Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih.
“Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi.
“Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya.
“Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?”
“Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas.
(Cuek aja dong)
Ibu Rinda yang melihat Dwi berjalan ke kelas, menghentikannya. Dia meminta Dwi untuk belajar mengerjakan soal–soal olimpiade matematika di perpustakaan. Dwi pun pergi ke perpus. Ita hanya bisa mendukung temannya dari jauh.
# # # #
“Masker jangan lupa Dwi, masih Corona!” Ridho memperingatkan Dwi yang baru masuk ke mobilnya.
“Ini udah A,” ujar Dwi.
Mereka pun mulai membelah persawahan, perkebunan, dan perbukitan yang menjadi ciri keadaan geografis Kecamatan Pangalengan. Dwi dan Ridho, kakak beradik itu jarang sekali keluar berdua. Ridho sibuk dengan rancangan bangunan, sementara Dwi sibuk dengan bulu tangkis dan matematikanya. Kali ini Ridho mencoba quality time dengan adiknya.
# # # #
“Ridho, adik kamu mau latihan bulu tangkis sama aku?”
“Yaiyalah orang kamu yang nantangin dia!”
“YES!” Prawira bahagia, dia bisa lebih lama bersama Dwi.
“Bukannya, kamu udah dipanggil ke Pelatnas Bulu Tangkis Jakarta?” tanya Ridho, heran melihat kelakuan sahabatnya yang sudah gila karena cinta.
“Ah, itu mah setahun lagi!”
“Udah ah, ngaco!” Ridho dan Prawira berjalan kaki menghampiri tukang ojeknya masing–masing. Mereka bersekolah di SMA 1 Rancamada. Kali ini mereka sedang ada acara pentas seni. Jadi Ridho dan Prawira bisa berangkat siang.
“Aku udah bilang ke Pak Ageung, PB Tarumanagara mulai latihannya jam satu siang,” jelas Prawira.
“Iya deh iya.” Ridho menanggapi Prawira dengan malas.
# # # #
Dwi mengambil semua buku matematika di perpustakaan sekolah. Di sisi lain, para siswa mengambil kesempatan memperhatikan Dwi dari balik rak–rak buku. Dwi terlihat semakin cantik, walau ada sedikit codet di dekat mata kirinya.
“Si Dwi makin cantik aja Den,” kata Sopian menyenggol tangan Deni.
“Tapi katanya A Prawira cinta ka Si Dwi, mendingan kita mundur aja deh, daripada ditolak,” jelas Arsad.
“Ah, belum tentu A Prawira diterima sama si Dwi.” Deni sedikit percaya diri.
Bel masuk kelas pun menjadi alasan tiga anak laki–laki kelas empat itu meninggalkan perpustakaan. Dwi tidak mengerti sama sekali perkataan mereka. Apa itu cinta? Apakah merasakan cinta akan bermanfaat untuk kehidupan? Ah pemikiran tidak penting itu segera dihempas oleh Dwi. Dia mulai fokus mengerjakan soal–soal matematika.
Di kelas, Siska masih jengkel dengan Dwi yang mengambil tempatnya. Sementara olimpiade IPA, diwakili oleh Teh Destia dari kelas empat. Siska tidak terlalu menguasai materi IPA. Tetapi materi matematika cukup Siska mengerti untuk mengikuti olimpiade. Siska pun selalu menjadi juara kedua di kelas.
“Endin! Sini!” suruh Siska.
“Ada apa Non?”
“Nanti, di jam istirahat pokoknya kamu ambil tanah yang banyak terus masukin ke tasnya Si Dwi!” perintah Siska yang sudah sangat benci kepada Dwi.
“Siska, kenapa kita gak ceburin aja Si Dwi ke sungai?” Rini mengeluarkan sebuah ide.
“Nanti aja itu mah! Itu langkah selanjutnya, gimana pun caranya, Dwi Astriani Aprilliani, tidak boleh jadi wanita paling cantik di Desa Sukaasih!” harapan Siska terhenti saat Bu Rinda masuk kelas.
# # # #
Waktu istirahat pun tiba. Endin mengumpulkan tanah di belakang sekolah. Siska dan Rini menunggunya di samping tembok sekolah.
“Yang banyak Endin!!!” Siska berkata dengan keras.
“Iya Non!”
“Kali ini kita bikin dia malu!!!”
Di perpustakaan, Pak Trino mengajak Dwi dan Destia untuk makan bersama di tukang bakso yang kebetulan lewat depan sekolah. Melihat Dwi meninggalkan perpustakaan, Siska mengajak dua pesuruhnya untuk melihat–lihat situasi, apakah ada orang yang mengawasi tasnya Dwi?
Saat situasi perpus dinilai aman. Siska lantas memasukkan tanah ke dalam tasnya Dwi. Dia mengeluarkan tanah itu dari kresek hitam. Berharap buku–bukunya kotor semua.
“Udah belum Non?” tanya Endin sambil memperhatikan sekitar.
“Siska cepetan deh sebelum Dwi balik!” ucap Rini.
“Udah nih.” Mereka bertiga pun pergi dari perpus.
Dwi dan Destia masih menyantap bakso di ruang guru. Mereka melihat para guru yang berharap pada mereka. Dwi mencoba menenangkan diri dan menelan kuah bakso yang harum.
“Alhamdulillah ya Dwi, kenyang,” kata Destia sambil mengembalikan mangkuk kepada Amang tukang bakso.
“Iya Teh, hayu kita ke perpus lagi,” ajak Dwi.
“Semangat ya, seminggu lagi kita harus berkompetisi!” tegas Pak Trino.
“Iya Pak,” jawab Dwi dan Destia kompak.
“Terima kasih juga ya Pak baksonya,” ucap Destia.
“Terima kasih Bapak.” Dwi tidak mau ketinggalan.
Setelah menyelesaikan sesi latihan mengerjakan soalnya. Dwi bergegas pulang, karena hari ini adalah hari pertama Dwi akan berlatih bulu tangkis. Ketika Dwi mengangkat tasnya. Dia merasa tasnya lebih berat. Saat resletingnya dibuka tumpahlah tanah. Dwi bingung siapa yang tidak punya kerjaan dan malah memasukkan tanah ke tasnya.
“Dwi, Teteh ambilin sapu ya.” Destia membantu Dwi membersihkan tumpahan tanah.
“Parah emang...” lirih Dwi.
Di tengah perjalanan pulang ke rumah. Pak Ageung menyusul Dwi. Mempertanyakan keseriusan sang anak untuk berlatih bulu tangkis. Dwi hanya mengangguk.
“Maaf ya Pak, tadi Dwi piket dulu, jadi telat pulangnya.”
“Ya, udah atuh kita ke Kota sekarang.”
Sepasang bapak dan anak itu menaiki mobil pikap tetangganya yang kebetulan akan ke kota juga. Dwi menikmati angin yang menyentuh kulitnya. Dwi juga senang, bapaknya sudah membelikan raket yang bagus dari hasil kerja kerasnya.
Sesampainya di PB. Tarumanagara, Ageung menemui pelatih yang dikenal tetangganya. Yaitu Bu Yosi yang menangani atlet putri.
“Oh, jadi ini kenalannya Prawira, kamu masih pake baju seragam sekolah ya?” tanya Yosi melihat penampilan Dwi yang acak–acakan tak sempat pulang ke rumah dulu.
“Iya...”
“Tampaknya Dwi belum siap latihan, kalau begitu mari saya antar berkeliling.” Yosi pun menjelaskan di pelatihan bulu tangkis ini ada lima lapangan untuk latihan, ada tempat fitness, lapangan untuk berlari di luar, kantin untuk makan.
“Kita bisa mulai latihan jam satu siang ya, dan ingat jangan telat lagi,” pinta Yosi.
Seorang pria bertubuh agak tambun, tinggi, dan berpenampilan layaknya atlet. Dia adalah anggota dari Tim Piala Thomas Indonesia tahun 1979. Sumirno Hanta.
Sumirno tampak melihat Dwi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dwi agak risih dilihat oleh bapak – bapak asing berusia 46 tahun.
“Wah Pak, anaknya cocok nih buat jadi atlet, kayaknya dia bakal jadi kebanggaan Indonesia.” Pak Sumirno memperkirakan.
“Yosi kan belum melatihnya Pak, masa sudah terlihat potensinya?” Yosi keheranan.
“Posturnya bagus, bahkan lebih bagus dari peraih medali emas pertama untuk Indonesia,” nilai Sumirno.
“Percuma postur bagus tapi teknik, strategi nol besar,” ujar Yosi ketus.
“Ya makanya kamu latih!” pinta Sumirno.
“Iya – iya Pak...” kata Yosi pasrah.
Sepulang dari PB. Tarumanagara, sepanjang perjalanan dari batas desa sampai ke rumahnya, para pemuda desa selalu mengarahkan matanya pada Dwi. Dwi risih, namun mereka tampak mengagumi Dwi.
“Cantik banget ya Neng Dwi.”
“Iya cantik banget...”
“Cocok nih sama juragan kebun teh.”
Suara para pemuda itu tumpang tindih. Dwi hanya diam menanggapi mereka. Prawira tiba – tiba datang di hadapannya.
“Ayo latihan, nanti kita duel beneran!”
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Di malam hari, Dwi memerhatikan raket yang diberikan Aurora kepadanya. Bosan pun menghampirinya. Dia turun ke lantai satu rumahnya dan memegang beberapa pialanya. Hadiah yang dia dapatkan dari membunuh harapan banyak orang dari berbagai negara... # # # # Seoul, Korea Selatan Tahun 1998 “Ri Na, mau ke mana??” Joo Won, seorang anak laki–laki berusia 10 tahun mengejar temannya yang sudah pamit mau pindah sekolah. “Aku bakal pindah sekolah ke Indonesia,” jawabnya sambil terburu–buru. “Jangan lupakan kami Ri Na!” pesan Ha Neul. “Aku gak akan lupain teman–teman pertama aku.” Seseorang
Di tengah lapangan, Dwi sudah siap menantang Prawira. Lelaki yang ditantang itu terlihat sedikit meremehkan. Lelaki itu yakin kalau jam terbang mampu mengalahkan perempuan berusia sepuluh tahun itu. “Aa tuh pulang cuman pengen cerita sama kamu, kalau tanding di luar negeri itu keren tahu, kamu malah nantangin hmm...” “Lagian Aa yang bilang kalau Dwi udah juara di tingkat Kabupaten/Kota Bandung, Dwi udah boleh ngelawan Aa!” Dwi terlihat membetulkan senar raketnya. “Aduh dah Dwi, izinkan Aa istirahat dulu, ini Aa pulang pengen ngeliat penerus Aa ya, junior Aa di sini, udah ya Dwi.” Prawira belum menemukan cara agar Dwi bertahan di bulu tangkis selepas mengalahkannya.
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p