Seorang wanita berusia di awal 30 –an sedang berjalan menyusuri jembatan desa yang dibawahnya mengalir sungai yang jernih. Kulitnya yang kuning langsat ditambah tinggi badan 170cm, pipinya tidak terlalu tirus, matanya besar, dan alisnya agak tebal. Dia tampak mengenang sebuah penyesalan. Tangan kanannya menyusuri pembatas jembatan. Suara air menjadi melodi indah yang mengiringi keindahan mantan Sang Kembang Desa.
“Dulu dia kabur dari desa karena gak mau nikah lho Bu.” Para tetangga memulai cerita tentang dirinya.
“Untungnya dia dinikahin artis ibukota ya Bu.”
“Iya sih, kalau dulu ya gajinya milyaran tapi percuma gak punya pasangan.”
“Ya Allah Ibu, itu masa lalu lho, udah ah masih pagi udah nambah dosa!” Bu Sasih selalu mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.
Wanita itu tanpa sadar meneteskan air mata. Dia pun segera pergi ke bukit yang jarang terjamah orang. Dengan mengayuh sepedanya dia meluapkan segala perasaannya.
Di bukit yang menjauhkannya dari gunjingan. Mantan kembang desa itu mengenang hal yang seharusnya dia lupakan hingga ke akarnya.
# # #
“Dwi, udahan dong latihannya, buset dah nih tenaga abis sebelum tanding!” keluh Arina sambil terus mengayunkan raket bulu tangkisnya.
“Justru dengan latihan kita bisa lebih unggul dari lawan–lawan kita!” Dwi dengan tegas men – smash Arina dengan keras.
“Parah!!!” teriak Tia, rekan sesama atlet bulu tangkis lain yang memperhatikan dari pinggir lapangan terkejut dengan suara smash yang keras dari tangan Dwi Astriani Aprilliani.
Gadis yang bernama Arina itu melempar pandangannya ke lapangan sebelah. Ada lelaki bertubuh tinggi atletis, mata besar dan alis tebal. Dia lebih terlihat seperti orang Indonesia dibanding China. Dari baju olahraganya tertulis asal negaranya yaitu China. Arina pergi meninggalkan Dwi dan menghampiri lelaki yang sepadan dengan kecantikannya.
“Fengying Ge!!” Arina memanggil lelaki itu dengan ceria.
Lelaki bernama Fengying itu datang menghampiri Arina. Mereka saling melempar senyum dan semangat walau berbeda negara yang dibela.
“Eh dia partnermu?” tanya Fengying.
“Iya namanya Dwi.”
“Dwi, ini Fengying sepupuku, kita satu buyut tapi beda nenek kakek hehe.” Arina mencoba mengenalkan lelaki itu pada rekannya.
“Oh iya salam kenal.” Dwi menyambutnya dengan dingin.
“Oh iya, Arina, Dwi, aku ingin mengenalkan partnerku juga, namanya Yuxuan.” Fengying memperkenalkan seorang lelaki yang bermata sipit, rambutnya tipis, dan ada tahi lalat kecil di pipi kanannya. Dia tak kalah tampan dengan yang mengenalkannya.
“Hai!” sapanya dengan sedikit ceria.
Dwi yang melihat itu langsung membawa tas raketnya dan meninggalkan stadion.
“Hei, aku baru tahu, kamu main di ganda putra,” ujar Arina sambil menyenggol tangan sepupunya.
“Sudah lama Rin.”
“Okelah haha, eh kayaknya partner kamu cocok deh buat jadi pacar partner aku!” Arina memperhatikan Yuxuan yang sedang memasukkan raket–raketnya ke dalam tas.
“Iya sih, tapi mungkin partner kamu gak bisa Bahasa Mandarin ya?” Fengying berpikir jika mereka menjalin hubungan akan tersendat di bahasa.
“Memangnya Yuxuan tidak bisa Bahasa Inggris?”
“Mungkin bisa kalau dilihat dari ayahnya yang seorang CEO perusahaan manufaktur di China.”Arina yang mendengar itu jengkel. “Kamu gak kenal sama partner kamu sendiri?”
“Kenal lha.”
“Hah... kamu cuman tahu kemampuan dia di bulutangkis doang! Gak asyik!” Arina segera menyusul Dwi meninggalkan stadion.
Dibalik itu, ternyata Dwi masih berlatih di lapangan paling ujung stadion. Dia hanya meninggalkan Arina yang hobi mengobrol. Dwi pun bersimbah keringat. Namun dia lupa membawa handuk tambahan. Tiga handuk yang ia bawa basah kuyup dengan keringat. Dwi mencoba membuang keringatnya dengan tangan. Tak disangka ada lelaki yang meletakkan handuk di kepalanya. Dwi menarik handuk itu dan melihat wajah pemiliknya.
“Yuxuan? Nanti aku mengembalikannya bagaimana?”
“Tidak usah dikembalikan!” dia menjawab dengan Bahasa Inggris.
Dwi bingung harus bagaimana dengan handuk orang lain yang berada di tangannya. Karena dia butuh, dia pun memakainya.
# # #
Di kamar hotel yang berisi untuk dua orang, Arina keheranan dengan Dwi yang mencuci handuk. Padahal sponsor selalu memberikan handuk baru setiap harinya.
“Handuk siapa itu?” tanya Arina curiga.
“Handuk orang jatuh di jalan!” jawab Dwi, dia pun berjalan ke balkon untuk menjemur handuk itu. Setelah menjemur handuk, Dwi melempar pandangannya ke kanan. Dia melihat Fengying ternyata di kamar sebelah. Arina yang berada di kamar tambah penasaran karena melihat rekannya terpaku.
“Ngapain sih sore – sore bengong, bentar lagi magrib ntar kesambet lho!” Arina yang mengikuti arah pandang Dwi bertemu dengan Fengying. Arina pun kaget, ternyata kamar mereka bersebelahan.
Tak disangka Yuxuan sekamar dengan Fengying. Dia keheranan melihat handuknya dicuci oleh Dwi. Padahal sponsor besok akan memberikan lagi handuk yang baru.
“Dwi, handuknya...” lirih Yuxuan.
“Besok kukembalikan!” teriak Dwi sambil berjalan cepat ke kamarnya.
Yuxuan penasaran dengan yang terjadi pada Dwi. Dia pun berjalan ke arah balkon kamarnya Dwi. Ntah apa yang dia inginkan. Matanya terlihat mencari sesosok perempuan yang mencuci handuknya.
“Haha, Dwi emang pemalu kok kalau ketemu orang baru, oh ya sampai bertemu besok di stadion ya.”Arina segera menyusul Dwi.
Di hotel yang cukup mewah di Birmingham yang dekat dengan stadion tempat diselenggarakannya turnamen bulu tangkis bergengsi All England. Dwi merasakan jantungnya ingin keluar dari raga. Tangannya gemetar, dia pun cepat–cepat bersembunyi ke balik selimut sebelum teman sekamarnya menyadari sesuatu.
“Dwi, kenapa sih?”
“Aku kedinginan Rin!”
“Hmm, masa? Kayaknya loe suka deh sama cowok itu,” Arina memulai lawakannya.
“Wah, gak gitu lha, parah!” Dwi melemparkan bantalnya kepada Arina.
“Santai dong, ya udah istirahat sono! Besok semifinal kita harus masuk final dan juara ganda putri dari Indonesia untuk pertama kalinya!” jelas Arina sambil memakai cream tidur ke kulit wajahnya.
Dwi menatap wanita berambut agak kemerahan, bermata sipit, berkulit putih, tubuhnya agak berisi, tingginya tidak jauh beda dengan Dwi, gen Papinya asal Korea lebih mendominasi daripada gen Maminya dari Indonesia.
“Ya udah gue tidur duluan ya... eh lupa dah shalat dulu ya!” Dwi segera pergi ke kamar mandi dan mengambil air wudhu.
“Gue lagi dikasih dispensasi sama Allah!” Arina menaiki tempat tidur, menarik selimutnya, dan menutup matanya.
# # #
Riuh penonton menyelimuti stadion diadakannya pertandingan bulu tangkis. Dwi tidak peduli dengan keributan. Dia asyik membuat soal matematika dan menjawabnya sendiri di tribun penonton. Di sampingnya, dia baru sadar ada lelaki yang menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Rajin banget sih anak guru gue waktu SD!”
Dwi menancapkan pandangannya pada lelaki berwajah tanpa dosa. Setelah itu kembali pada buku tulisnya. Lelaki itu menjadi malas mengobrol, tetapi dia melihat kursi kosong di samping Dwi hingga dia mengambil kesempatan.
“Bisa kagak loe juara All England pertama kalinya?”
“Loe ngeraguin gue?”
“Loe kan cuman pengen ngalahin gue doang, makanya jadi atlet bulu tangkis, sialnya usia lu baru 16 tahun, lu udah juara berkali–kali, juara olimpiade matematika se – Asia lagi, wah loe tuh sempurna banget tahu gak? Orang kampung kita pasti bangga kalau kita nikah!”
“Nikah?” Dwi menghentikan tangannya yang sedang menulis.
“Yaiya Dwi, kan gue orang paling ganteng di kampung Sukaasih , dan loe kembang desa di sana, cocok kan!” suara keras Prawira tidak mengundang tatapan yang lain karena pertandingan sudah dimulai dan para penonton fokus dengan jagoannya masing–masing.
“Heh, Aa kan udah punya pacar, lha masa mau nikah sama aku?!” Dwi membentak lelaki di sampingnya.
“Haha, pacar itu kan cuman buat iseng doang, loe kan gak bisa gue isengin, bisanya gue seriusin,” tatapan Prawira teralihkan dengan pertandingan di depannya.
“Ngaco! Jangan sok kegantengan sama sering juara loe bisa seenaknya ngelamar gue!”
“Eh, cantik... gue kalah lho di pertandingan yang loe masuk semifinal!”
Wanita incaran Prawira meninggalkannya. Prawira sudah lelah untuk mengejarnya. Membiarkan perempuan keras kepala itu pergi ke mana pun dia mau.
Wanita beralis tebal itu membawa–bawa handuk. Matanya mencari sang pemiliknya. Handuk ini bukan miliknya, bukan haknya, maka wajib dikembalikan.
“Dwi,” panggil seorang laki–laki.
“Alhamdulillah rezeki anak sholeh!”
“Hah?”
“Nggak kok, ini handuk kamu Yuxuan, terima kasih banyak ya.” Dwi menyodorkan handuk berwarna putih.
Yuxuan mendekatkan raganya pada Dwi. Jarak membuat mereka saling merasakan napas masing–masing di tengah riuhnya sambutan penonton kepada jagoannya saat memasuki lapangan.
“Sama–sama Dwi, kamu baik banget, aku...”
“Maksudnya?”
“Semoga kita bertemu di final...”
Di saat pertandingan, jika yang kalah boleh pulang ke negaranya atau mendukung rekan yang masih bertanding. Yuxuan berharap bisa melihat Dwi lebih lama.
# # #
Langit senja sudah menghiasi indahnya pemandangan Pangalengan. Dwi berdiri dan bersiap mengayuh sepedanya ke rumah. Untuk kenangan hari ini cukup awal dari penyesalan, hanya ini, esok kita lanjutkan...
Catatan Penulis
Aa/ A: Panggilan kakak laki - laki dari Suku Sunda
Gege/ Ge : Panggilan kakak laki - laki dari Negara China
“Ridho, mau ke mana?” tanya seorang perempuan dengan kebaya sehari-harinya. “Mau main bola sama Wira!” jawab anak laki–laki berambut tipis. “Pulangnya jangan magrib–magrib ya Dho!” perempuan itu mengkhawatirkan anak sulungnya. Kabut masih menyelimuti pemandangan di Desa Sukaasih. Sari mengelus perutnya yang semakin besar. Ageung sang suami tersenyum melihat istrinya yang tatapannya nanar. Dia selalu mengkhawatirkan anak laki–laki yang baru pamit. “Aku pamit dulu ya Neng,” ucap Ageung sambil mencium kening istrinya. “Assalamu a’laikum,” lanjutnya. “W*’alaikumussalam warrahmatullahi wabarrakatuh,” jawab Sari melihat suaminya harus bekerja lebih giat sebagai tukang bangunan panggilan demi biaya persalinan. # # # “Ridho, ibu kamu hamil lagi ya?” “Ngapain kamu ngomong gitu Prawira?!” Ridho heran dan kesal sambil menendang bola ke gawang. “Ibu kamu kan cantik gitu lho, kalau adik kamu lahi
Musim semi di Inggris. Berlatar di Stadion Nasional Birmingham. Indonesia berharap pada ganda putri ajaib untuk sebuah kebanggaan. Pasangan ganda putri muda Arina Handikusuma Oktaviani dan Dwi Astriani Aprilliani. Mereka baru berusia 17 dan 16 tahun. “Bismillah Dwi,” ucap Arina sambil mengikat rambut merahnya. “Iya bismillah,” Dwi pun membenarkan tali sepatunya. Tak lama kemudian mereka dipanggil masuk lapangan. Disambut meriah oleh orang – orang yang mengibarkan bendera merah putih di tribun penonton. Dwi menangkap A Prawira di tribun penonton. Dia menonton sendirian. Rekan yang lain sudah pulang duluan ke Jakarta. Turnamen ini begitu bergengsi karena termasuk kejuaraan bulu tangkis tertua. Jadi yang juara di sini akan mempunyai privilage yang bagus. Sebelum pertandingan, para atlet diperbolehkan pemanasan dengan saling melempar shuttlecock bersama partnernya bagi sektor ganda. Bagi sektor tunggal, pemanasannya dengan lawannya.
Seorang perempuan berambut hitam tebal dan bergelombang terlihat sedang kesal. Dia adalah anak dari pemilik perkebunan teh terluas di Pangalengan. Tentunya, dia tidak mau ada gadis lain yang menyaingi kepintaran dan kecantikan dirinya. “Heh, Rini, inget ya, pokoknya hari ini kita harus bisa bikin si Dwi codet!” “Eh Siska, kamu bisa kan bersaing secara sehat aja?” gadis yang bernama Rini menimpali. “Iya tuh bener,” lelaki satu–satunya di antara mereka angkat bicara. “Endin ndesooo!!! Kamu suka ya sama Dwi hah?!” Siska kesal dengan teman – temannya yang membela si gadis miskin itu.
Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang. “Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep. Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes. “Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep. &n
Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih. “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi. “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya. “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?” “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas. (Cuek aja dong) Ibu Rinda
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p