"Astaga, beneran lowbat?" Aline segera me-charge ponselnya, untung dia selalu bawa powerbank. Di masukkan ponsel dan powerbank itu dalam tas lalu bergegas melangkah turun. "Mama!" Aline langsung mendengar teriakan itu, ia tersenyum, menunduk dengan tangan terentang guna menyambut Refal yang sudah berlari dengan penuh semangat ke arahnya. "Sudah pulang, ya? Aduh gantengnya anak mama!" Aline memeluk erat bocah itu, namun segera ia urungkan ketika sesosok perempuan paruh baya dengan seragam cokelat mendekatinya. "Ini dengan mbak Aline, ya? Tantenya Refal? Tadi mamanya sudah info kalau mbak Aline yang mau jemput."Aline tersenyum, ia segera menegakkan badan yang mengulurkan tangan pada sosok paruh baya itu. "Benar, Bu. Tadi mbak Rosa bilang kalau ada pekerjaan dadakan jadi nggak bisa jemput. Jadinya saya yang disuruh jemput."Wanita itu tersenyum, ia mengalihkan pandangan pada Refal yang langsung bergelayut manja pada Aline. Aline sendiri heran, bisa selengket ini Refal kepadanya? Seb
"Aline di mana?"Budi sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Duduk di jok belakang dengan begitu santai. Tidak salah kalau diam-diam Budi mengawasi anak menantunya. Bukan hanya Aline, Adam pun juga dia awasi. Mereka satu-satunya harapan Budi untuk memiliki penerus. "Ini lagi makan di kedai cepat saji, Pak. Saya ada tidak jauh dari mbak Aline." lapor suara itu terdengar lirih. "Dia nggak tau kalo kamu ikutin, kan?" Sejauh ini, tidak ada yang pernah tahu kalo Budi selalu mengawasi keduanya tiap tidak ada di depan Budi. Tentunya setelah peristiwa kaburnya Aline dan apa saja rahasia pelik yang Adam sembunyikan. Bahkan Erma pun tidak tahu kalau suaminya ini membayar beberapa anak buah untuk mengawasi gerak-gerik keduanya. Hanya Budi anak para anak buah rahasia yang tahu tentang misi ini. "Aman, Pak. Tadi sih mbak Alien sempat celingak-celinguk dan lihat saya, tapi aman. Mbak Aline nggak ngenalin saya, Pak.""Syukurlah!" desis Budi lega. "Awasi terus, pastikan dia aman sampai di rumah.
Adam mengorek telinga sebelah kanannya begitu ia beres cuci tangan. Ada masalah apa dengan telinganya? SUngguh dengungan tadi sangat tidak nyaman dan menganggu sekali. Untung dia masih bisa fokus dan semua operasinya berjalan lancar, kalau tidak? Bisa-bisa Adam akan kena masalah lagi."Kenapa telingamu, Dam?" sapa Guntur yang nampaknya juga baru beres operasi."Nggak tahu nih, tadi sempet berdengung pas di dalem.""Idris udah balik sih, kalo enggak coba deh periksa." nampak dokter bedah tulang itu mencuci tangan di wastafel, sementara Adam, ia malah melangkah dan membuka loker miliknya.Tentu benda pertama yang dia ambil adalah ponsel. Ada banyak chat masuk di sana. Obrolan tidak jelas di grup Wh*tsApp teman-teman kuliah, sampai chat yang dia pin teratas memenuhi notifikasinya. Adam tidak langsung membuka pesan-pesan itu, ia malah membuka pembaruan status Aline, di mana dua foto yang dibagikan istrinya itu kontan membuat Adam terkikik dan mengerti kenapa telinganya bisa berdengung sep
Budi melangkah masuk ke kamar tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel. Ia tengah membaca chat di grup rahasia yang berisikan orang-orang yang diberi kepercayaan Budi untuk mengawasi dan melindungi Adam berserta Aline. Mereka tengah mencari tahu di mana lelaki psikopat itu berada, bagaimana pun Budi harus secepatnya mendapatkan kabar mengenai orang itu. "Astaga, Ma! Mau kemana?" tanya Budi yang terkejut melihat sang istri nampak tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Erma berhenti melipat pakaian, menoleh dan menatap gemas ke arah sangat suami. "Papa ini gimana sih? Besok jadi, kan? Katanya mau ke Bali?" ujar Erma balik bertanya. Budi kontan menepuk jidatnya seketika, ia memasukkan ponsel ke dalam saku dan mengabaikan grup chat yang sedari tadi dia simak dengan begitu serius. "Ya ampun, Ma! Kita cuma dua hari ke sana! Itu pun bakalan habis di hotel buat meeting dan lain-lain." jelas Budi yang masih tidak habis pikir, untuk apa istrinya bawa koper sebesar itu? "Ya kan yang
"Besok langsung pulang, ya?" Adam menatap Aline dengan saksama, seperti biasa malam ini mereka kembali melakukan agenda wajib. Dan sekarang, agenda wajib lain yang selalu mereka lakukan selepas memadu kasih. Saling deep talk sambil meluapkan cinta melalui sorot mata dan sisa deru napas mereka. "Iya lah, Mas. Kalo nggak langsung pulang mau kemana?" Aline tersenyum, kenapa ia begitu suka melihat Adam dalam kondisi kuyu selepas bercinta macam ini? Asyik memandangi Adam, Aline jadi teringat sesuatu. Matanya kontan membulat dengan ekspresi terkejut, sebuah ekspresi yang langsung membuat Adam ikut membulatkan mata. "Kenapa? Ada apa, Lin?" sorot khawatir tergambar di mata Adam, membuat Aline buru-buru tersadar dari rasa terkejutnya. "Aku lupa bilang sama kamu soal info dari papa." Kening Adam berkerut, info dari papa? Kenapa Adam merasa ada sesuatu hal yang direncakan oleh papanya? Ia masih begitu bernafsu menjadikan Adam sebagai penerus bisnisnya. Adam tahu betul! "Info apa lagi? Pap
Adam memarkirkan mobil di depan gedung hotel, nampak satu buah armada sudah ready di sana. Adan Budi, Erma dan beberapa orang berdiri di depan loby. "Turunlah, biar aku yang bawakan kopermu."Aline tersenyum, ia segera melangkah turun, mengayunkan kaki menghampiri mama dan papa mertua yang nampak tersenyum melihat kedatangannya."Kamu nggak ikut beneran, Dam?" Tanya Erma setengah menggoda, membuat lelaki yang tengah membawa koper itu kontan mengerucutkan bibir. "Kapan-kapan deh, Ma. Titip Aline ya, Ma?"Erma mengangguk sambil terkekeh, "Memangnya mau mama apakan sih Aline? Jangan khawatir begitu ah! Kayak sama siapa aja."Adam kontan nyengir sambil garuk-garuk kepala. Tidak salah kalau dia begitu khawatir pada istrinya. Jujur kaburnya Aline dulu membuat ia sedikit trauma. Ia takut kembali ditinggalkan!"Kalo gitu Adam pamit deh. Kalian safe flights, ya? Kabari kalau udah sampai!" Adam menoleh, menyodorkan tangan yang langsung disambut oleh Aline dengan segera. Nampak di balik senyu
“Nggak ngotak!” gerutu Aline begitu membuka chat yang dikirimkan Aleta kepadanya. Ia sudah duduk di travel yang membawanya dan beberapa orang lain dalam perjalanan dinas kali ini.Untung dia hanya duduk sendiri di depan, jadi tidak ada yang mendengar umpatan Aline yang dia tujukan pada saudari kembarnya itu. Aline segera menghubungi Aleta, untuk apa? Tentunya untuk memaki kakak kembarnya itu. Kenapa sih orang satu itu selalu menyebalkan sekali?“Halo ... jangan lupa pesanan aku, Bestie!” ujarnya dengan tawa tertahan.Rasanya kalau bisa, Aline ingin menghampiri gadis itu dan mengacak-acak rambutnya sampai kusut. Sayang sekali saat ini dia tengah berada dalam perjalanan menuju bandara dan harus bertolak ke Bali.“Kampret!” runtuk Aline kesal. “Katanya bisa dilipat terus di masukin ke tas? Tapi ini apa, Ta? Sebanyak ini alamat penuh sesak koper aku!” protes Aline kesal, ia merasa dibohongi.“Loh ... nota dan struk pembayarannya kan bisa kamu lipat dan masukin ke tas, kan?”APA?Aline men
Sambungan telepon sudah terputus, namun wajah Aleta masih saya terlihat berbinar dengan senyum merekah. Bayangan pernikahan yang sudah begitu lama dia impikan bersama Kelvin tergambar dalam otak. Akhirnya ... penantian Aleta terbayar sudah! Dia hanya akan menikahi lelaki yang dia mau dan jangan lupakan bahwa kedua orang tuanya pun sudah acc setuju. Apalagi yang hendak Aleta layangkan sebagai protes pada Tuhan? "Takdir Tuhan itu emang indah pada waktunya!" gumam Aleta dengan wajah cerah berbinar. Terlebih nampak Aline yang terpaksa dia tumbalkan, kini hidupnya begitu bahagia di sisi Adam. Agaknya memang kedua orang tua mereka tidak salah memilihkan jodoh untuk anak-anaknya, namun sekali lagi, Aleta hanya mau Kelvin, bukan Adam! Sementara Aleta tengah berbunga-bunga dan tidak sabar menantikan jam makan siang, di kursi penumpang first class salah satu maskapai terbaik yang dimiliki negeri ini, Aline tengah duduk dengan perasaan tidak tenang. Hamparan laut biru yang terbentang di baw
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny