Musim semi di Inggris. Berlatar di Stadion Nasional Birmingham. Indonesia berharap pada ganda putri ajaib untuk sebuah kebanggaan. Pasangan ganda putri muda Arina Handikusuma Oktaviani dan Dwi Astriani Aprilliani. Mereka baru berusia 17 dan 16 tahun.
“Bismillah Dwi,” ucap Arina sambil mengikat rambut merahnya.
“Iya bismillah,” Dwi pun membenarkan tali sepatunya.
Tak lama kemudian mereka dipanggil masuk lapangan. Disambut meriah oleh orang – orang yang mengibarkan bendera merah putih di tribun penonton.
Dwi menangkap A Prawira di tribun penonton. Dia menonton sendirian. Rekan yang lain sudah pulang duluan ke Jakarta. Turnamen ini begitu bergengsi karena termasuk kejuaraan bulu tangkis tertua. Jadi yang juara di sini akan mempunyai privilage yang bagus.
Sebelum pertandingan, para atlet diperbolehkan pemanasan dengan saling melempar shuttlecock bersama partnernya bagi sektor ganda. Bagi sektor tunggal, pemanasannya dengan lawannya. Waktunya lima menit.
Ko Ranja dan Kak Dena mendampingi Dwi dan Arina. Mereka duduk di kursi pelatih. Menatap harapan dihadapannya.
Pertandingan dimulai berdasarkan pelemparan koin oleh wasit. Arina dan Dwi pun dinyatakan pemain yang memulai. Mereka pun bersiap.
“Di sisi kanan saya, Dwi Astriani Aprilliani/ Arina Handikusuma Oktaviani, Indonesia! Di sisi kiri saya, Wei Na/ Li Ying, China, ready, love all, play!” wasit memberi aba – aba bahwa pertandingan sudah dimulai.
Di set pertama, Arina tampak kokoh menjaga pertahanan bagian depan walaupun dia yang menjadi sasaran empuk lawan karena smash – nya selalu meleset. Sedangkan Dwi selalu menghujani lawannya dengan jumping smash yang kuat, cepat, dan tepat. Indonesia unggul 15 – 10.
Saat break set, Kak Dena dan Ko Ranja memberikan wejangan dan ketenangan untuk Arina dan Dwi. Kak Dena menepuk bahu Arina. Di sela break, Dwi memarahi Arina sebab kecerobohannya di tengah pertandingan. Membuat bola out.
“INDONESIA, INDONESIA, INDONESIA!” sekilas WNI di Inggris mendukung satu – satunya wakil Indonesia di final.
Yuxuan mengintip sedikit dari tirai tempat para pemain menunggu giliran pertandingan. Dia terpesona dengan Dwi yang mengenakan jersey dan celana pendek merah, ada bendera merah putih di sisi kanan jerseynya. Rambutnya diikat namun poninya dibiarkan di pinggir.
“Hoi!” ujar Fengying menyadarkan partnernya.
“Apa?” kata Yuxuan kaget.
“Ngapain ngeliatin sepupu aku?”
“Bukan! Aku cuman liat suasana lapangan saat final, inikan final pertama kita.”
“Oh, Oke.” Fengying duduk di kursi tunggu.
Yuxuan menunduk. Memikirkan perasaan apa yang ada di hatinya. Dia ingin terus memperhatikan perempuan asal Indonesia itu.
“Fengying, aku mau ngomongin strategi buat kemenangan kita.”
“Oh iya.”
# # #
“Dwi, makan dulu!” ujar Sari dari balik pintu kamar. Menyadarkan Dwi dari lamunannya.
“Padahal baru memikirkan pertandingan bergengsi pertama aku.” Dwi melempar pandangannya keluar jendela. Lima jari kirinya menyentuh cincin yang ada di jari manisnya. Wanita itu pun segera ke ruang makan.
“Sebentar lagi kita lanjut ceritanya.”
# # #
Di set kedua, Dwi kehilangan fokus. Akhirnya harus merelakan China menang. Skor 7 – 15.
Dwi mendadak merasa kepalanya berputar. Sekilas di hadapannya seperti ada Yuxuan. Padahal Dwi sedang memegang handuknya sendiri. Kak Dena menenangkan Dwi tapi Ko Ranja menegaskan untuk kembali fokus.
“Fokus Dwi, Indonesia butuh kamu!”
Dwi tersentak. Dia pun bersiap ke tengah lapangan dengan tegap. Bersiap menjadi juara. Arina mengikuti dengan serius.
“Rin, nanti pokoknya loe ke belakang!” ucap Dwi sebelum akhirnya mereka menerima servis dari lawan.
“Strategi lu ribet!”
Hanya kemenangan yang ada di pikiran Dwi, dan voilaaaaa!
Skor akhir, Indonesia 15 – 10, 7 – 15, 15 – 11 China. Dwi pun melompat girang sampai raketnya lepas. Dwi pun sujud dan memeluk Arina.
“Sektor ganda putri dimenangkan oleh Indonesia!” wasit pun menutup pertandingan.
Arina dan Dwi bersalaman dengan lawan. Selanjutnya mereka memeluk pelatihnya. Bersalaman dengan wasit dan service judge. Kedua gadis itu pun mengibarkan bendera merah putih.
“Hebatnya perempuan yang gak sengaja gue tarik ke dunia bulu tangkis,” komentar Prawira.
Di podium juara, Dwi dan Arina memamerkan senyumannya tentu kecantikan mereka terpancar. Seseorang tersenyum dari balik tirai ruang tunggu pemain, saat Dwi dan Arina kembali dari lapangan dengan banyaknya hadiah berupa piala, bunga, dan tulisan hadiah uang.
“Selamat ya... Dwi,” ucapan itu meluncur dari mulut seorang lelaki.
“Yuxuan,” degup aneh muncuh di dada seorang Dwi Astriani Aprilliani.
“Iya, aku tanding setelahmu.”
Yuxuan bersama Fengying dan lawannya dari Denmark memasuki lapangan. Sontak Dwi ingin melihat pertandingan mereka.
“Dwi, mau ke mana? Kita harus bersiap pulang!” ujar Ko Ranja.
“Aku pengen liat sektor ganda putra dulu, boleh?” tanya Dwi.
“Aneh banget kamu pengen liat pertandingan negara lain,” pikir Ko Ranja.
“Arina, kamu gak mau ngeliat sepupu kamu tanding gitu?” Dwi mencari semacam pembelaan kepada partnernya.
“Aaahhh Arina capek! Tuh ada A Prawira, minta temenin dia aja!”
“Udah Dwi, kamu istirahat aja, kamu udah terlalu bekerja keras.” Prawira mendorong bahu Dwi dari belakang.
“Gak mau!” Dwi berbalik dan pergi ke tribun penonton.
“Lha nekat,” ujar Arina sembari menyusul partnernya ditemani Prawira.
“ Ya sudah lah, anggap saja Dwi dan Arina mau belajar strategi baru dari pertandingan ganda putra,” jelas Kak Dena.
“Merepotkan saja!” Ko Ranja membawa perlengkapan dan hadiah milik Dwi sementara milik Arina dibawakan Kak Dena.
Di tribun penonton, Dwi merasakan ‘bahagia’ melihat lelaki yang dikaguminya bertanding. Dia lebih tampan saat membela negaranya. Sayang, mereka tidak membela negara yang sama.
“Dwi...” panggil Arina. “Istirahat di hotel yuk, temenin aku nonton drakor terbaru!” lirih Arina mengingat dia membawa DVD drama Korea terbaru dari negara Papinya.
“Ih, aku gak suka drama! Udah kamu duluan aja kali, ngapain ngikutin aku?!”
“Kan kamu minta aku buat nemenin!”
“Kan kamu udah nolak!”
“Berantem mulu! Kalian tuh ada kedekatan apa sih sama dua orang itu?!” Prawira mencoba melerai dua orang yang berdebat tak jelas itu.
“Apaan sih A, udah deh jangan ngurusin aku mulu!” Dwi kesal dan berniat mencari spot baru untuk menonton lelaki yang menarik perhatiannya.
Yuxuan mendapatkan hasil pertandingan yang sama dengan Dwi. Mereka sama – sama juara All England di tahun 2005. Dwi segera meninggalkan tribun penonton. Berniat memberi selamat pada Yuxuan.
“Yuxuan, selamat!” Dwi menyodorkan tangannya disambut Yuxuan.
“Sama – sama, kalau gitu ayo kita rayakan dengan membeli makanan manis!” dia kegirangan sampai menarik Dwi sampai ke depan stadion.
“Aku tau ada yang jual makanan manis dekat sini,” ucap Yuxuan, matanya menyapu toko yang berjejer di seberang jalan.
“Eh, partner kamu, pelatih, dan yang lain, gimana kalau mereka nyariin kamu, aku juga khawatir kalau partner aku, pelatih, dan yang lain nyariin aku...” lirih Dwi.
Yuxuan menatap wajah Dwi. Berharap dia menghilangkan kekhawatiran Dwi. Dia pun meyakinkan Dwi kalau mereka pergi tidak akan terlalu lama.
Toko yang dipilih Yuxuan menjual cokelat sebagai produk utama. Mereka juga membuat permen susu kenyal dan beberapa hiasan boneka–boneka kecil.
“Ini, permennya lucu, cuiw, cuiw, hahaha,” Yuxuan menekan – nekan permen berbentuk kepala kucing. “Ini pegang.”
Gadis itu memperhatikan wajah yang tadi tertawa. Tahi lalat di dekat mata kanannya bergeser sedikit saat dia menarik ujung bibirnya. Dwi pun memegang dadanya. Ada suara aneh, berharap suara itu tidak sampai ke telinga Yuxuan.
“Kamu mau beli apa, Dwi?”
Pertanyaan yang membelah lamunannya.
“Yuxuan. Aku, kayaknya benda ini mahal,” Dwi melihat boneka kecil perempuan menggunakan gaun ala disney princess dan boneka laki–laki yang berpakaian ala pangeran. Sebenarnya gadis desa itu tidak ada keinginan membicarakan boneka. Hanya saja dia tidak tahu harus membicarakan apa dengan kenalannya ini.
“Hmm, oke, kita beli ini ya, sama aku mau kasih kamu cokelat juga.”
‘Waduh kenapa aku malah ngomongin harga sih, aku kan punya uang hasil juara pertandingan sebelumnya,’
“Eh Yuxuan, ini aku ada uang,” ucap Dwi sambil merogoh kantung di jaketnya. Ternyata dompetnya tertinggal di tas raket yang dibawa Ko Ranja.
“Maaf, dompet aku ketinggalan di hotel,” Dwi bingung bagaimana menutup wajah sungkannya.
“Oh, pakai uang aku aja.” Yuxuan membelikan cokelat dan boneka untuk Dwi.
“Besok kita masih di Birmingham kan?” tanya Yuxuan.
“Oh iya, besok aku sama Arina mau beli oleh–oleh buat temen di Pelatnas, mungkin.” Dwi rasa dia mengucapkan hal basa basi yang basi.
“Oke, yuk kita ke hotel.”
“Ayo.” Mereka pun berjalan beriringan.
# # #
“Dwi!!! Hayoloh kabur ke mana?” Arina menodong partnernya dengan pertanyaan pengadilan.
“Jalan – jalan bentar.”
“Besok pagi kita balik ke Jakarta!” tegas A Prawira.
Dwi tidak peduli dengan partner dan tetangganya. Dia langsung membuka pintu kamar hotelnya. Lalu ke kamar mandi. Menyalakan air di bathub. Dia pun melepaskan kain yang menutupi tubuh eksotis khas Sunda. Di perendamannya, dia memikirkan, perasaan apa yang dia miliki untuk Yuxuan yang baru saja ditemuinya.
Sementara Arina di ranjang menerka–nerka.
“Dwi menyukai Yuxuan, mungkin...”
# # #
“Dwi, hei! Ngalamun wae!!” Sari menggoncangkan tubuh anak keduanya yang mematung.
“Ah Ibu, Dwi ke atas dulu ya...” Dwi kembali ke kamarnya. Setelah makan dia menonton TV dulu dengan Ibu dan kakak iparnya.
Hati Dwi berbicara, “ Sungguh cinta pertama sulit dilupakan, walau sudah ada yang jauh lebih baik.”
Catatan Penulis:
[1] A/ Aa: panggilan kakak laki – laki di Suku Sunda.
[2] Ngalamun: melamun dalam Bahasa Sunda.
[3] Wae: saja
Seorang perempuan berambut hitam tebal dan bergelombang terlihat sedang kesal. Dia adalah anak dari pemilik perkebunan teh terluas di Pangalengan. Tentunya, dia tidak mau ada gadis lain yang menyaingi kepintaran dan kecantikan dirinya. “Heh, Rini, inget ya, pokoknya hari ini kita harus bisa bikin si Dwi codet!” “Eh Siska, kamu bisa kan bersaing secara sehat aja?” gadis yang bernama Rini menimpali. “Iya tuh bener,” lelaki satu–satunya di antara mereka angkat bicara. “Endin ndesooo!!! Kamu suka ya sama Dwi hah?!” Siska kesal dengan teman – temannya yang membela si gadis miskin itu.
Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang. “Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep. Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes. “Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep. &n
Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih. “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi. “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya. “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?” “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas. (Cuek aja dong) Ibu Rinda
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.
Ranja Firman diam–diam memerhatikan kedua anak gadis yang sedang dites fisiknya oleh Ci Sisi. Dan sekarang dia melihat kemampuan kedua perempuan itu dalam mengayunkan raketnya. “Kalau Dwi Astriani Aprilliani ahli banget dalam smash. Powernya kayaknya sih pake tenaga dalam,” bisik Ranja kepada dirinya sendiri sambil menulis di buku catatan kecil. “Kalau Arina... kemampuan smashnya kurang, setiap nyemash pasti meleset atau bola keluar, tapi dia pinter merapatkan pertahanan depan... hmm komposisi yang sempurna untuk pasangan ganda,” pikir Ranja. Arina terlihat kelelahan dan menepi di pinggir lapangan seusai diuji dalam hal teknis. Sementara Dwi malah berlatih dengan tembok. Arina tidak peduli,
Semenjak pertemuan dua gadis luar biasa dalam teknik dan strategi di final Kejuaraan Nasional bulu tangkis di Jawa Barat. Dwi dan Arina sering berhadapan di final Kejuaraan Nasional di Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Membuat PBSI tertarik meminta mereka untuk berlatih di Pelatnas Jakarta. Gadis asal Pangalengan telah berusia 12 tahun. Dia akan bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung karena prestasinya di bidang akademik. Keinginannya bermain bulu tangkis kian menurun. Dia hanya ingin bersekolah di luar negeri. Melihat kesuksesan seorang tokoh di televisi. Dwi sedang duduk terdiam di ruang tamu yang lusuh. Memegang surat kelulusan dari SD Negeri 1 Sukaasih dan satu surat pemanggilan dari Pelatnas PBSI. “Ya udah kamu sekolah di Jakarta aja Neng,” usul Ageung. &n
“Tek...tok.. tek!!!” gema sentuhan antara shuttlecock dan raket mewarnai siang harinya Arina Handikusuma Oktaviani. Di sampingnya ada Ko Ranja. Memerhatikan postur tubuh perempuan keturunan Korea Selatan ini. “Hadi, anak didikmu sepertinya siap untuk dibawa ke Pelatnas!” ujar Ko Ranja. “Masih terlalu dini untuk bergabung di Pelatnas Ko, kita lihat dulu penampilannya di Kejuaraan Nasional!” jelas Hadi. Seorang lelaki paruh baya meninggalkan anaknya yang sedang berlatih bulu tangkis di PB Jember. Arina memperlihatkan kepotensialannya di dunia bulu tangkis. # # # # Siska yang merasa lega p