Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih.
Braga yang sepi dan estetik.
“A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?”
(Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?)
Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab.
“Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.”
# # # # #
Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya.
“Maaf, Dwi telat bangunnya, kemarin latihan bulu tangkis sampai malam.” Dwi menundukkan kepalanya.
“Oh iya, masih ada 15 menit kita menuju ke Balai Kantor Kecamatan buat ngerjain soal!” Pak Trino segera menyalakan mobil sewaannya.
“Alhamdulillah, kita punya mobil untuk hari ini, pinjaman dari Pak Ibih,” ucap Pak Trino sambil menyetir,
“Iya Pak, baru kali ini Destia naik kijang,” ungkap Destia.
“Semoga kalian menang dan bisa mewakili Pangalengan di Olimpiade Sains Nasional tingkat Kabupaten/Kota.” Harapan Bu Rinda yang cukup tinggi.
Sementara Dwi hanya berdiam diri. Bingung dengan pilihannya. Karena dia mulai tertarik dengan bulu angsa yang bisa ditepuk dengan raket.
# # # #
“Dwi, hayu turun, ngalamun wae!” Bu Rinda segera menyadarkan Dwi.
(Dwi, ayo turun, melamun saja!)
Dwi hanya terdiam, pikirannya kosong. Dia ingin memutuskan untuk memilih salah satunya. Namun di antara matematika dan bulu tangkis, Dwi belum mempunyai pembuktian. Sekarang, saatnya Dwi menunjukkan pembuktian di matematika terlebih dahulu.
Gadis cantik itu memasuki ruangan seleksi olimpiade tingkat kecamatan bidang studi matematika. Dia mengambil posisi tegap, berharap bisa juara sampai ke tingkat internasional suatu saat nanti.
Seorang panitia memasuki ruangan bidang studi matematika. Dwi menatap soal dan lembar jawaban yang dibawanya. Itulah lawan dia sekarang.
Dwi mengerjakan soal dengan tenang dan cepat. Dia fokus. Tak melihat ke kanan dan ke kiri. Bagaimana pun juga dia harus menjadi si nomor satu harapan keluarga.
Gadis itu pun berdiri dari kursinya. Melewati beberapa peserta yang duduk di depannya. Lalu memberikan kertas jawabannya kepada panitia. Dia pun berjalan keluar.
“Dwi, hebat euy, udah beres lagi!” Pak Trino memberikan Dwi pujian.
“Keliatan lho Pak, dia juaranya,” tambah Bu Rinda.
Sementara Destia masih berkutat dengan soal IPA. Dwi mencoba membuka mulutnya.
“Pak, Ibu, Dwi nanti izin pake surat dispensasi ya, buat datang ke PB. Tarumanagara lebih awal, soalnya hari ini pertama kalinya Dwi bakal belajar teknik main bulu tangkis,” pinta Dwi.
“Oh iya, kamu yakin mau ke kota sendiri Dwi? Bapakmu kan sekarang kerja,” kata Pak Trino memastikan niat anak didiknya ini.
“Yakin, Dwi mau naik sepeda ke sana,” ucap Dwi dengan tekad kuat.
“Sepertinya, Dwi dan Prawira bakal jadi pasangan emas olimpiade dari Pangalengan,” ungkap Ibu Rinda, mengingat momen indah Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.
“Dwi gak akan tanding,” ucap Dwi singkat.
Pak Trino dan Bu Rinda tercengang dengan jawaban singkat Dwi. Namun mereka yakin itu hanya bualan Dwi saja karena baru selesai mengerjakan soal olimpiade matematika. Mereka sangat yakin, Dwi akan serius menjalani setiap pilihan hidupnya. Tak lama kemudian, Destia keluar dari ruangannya.
“Ya udah atuh, kalian jajan dulu aja ya, dibayarin sama sekolah,” ajak Ibu Rinda.
“Terima kasih Ibu, Pak,” ucap Dwi dan Destia kompak.
# # # #
Jam 11 siang, saat rumahnya sedang kosong. Dwi segera mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga. Setelah itu menyiapkan sepedanya. Membawa tas raketnya. Dan meluncur ke kota.
Dwi mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Namun dia lupa, lokasi PB. Tarumanagara lokasinya jauh, menggunakan mobil saja memakan waktu 1 jam 30 menit. Gadis itu kelelahan di depan Kantor Kecamatan Pangalengan.
“Dwi, biasanya juga pake pikap atuh, kamu sok jagoan banget pake sepeda, makan waktu setengah hari tau nyampe ke kota,” ujar tetangganya yang biasa Dwi dan Ageung tumpangi pikapnya.
“Iya atuh, aku ikut lagi ya!” segera Dwi menaiki mobil pikap dan membawa serta sepedanya.
“Nanti Amang bawain sepedanya ke rumah ya, nanti juga Amang bakal lewat ke tempat Eneng latihan!”
“Hatur nuhun Mang.” Dwi bersyukur atas kebaikan tetangganya.
(Terima kasih, Paman)
Sesampainya di tempat latihan bulu tangkis. Bu Yosi sudah menunggu Dwi. Baru pukul 12.30, Dwi meminta izin untuk salat dulu.
Di lapangan, setelah pemanasan, Dwi sudah dalam posisi siap menerima bola. Prawira yang melihat itu, menghampirinya. Ceritanya ingin mengajak Dwi berlatih bersama.
“Prawira, bukannya kamu harus udah latihan di Jakarta?” tanya Bu Yosi.
“Nanti dulu Bu, saya masih mau memastikan kalau di PB ini, ada perempuan yang nyaingin saya,” ujar Prawira meyakinkan Dwi.
“Ah, lebih baik kamu ke tempat latihan putra, ini urusan Ibu!” Bu Yosi sudah siap dengan lima shuttlecock di tangannya.
“Bu, Dwi udah siap tanding lawan Aurora!” ujar Prawira menantang Dwi melalui pelatihnya.
“Okay, Dwi, setelah latihan pertahanan depan, tolong bersiap melawan Shasa, juara kedua nasional. Saya pikir kamu belum siap melawan Aurora yang langganan juara nasional,” Bu Yosi melemparkan shuttlecocknya pada Dwi.
“Siap, Bu!” tegas Dwi.
“Apa–apaan sih Prawira!” teriak Aurora yang merasa tertindas dengan perkataan Prawira.
“Kalau kamu kuat di kejuaraan nasional, harusnya gak takut dong ada anak baru yang mau nantangin kamu,” jelas Prawira.
“Bukan gitu! Nanti dia belum apa–apa cidera lagi karena belum kuat ngalahin aku,” kata Aurora sedikit meremehkan Dwi.
Bu Yosi telah selesai memberikan Dwi sesi latihan. Kini dia mengajak Dwi belajar bertanding dengan rekannya. Dwi sudah belajar, teknik, strategi, dan peraturan permainan bulu tangkis dalam waktu seminggu. Tapi, berlatih secepat itu membuatnya lupa bersosialisasi dengan teman–teman latihannya.
Shasa yang dipanggil Bu Yosi segera bersiap. Tentunya dia tidak ingin kalah oleh anak baru. Bu Yosi duduk di kursi wasit. Dan, para pemain tercengang melihat Pak Sumirno. Beliau dengan antusias melihat kemampuan Dwi.
“Mari kita lihat kemampuan calon juara dunia,” ungkap Pak Sumirno.
Shasa merasa bangga dengan perkataan Pak Sumirno. Pak Sumirno segera menyadari ke–GR– an Shasa.
“Bukan kamu Sha, tapi Dwi.”
“Lha Pak, dia kan anak baru! Belum pernah tanding lagi!” protes Shasa.
“Ayo siap–siap Shasa!!” Bu Yosi menepuk kedua tangannya memberi peringatan.
“Ready, love all, play!” Bu Yosi memberi tanda agar Shasa memulai servisnya.
Mata gadis asal Pangalengan itu fokus kepada shuttlecock. Dia memukul dengan pelan namun pasti menembus pertahanan lawan. Shasa merasa tersudut dengan kemampuan Dwi yang cepat dalam berlatih. Skor babak pertama, 11 – 9, kemenangan pertama Dwi. Shasa tampaknya tidak mau kalah dengan cepat dia merebut babak kedua 4 – 11. Sorak rekan yang lain meremehkan Dwi, padahal untuk pemula, merebut babak pertama dari juara kedua nasional itu sudah luar biasa.
Dwi tampak tidak bisa menerima kekalahan. Akhirnya dia menambah kekuatannya, dan berakhir di skor 9 – 11. Dwi mengalahkan langganan juara kedua nasional. Prawira takjub melihat keajaiban tetangganya. Secepat itu Dwi mampu menguasai bulu tangkis.
Dwi terduduk di tengah lapangan. Keringatnya mengalir deras. Kakinya seperti kehilangan berat. Dia menatap Shasa yang malu.
Bu Yosi dan Pak Sumirno memberikan pujian pada Dwi. Gadis delapan tahun yang mengalahkan gadis tiga belas tahun.
Aurora yang menyaksikan pertandingan itu tampak kesal. Dia tidak ingin posisinya sebagai pemain terbaik putri di PB. Tarumanagara tergeser.
“Bangun!” Prawira menarik tangan kiri Dwi yang tidak memegang raket.
Dwi menerima uluran tangan Prawira. “Boleh aku langsung ngalahin Aa?”
“Gak boleh lha Dwi, di tempat ini, kamu harus bisa ngalahin semua atlet putri dulu, baru boleh nantangin atlet putra.”
“Oh gitu.”
Pukul 17.30 Dwi pulang bersama Prawira menaiki bus kota menuju Pangalengan.
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Di malam hari, Dwi memerhatikan raket yang diberikan Aurora kepadanya. Bosan pun menghampirinya. Dia turun ke lantai satu rumahnya dan memegang beberapa pialanya. Hadiah yang dia dapatkan dari membunuh harapan banyak orang dari berbagai negara... # # # # Seoul, Korea Selatan Tahun 1998 “Ri Na, mau ke mana??” Joo Won, seorang anak laki–laki berusia 10 tahun mengejar temannya yang sudah pamit mau pindah sekolah. “Aku bakal pindah sekolah ke Indonesia,” jawabnya sambil terburu–buru. “Jangan lupakan kami Ri Na!” pesan Ha Neul. “Aku gak akan lupain teman–teman pertama aku.” Seseorang
Di tengah lapangan, Dwi sudah siap menantang Prawira. Lelaki yang ditantang itu terlihat sedikit meremehkan. Lelaki itu yakin kalau jam terbang mampu mengalahkan perempuan berusia sepuluh tahun itu. “Aa tuh pulang cuman pengen cerita sama kamu, kalau tanding di luar negeri itu keren tahu, kamu malah nantangin hmm...” “Lagian Aa yang bilang kalau Dwi udah juara di tingkat Kabupaten/Kota Bandung, Dwi udah boleh ngelawan Aa!” Dwi terlihat membetulkan senar raketnya. “Aduh dah Dwi, izinkan Aa istirahat dulu, ini Aa pulang pengen ngeliat penerus Aa ya, junior Aa di sini, udah ya Dwi.” Prawira belum menemukan cara agar Dwi bertahan di bulu tangkis selepas mengalahkannya.
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p