Angin semilir berhembus, menyibak rambut Rosa yang sengaja ia gerai. Bukankah Romi sangat suka rambut Rosa yang tergerai panjang seperti ini? Rosa menyusut air matanya, entah sudah yang keberapa kali, Rosa sampai tidak bisa menghitung. Langit yang menggelap sama sekali tidak membuat Rosa lantas bangkit dari depan makam dan beranjak pergi. Rosa masih diam di sana, sesekali berbicara dan menyeka air mata. "Aku akan jaga dia baik-baik, Bang. Pegang janjiku bahwa tidak akan ada yang bisa mengambil mereka selama aku masih hidup."Rosa menatap sekitar, agaknya ia mulai merasa tidak nyaman dengan kegelapan. Ia kembali fokus pada batu nisan itu, mengelus lembut nisan bertuliskan nama suaminya. "Kangen banget sama kamu, Bang. Pengen banget bisa ketemu sama kamu. Dalam mimpi pun tak apa." desis Rosa yang jujur sebenarnya ia belum ingin pergi. "Aku pamit pulang ya, Bang. Refal sama Adam sekarang. Dia bener-bener jaga Refal dengan baik."Rosa tersenyum, membetulkan letak mawar yang dia sengaja b
"Dia sudah tidur?" bisik Adam sambil tersenyum melihat betapa lelap Refal terlelap dalam pelukan sang istri. "Kau adalah satu-satunya lelaki yang boleh tidur dalam pelukan istriku, Fal!" gumam Adam yang kontan mendapat gebukan gemas di lengan Adam. "Eh serius, Sayang! Mana boleh ada yang tidur kamu keloni gini kecuali Refal sama anak kita besok?" gumam Adam tidak terima. Aline tampak menahan tawa, ia perlahan-lahan melepaskan tangan Refal yang memeluknya, menggeser duduknya perlahan lalu menatap Adam dengan tatapan serius. "Mas, aku rasa ini waktunya kita bi--""I see! Kita pindah ke depan!" potong Adam cepat. Nadanya nampak serius, membuat Aline telah senyum lalu bangkit dari duduknya. Dengan lembut Adam membawa istrinya keluar dari kamar, duduk di sofa yang tadi mereka gunakan untuk mengobrol bersama Refal sebelum bocah itu lantas mengantuk dan tertidur lelap. "Jadi, gimana?" tanya Aline membuka pembicaraan lebih dulu. Adam menoleh, menatap istrinya dengan saksama. "Papa ada
"Aku pengen punya anak lebih dari dua."Aline yang tengah menikmati sisa-sisa pelepasan dan tengah mencoba menetralkan napas kontan membelalak. Ia menoleh, menatap sang suami yang nampak tengah melakukan hal yang sama. "Hah? Lebih dari dua? Emang mau berapa, Mas?" tanya Aline terkejut."Tiga atau empat mungkin. Jadi papa tidak perlu pusing memikirkan calon pewaris. Cucunya banyak." jawabnya santai. Aline mendengus perlahan. Ada banyak sanggahan yang ingin dia katakan, namun lemas dan letih yang menderanya seolah-olah membungkam Aline dan membuatnya memilih diam sekarang. Ia kembali fokus menenangkan diri, hingga kemudian Aline membelalak seperti teringat sesuatu. "Kenapa?" tanya Adam ketika Aline bangkit dan meraih satu persatu pakaiannya. "Refal kita tinggal sendirian, Mas!" ujar Aline seraya cepat-cepat memakai baju. Tanpa menunggu jawaban dari Adam, Aline segera melesat keluar dari kamar. Tak peduli kasur mereka ukuran besar, meninggalkan anak seusia Refal sendirian itu cukup
Aline tersenyum melihat betapa lahap Refal menyantap roti selai cokelat yang tadi dia siapkan sendiri. Mulutnya menggembung, sangat mengemaskan sekali sampai-sampai Aline mengabaikan roti miliknya. "Mama nggak makan?"Kontan pertanyaan itu membuat Aline tersentak. Ia tersenyum sambil menatap sosok itu dengan begitu lembut. "Iya, ini mau makan kok. Abisnya kamu gemesin banget sih?" Aline mencubit pipi gembul itu dengan gemas, sementara Adam hanya melirik sekilas sambil mengulum senyum. Tidak pernah Adam bayangkan Aline akan bisa mengerti dan menerima Refal dengan sebaik ini. Dulu Adam kira, Aline akan pergi darinya karena kebohongan yang sudah Adam lakukan. Tapi nampaknya mereka masih berjodoh sampai sekarang. Sampai maut memisahkan kalau Adam boleh meminta.Refal hanya nyengir lebar, sisi mulutnya belepotan cokelat membuat Aline buru-buru meraih tisu guna memberikan cokelat yang mengotori mulut. "Habiskan, nanti mama anter pulang habis ini."Dengan patuh Refal mengangguk, ia kemba
"Bu, disuruh bapak ke ruangan."Baru saja Aline hendak membuka pintu ruang kerjanya, ketika sosok itu tiba-tiba sudah muncul dan mengabarkan pesan itu pada Aline. Pesan yang diintonasikan dengan sedikit berat yang artinya lagi adalah Aline harus segera menghadap. "Oh baik. Makasih, ya?" Aline segera meninggalkan pintu yang bahkan baru dia sentuh knopnya, melangkah menghampiri ruangan lain yang tidak jauh dari ruangan Aline. Aline menghela napas panjang, mengetuk pintu beberapa kali lalu menekan knopnya. Nampak Budi tengah meneliti satu per satu dokumen di meja, wajahnya terangkat menyunggingkan senyum manis yang begitu ramah. "Ah sudah datang rupanya. Sini duduk, Lin. Papa mau ada beberapa info."Aline mengangguk, segera menuruti apa yang Budi perintahkan kepadanya. Nampak map-map tebal berwarna hitam itu tergeletak di atas meja, membuat Aline sedikit bingung, apa lagi yang hendak mertuanya itu sampaikan pada dirinya? "Pertama-tama, papa cuma mau ingatkan besok kita berangkat jam
"Aku nggak bisa kesana, jadwal operasi mepet banget. Kamu makan siang sendiri nggak apa-apa kan, Sayang?"Aline memejamkan mata, menahan agar tidak suara helaan napas panjang yang tentu akan Adam sadari. Hal yang kemudian akan membuat lelaki itu bertanya, ada apa dengan Aline sekarang ini. "Tak apa. Aku bisa makan di dekat sini, Sayang. Kamu jangan lupa makan ya?" desis Aline setelah sukses mengendalikan diri. Disimpannya keinginan untuk menceritakan apa yang tadi dikatakan Budi padanya. Agaknya pun Budi belum menceritakan hal itu para Adam, buktinya Adam tidak berkata atau membahas apapun tentang rencana resign ayahnya. "Tentu. Aku makan di kantin paling. Semangat buat hari ini. Aku tunggu nanti di rumah."Seulas senyum merekah di wajah Aline, kepalanya spontan terangguk diikuti dengan jawaban yang keluar dari mulutnya. "Oke Sayang. See you.""See you. Love you!"Sambungan terputus, Aline tertegun menatap ponselnya, lalu meletakkan benda itu di atas meja. Nampak matanya menerawan
Adam menguap, ia segera bangkit dan melangkah keluar dari ruang prakteknya. Sepuluh menit lagi operasi dimulai, Adam sudah harus standby atau kalau tidak, akan ada beberapa menit waktu berharga yang terbuang sia-sia. "Adam!"Adam sontak berhenti, menoleh dan mendapati Aditya nampak berlari-lari kecil ke arahnya. Adam tersenyum, ada apa gerangan dokter bedah itu sampai sini? "Apa kabar? Angin apa yang membawamu sampai sini?" tanya Adam sambil mengulurkan tangan. "Habis tengok tetangga, opname di sini dia."Mereka berjabat tangan, lalu saling timpuk seperti kebiasaan mereka dulu. Tawa mereka pecah, lalu Adam kembali melangkah dengan Aditya berjalan di sisinya. "Mau ke OK? Ada jadwal perang, Dam?" tanya Adit sambil menatap Adam dengan saksama. "Iya. Bukankah sama dengan pekerjaanmu?" sahut Adam sambil melirik sekilas. "Masih betah rupanya ngaduk-aduk sama motongin jeroan? Nggak pengen kayak bokap aja? Tinggal duduk manis, kasih perintah dan nggak harus keluar masuk OK?"Adam terkek
"Astaga, beneran lowbat?" Aline segera me-charge ponselnya, untung dia selalu bawa powerbank. Di masukkan ponsel dan powerbank itu dalam tas lalu bergegas melangkah turun. "Mama!" Aline langsung mendengar teriakan itu, ia tersenyum, menunduk dengan tangan terentang guna menyambut Refal yang sudah berlari dengan penuh semangat ke arahnya. "Sudah pulang, ya? Aduh gantengnya anak mama!" Aline memeluk erat bocah itu, namun segera ia urungkan ketika sesosok perempuan paruh baya dengan seragam cokelat mendekatinya. "Ini dengan mbak Aline, ya? Tantenya Refal? Tadi mamanya sudah info kalau mbak Aline yang mau jemput."Aline tersenyum, ia segera menegakkan badan yang mengulurkan tangan pada sosok paruh baya itu. "Benar, Bu. Tadi mbak Rosa bilang kalau ada pekerjaan dadakan jadi nggak bisa jemput. Jadinya saya yang disuruh jemput."Wanita itu tersenyum, ia mengalihkan pandangan pada Refal yang langsung bergelayut manja pada Aline. Aline sendiri heran, bisa selengket ini Refal kepadanya? Seb