Wajah Aisyah tampak begitu pucat, dengan rona yang hilang dari pipinya seolah segala energi telah terserap habis. Matanya terlihat lembab, berkaca-kaca, memancarkan lelah dan ketidaknyamanan yang mendalam, tanda bahwa tubuhnya tengah berjuang melawan sakit yang dia rasakan. Napasnya sesekali terdengar berat, menambah kesan betapa tubuhnya sedang lemah dan membutuhkan istirahat. Rasa sakit begitu dahsyatnya masih sangat terasa yang dirasakan Aisyah. Aditya tidak pernah percaya kalau istrinya memang benar-benar sakit.

"Tuan, aku sakit," ucap Aisyah lirih sembari meringkuk.

"Baiklah, jika memang kamu sakit. Pergilah ke rumah sakit!" Aisyah sedikit senang mendengar Aditya menyuruh untuk pergi ke rumah sakit.

"Pergi sendiri sana!" ucap Aditya lagi tanpa melihat istrinya. Rasa kecewa membuat Aisyah pupus harapan.

"Aku tidak punya uang dan aku belum paham di kota ini," balas Asyah lirih.

"Alasan, aku sudah menduga. Kamu memang wanita licik, sudah berapa banyak pria yang kamu tipu?" tanya Aditya dengan ketus.

"Apa maksud Tuan, berapa banyak pria?" tanya Aisyah tidak paham yang dikatakan suaminya.

"Sudahlah, jangan pura-pura. Aku antar kamu ke rumah sakit, tapi jangan harap aku baik padamu. Penipu tidak akan mengaku," kata Aditya masih ada kebaikan dalam dirinya.

Aditya berjalan cepat di depannya tanpa tahu keadaan sang istri. Rasa ngilu dibagian tengah yang dirasakan Aisyah dia mencoba kuat untuk berjalan. Baginya cukup malam pertama saja rasa trauma masih menyelimuti. Dia berjalan mengangkang dengan pelan, menuruni anak tangga sedikit demi sedikit. Terlihat sang suami sudah berada di dalam mobil.

"Jangan lelet, pura-pura sakit segala!" seru Aditya dengan ketus.

Aisyah duduk di sebelahnya, di perjalanan menuju rumah sakit, tanpa ada kata apa-apa. Ya, meskipun dia kejam Aisyah sedikit senang ternyata dia tidak seburuk yang dia pikirkan.

Ketika terbuai memandang ketampanan suami, mata terasa sangat kantuk yang dirasakan Aisyah. Akibat semalam kurang tidur, sehingga kepalanya bersandar di bahu sang suami.

Spontan terperanjat kaget terdengar kalimat kasar terlontar begitu saja dari mulut suami, "Menyingkirlah! Apa kamu tidak tahu aku lelah."

"Maaf." Aisyah langsung menundukkan kepala, sementara Aditya menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.

Sesampai di rumah sakit, Aditya tidak turun dari mobil.

"Pergilah sendiri!" suruhnya tanpa melihat ke arah Aisyah yang kesulitan untuk berjalan.

"Tapi aku tidak paham rumah sakit sini," tolak Aisyah dengan lirih.

'He, pintar sekali wanita licik ini. Ingin mencari perhatianku,' gumam Aditya dalam hati.

"Jangan pura-pura polos. Mulut kamu itu buat apa? Tanya bodoh!" Perkataan Aditya sungguh kasar menusuk dalam hati, tidak terasa air mata sang istri menetes membasahi pipinya.

Aisyah belum sempat membalas perkataannya, Aditya berkata lagi, "Nangis mulu, jangan pura-pura lugu. Aku tidak mempan dengan aktingmu."

Aisyah segera mengusap air matanya, lalu berjalan dengan mengangkang pelan menuju bangunan besar tersebut. Ada beberapa orang yang berkata, "Kasian wanita itu berjalan mengangkang sendirian." Dia hanya bisa menahan air mata agar tidak jatuh. Diabaikan mereka lalu bertanya di beberapa petugas rumah sakit.

Beberapa menit kemudian sampai di ruang dokter. Selesai diperiksa, Aisyah dimarahin sebab pergi sendirian, suaminya mana? Suaminya tidak boleh melakukan seperti itu lagi, bagian tengah hingga robek. Bagian tertentu untuk istirahat terlebih dahulu, jelas dokter, beberapa penjelasan yang dokter lontarkan kepadanya. Dia hanya mengangguk saja.

Aisyah keluar dari rumah sakit, sampai di depan, ternyata tidak ada mobil Aditya. Dia menunggu hingga berjam-jam lamanya, terdengar suara adzan Ashar. Dia memutuskan untuk shalat di masjid dekat rumah sakit tersebut.

Setelah selesai shalat, Aisyah pergi tanpa membawa apa-apa. Saat di rumah sakit hanya uang pas yang dikasih Aditya. Dia ingin pulang sendiri tidak tahu alamat rumah yang dia singgahi.

Sampai malam tiba, Aditya belum datang juga. Aisyah meringkuk di pojok serambi masjid. Ada beberapa orang bertanya, dia hanya diam saja. Akhirnya dia tertidur di serambi masjid tersebut.

"Hey, bangun!" suara Aditya menggema di alam mimpi. Aisyah mencoba membuka mata.

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa diucapkan Aisyah.

"Mau pulang tidak?!" suara Aditya gemlegar terdengar sangat kasar sambil berlalu meninggalkan istrinya.

Aisyah segera membuntuti di belakang suami yang tampak bergegas menuju pinggir jalan raya. Angin malam terasa dingin, menambah suasana yang semakin tegang. Mereka berdua tanpa berkata apa-apa, hanya mendengar deru kendaraan yang lalu lalang di depan. Sesampainya di pinggir jalan, masuk mobil dan tanpa banyak bicara. Aisyah segera ikut masuk ke dalam. Wajah Aditya tampak kaku seperti biasanya, sang istri hanya bisa duduk diam di sebelah.

Sesampai di rumah, seperti biasanya rumah besar terasa sepi. Banyak anggota keluarga Glazer, tetapi banyak konflik sehingga menimbulkan perpecahan keluarga. Bangunan rumah megah terlihat hambar tanpa keharmonisan seluruh keluarga.

"Pergilah ke dapur aku lapar! Ingat kamu di sini hanyalah pembantu saja," kata Aditya sambil berlalu masuk kamar.

"Baik."

Aisyah menundukkan kepala, lalu beranjak ke dapur dengan pelan. Mata mulai berkaca-kaca dia tahan dalam-dalam. Bagian tengah masih terasa sangat perih, tetapi dia tahan. Selesai masak, langsung disajikan di ruang makan.

Aditya sudah duduk di ruang makan, "Masak lama amat! Apa ini?" Aditya tidak memakannya langsung dilempar di lantai sehingga berserakan.

Hati Aisyah bergetar mendengar barang dilempar. Dia langsung memunguti masakan yang berserakan.

"Makan!" serunya sambil mengambil daging di lantai lalu disodorkan sangat kasar di mulut istrinya. Aisyah terpaksa memakan makanan yang kotor tersebut sambil air mata menetes membasahi pipinya.

"Makanan ini seperti dirimu yang pantas diinjak-injak. Setelah itu masak lagi yang enak!" Suaranya selalu kasar, entah mengapa Aditya selalu ingin marah pada Aisyah. Seakan-akan semua masalah yang menimpa dirinya, di awal pernikahan mereka berdua.

"Nangis, nangis, jangan pura-pura. Aku tidak bodoh seperti pria yang pernah kamu tipu," kata Aditya kasar.

'Kapan aku pernah menipu pria? Kenapa dia selalu menuduhku wanita nakal?' batin Aisyah bertanya-tanya. Dia tidak banyak berfikir untuk menerka-nerka pikiran sang suami. Dengan penuh genangan air mata membasahi pipi. Tangannya masih membersihkan masakan tersebut di lantai.

"Aditya, ngapain marah-marah. Istrimu buat aku saja!" kata pria yang baru datang–Delon.

Aditya tidak banyak bicara kepada seluruh keluarganya. Dia juga tidak terlalu dekat dengan kedua orang tuannya sendiri. Di samping itu, kedua orang tua Aditya sering ke luar negeri.

Aisyah sudah masuk di ruang dapur untuk memasak lagi. Aditya langsung masuk di ruang dapur tanpa menjawab ocehan Delon yang tidak penting baginya.

"Tidak usah masak lagi!" larang Aditya sambil menarik tangan istrinya.

"Hey, Adit. Istrimu kesakitan pelan-pelan dong!" kata Delon. Aditya tidak menghiraukan pria itu.

Sesampai di kamar, tubuh Aisyah didorong keras.

"Jangan sekali-kali bicara dengan Delon!" larang Aditya dengan nada tinggi.

Aisyah hanya menganggukkan kepala saja.

"Tidak bisakah kamu bicara! Hah!" bentaknya.

"I–ya, Tuan," balas Aisyah terbata.

'Apakah dia ingin seperti malam pertama kemaren lagi?' batin Aisyah menduga-duga.

Aisyah tidak tahu harus menghadapi suaminya, bagian tengahnya masih terasa sangat sakit. Perasaannya bercampur aduk ketakutan dan kecemasan menjadi satu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status