Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan?
“Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya.
Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah.
“Christian dari SD Tristan!!”
“Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino.
“Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman.
“Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...”
Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan.
“Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamatan.
“Ayo ke depan Neng,” pinta Pak Trino. Dwi pun berdiri dan menghampiri panitia yang akan memberikannya piala, sertifikat, dan uang pembinaan.
Dwi bersyukur. Dia bisa membuktikan keahliannya. Nanti siang, keahliannya di bulu tangkis akan diuji lagi.
“Selamat ya Neng, nanti kamu belajarnya di kota, sama Bu Darma, teman Bapak waktu kuliah dulu,” jelas Pak Trino.
Dwi hanya tersenyum. Mengamati hadiah yang ada di tangannya. Dia pun bertekad akan selalu juara demi mendapatkan uang untuk kehidupan keluarganya yang pas – pasan.
# # # #
Suara adzan terdengar dari Masjid Alun–Alun Kota Bandung. Ridho mengajak adiknya berjalan ke masjid. Mereka masih asyik mengenang masa kecilnya seorang Dwi.
“Dwi, udah salat kita cari makan ya, sambil kamu cerita lagi.” Ridho dengan ekspresi kakunya berharap bisa mengukir lengkungan di wajah adiknya.
“Iya A.” Pandangan Dwi lurus ke depan. Sesekali wanita itu membetulkan maskernya. Dia hanya ingin mencari akar permasalahan yang membuatnya sedih.
# # # #
“Aurora, beneran deh posisi kamu bakal kegeser sama Dwi, contoh aja Shasa yang kemarin kalah dari Dwi,” ujar Fikri, juniornya Prawira.
“Hah, Shasa itu emang suka grogi kalau ketemu orang baru, kalau aku kan nggak, lagian aneh sih, masa anak baru udah disuruh ngelawan senior yang udah ikut beberapa kali pertandingan nasional, dan, Shasa masih menang satu babak.”
“Wahai anak muda, ingatlah kalau kalian turun dari podium, kalian itu semua sama, baru latihan lha, sering tanding lha, sering kalah, sering menang, sama!” Prawira menegaskan.
Suasana PB. Tarumanagara masih sepi. Hanya ada Fikri, Aurora, dan Prawira. Mereka sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan usia dibawah 19 tahun yang akan diadakan di Singapura. Jika mereka menang di sana, mereka akan bergabung di Pelatnas PBSI Jakarta.
“Apakah Indonesia bakal pilih Dwi ya?” Aurora tampak putus asa.
“Usia kamu udah 14 tahun dengan pengalaman lima tahun tanding bulu tangkis, masa kalah tanpa tanding.” Prawira sedikit mengejek.
“Ya udah, Fikri aku mau lawan kamu, aku pastikan, Dwi gak akan bisa ambil posisi aku, kalau dia ngalahin aku, aku bakal pindah ke Finlandia ikut Ayah.” Aurora mengajak Fikri ke tengah lapangan.
Pukul 13.00, Dwi bersiap di tengah lapangan. Dia melakukan pemanasan seperti yang diajarkan Bu Yosi. Kali ini, Bu Yosi menantang Dwi untuk mengalahkan Yasmin. Seseorang yang baru memenangkan kejuaraan tingkat Kecamatan di Kopo.
Dwi membetulkan senar raketnya. Menalikan sepatunya. Bersiap untuk tanding lagi. Yasmin yang melihat Dwi berdiri tegap dengan posisi siap menerima servis merasa tidak akan mampu bisa menjadi atlet bulu tangkis internasional dari Indonesia.
“Tunggu Bu!” Yasmin menunda pertandingan.
“Ada apa Yasmin?” Bu Yosi yang sudah bersiap memimpin pertandingan menanggapi Yasmin.
“Apakah hanya ada dua perwakilan dari PB. Tarumanagara yang akan dipanggil ke Pelatnas?”
“Iya, sisanya dari wilayah lain, karena Indonesia gak cuman Bandung,” jawab Bu Yosi.
“Untuk putra sudah ada A Prawira, dan untuk putri?” tanya Yasmin dengan penuh keputus asaan.
“Saya pikir Aurora, tetapi mungkin lebih baik dia ikut Ayahnya ke Finlandia,” jelas Bu Yosi.
“Bu, kok?” Aurora mengumpulkan amarahnya yang sejak pagi sudah dia tahan.
“Saya melihat sikap tegas seorang juara, tanpa ekspresi melihat musuh, taktik yang bagus, dari seorang Dwi Astriani Aprilliani, saya sependapat dengan Pak Sumirno, postur tubuhnya pun mendukung,” jelas Bu Yosi.
“GAK BISA GITU DONG BU! DIA BELUM PERNAH IKUT KEJUARAAN APAPUN!” protes Aurora.
“Tenang Aurora, besok Dwi bakal mewakili SD Negeri 1 Sukaasih buat pertandingan bulu tangkis tingkat Kecamatan,” jelas Prawira.
“Udah, udah, SEORANG JUARA HARUS MENGALAHKAN KETAKUTANNYA SENDIRI, BUKTIKAN MENTAL JUARA KALIAN!” Bu Yosi menegaskan.
Setelah diskusi panjang lebar. Pertandingan antara Dwi dan Yasmin tetap berlangsung. Yasmin sudah tidak yakin lagi dengan kemampuannya karena melihat Dwi. Dia pun kalah dua set langsung.
“Satu lagi kelebihan Dwi, dia bisa membuat lawan berkecil hati dulu sebelum bertanding, setelah melihat pertandingan dia sebelumnya,” ujar Pak Sumirno.
“Jangan sampai dia tidak membawa nama Indonesia ke kancah dunia,” tanggap Bu Yosi.
Prawira yang melihat potensi Dwi menghampirinya. Dia bilang sudah mendelegasikan Dwi sebagai wakil putri yang pertama kalinya dari SD Negeri 1 Sukaasih melalui Pak Johar, guru olahraganya. Dwi hanya mengangguk. Menyetujui kesempatan pertamanya untuk membuktikan kalau dia mampu juara di bidang olahraga.
“Kalau udah juara sampe tingkat Kabupaten/ Kota, boleh tuh lawan Aa,” tantang Prawira.
“Okay, tantangan diterima,” Dwi menyodorkan tangannya tanda deal.
“Bagus, Aa tunggu di Pelatnas PBSI.”
# # # #
“Enak mie ayamnya?” tanya Ridho sambil menggeser mangkuk kosong.
“Enak A,” Dwi memakannya dengan lahap.
“Atlet makannya banyak ya? Haha,” Ridho mengejek adiknya yang sudah habis tiga mangkuk mie ayam.
“Lagi laper aja kali..”
“Hmm, padahal kamu keliatannya langsing menuju kurus ya?”
“Alhamdulillah,” ucap Dwi menandakan dia tidak akan nambah lagi.
Ridho lalu mengajak Dwi pulang ke rumah. Di mobil, Dwi tampak memikirkan sesuatu. Menurut Ridho, mungkin sesuatu yang seharusnya Dwi keluarkan dari tubuhnya. Semacam racun.
# # # #
Setiap hari dari usianya menginjak delapan tahun. Dwi jarang tidur. Tidur hanya tiga jam. Dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh. Pengorbanan waktu istirahatnya selalu membuahkan hasil. Waktu siangnya yang dia gunakan untuk berlatih bulu tangkis, waktu malam untuk mengerjakan PR dan belajar. Dan waktu subuh untuk membuat leupet dan menjualnya ke warung–warung.
Pertandingan bulu tangkis yang diadakan di GOR Kecamatan Pangalengan berlangsung ramai. Hingga hasil akhir, SD Negeri 1 Sukaasih untuk pertama kalinya menyabet juara satu putri. Pak Johar sangat bangga dengan Dwi yang tidak pernah kehilangan satu babak pun dari lawannya. Sebenarnya Pangalengan tidak begitu tertarik dengan bulu tangkis, hingga lawannya dinilai mudah untuk Dwi.
“Prawira, tolong kasih tau pendiri PB. Tarumanagara itu, Dwi harus jadi atlet bulu tangkis. Fokus! Jangan dijadiin sampingan,” saran Pak Johar.
“Iya Pak siap,” jawab Prawira yang ikut mendampingi Dwi.
“Smashnya itu lho Wir, seksi haha,” canda Pak Johar.
“Pak, hati–hati kalau bicara,” kata Prawira.
“A, Dwi mau ngalahin Aa, udah gitu Dwi mau fokus jadi matematikawati aja, Dwi gak mau jadi atlet.” Sungguh pernyataan yang mengecewakan untuk Pak Johar dan Prawira.
“Dwi, Aa udah bilang, syarat buat bisa ngalahin Aa, kamu harus juara di tingkat Kabupaten/Kota dulu!”
“Okay, uang Bapak buat beli raket aja belum Dwi lunasi, kalau uang Bapak sama udah juara nanti Dwi udahan aja main bulu tangkisnya..”
Prawira berpikir untuk menyusun strategi baru agar Dwi bertahan di dunia bulu tangkis.
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Di malam hari, Dwi memerhatikan raket yang diberikan Aurora kepadanya. Bosan pun menghampirinya. Dia turun ke lantai satu rumahnya dan memegang beberapa pialanya. Hadiah yang dia dapatkan dari membunuh harapan banyak orang dari berbagai negara... # # # # Seoul, Korea Selatan Tahun 1998 “Ri Na, mau ke mana??” Joo Won, seorang anak laki–laki berusia 10 tahun mengejar temannya yang sudah pamit mau pindah sekolah. “Aku bakal pindah sekolah ke Indonesia,” jawabnya sambil terburu–buru. “Jangan lupakan kami Ri Na!” pesan Ha Neul. “Aku gak akan lupain teman–teman pertama aku.” Seseorang
Di tengah lapangan, Dwi sudah siap menantang Prawira. Lelaki yang ditantang itu terlihat sedikit meremehkan. Lelaki itu yakin kalau jam terbang mampu mengalahkan perempuan berusia sepuluh tahun itu. “Aa tuh pulang cuman pengen cerita sama kamu, kalau tanding di luar negeri itu keren tahu, kamu malah nantangin hmm...” “Lagian Aa yang bilang kalau Dwi udah juara di tingkat Kabupaten/Kota Bandung, Dwi udah boleh ngelawan Aa!” Dwi terlihat membetulkan senar raketnya. “Aduh dah Dwi, izinkan Aa istirahat dulu, ini Aa pulang pengen ngeliat penerus Aa ya, junior Aa di sini, udah ya Dwi.” Prawira belum menemukan cara agar Dwi bertahan di bulu tangkis selepas mengalahkannya.
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p