"Besok langsung pulang, ya?" Adam menatap Aline dengan saksama, seperti biasa malam ini mereka kembali melakukan agenda wajib. Dan sekarang, agenda wajib lain yang selalu mereka lakukan selepas memadu kasih. Saling deep talk sambil meluapkan cinta melalui sorot mata dan sisa deru napas mereka. "Iya lah, Mas. Kalo nggak langsung pulang mau kemana?" Aline tersenyum, kenapa ia begitu suka melihat Adam dalam kondisi kuyu selepas bercinta macam ini? Asyik memandangi Adam, Aline jadi teringat sesuatu. Matanya kontan membulat dengan ekspresi terkejut, sebuah ekspresi yang langsung membuat Adam ikut membulatkan mata. "Kenapa? Ada apa, Lin?" sorot khawatir tergambar di mata Adam, membuat Aline buru-buru tersadar dari rasa terkejutnya. "Aku lupa bilang sama kamu soal info dari papa." Kening Adam berkerut, info dari papa? Kenapa Adam merasa ada sesuatu hal yang direncakan oleh papanya? Ia masih begitu bernafsu menjadikan Adam sebagai penerus bisnisnya. Adam tahu betul! "Info apa lagi? Pap
Adam memarkirkan mobil di depan gedung hotel, nampak satu buah armada sudah ready di sana. Adan Budi, Erma dan beberapa orang berdiri di depan loby. "Turunlah, biar aku yang bawakan kopermu."Aline tersenyum, ia segera melangkah turun, mengayunkan kaki menghampiri mama dan papa mertua yang nampak tersenyum melihat kedatangannya."Kamu nggak ikut beneran, Dam?" Tanya Erma setengah menggoda, membuat lelaki yang tengah membawa koper itu kontan mengerucutkan bibir. "Kapan-kapan deh, Ma. Titip Aline ya, Ma?"Erma mengangguk sambil terkekeh, "Memangnya mau mama apakan sih Aline? Jangan khawatir begitu ah! Kayak sama siapa aja."Adam kontan nyengir sambil garuk-garuk kepala. Tidak salah kalau dia begitu khawatir pada istrinya. Jujur kaburnya Aline dulu membuat ia sedikit trauma. Ia takut kembali ditinggalkan!"Kalo gitu Adam pamit deh. Kalian safe flights, ya? Kabari kalau udah sampai!" Adam menoleh, menyodorkan tangan yang langsung disambut oleh Aline dengan segera. Nampak di balik senyu
“Nggak ngotak!” gerutu Aline begitu membuka chat yang dikirimkan Aleta kepadanya. Ia sudah duduk di travel yang membawanya dan beberapa orang lain dalam perjalanan dinas kali ini.Untung dia hanya duduk sendiri di depan, jadi tidak ada yang mendengar umpatan Aline yang dia tujukan pada saudari kembarnya itu. Aline segera menghubungi Aleta, untuk apa? Tentunya untuk memaki kakak kembarnya itu. Kenapa sih orang satu itu selalu menyebalkan sekali?“Halo ... jangan lupa pesanan aku, Bestie!” ujarnya dengan tawa tertahan.Rasanya kalau bisa, Aline ingin menghampiri gadis itu dan mengacak-acak rambutnya sampai kusut. Sayang sekali saat ini dia tengah berada dalam perjalanan menuju bandara dan harus bertolak ke Bali.“Kampret!” runtuk Aline kesal. “Katanya bisa dilipat terus di masukin ke tas? Tapi ini apa, Ta? Sebanyak ini alamat penuh sesak koper aku!” protes Aline kesal, ia merasa dibohongi.“Loh ... nota dan struk pembayarannya kan bisa kamu lipat dan masukin ke tas, kan?”APA?Aline men
Sambungan telepon sudah terputus, namun wajah Aleta masih saya terlihat berbinar dengan senyum merekah. Bayangan pernikahan yang sudah begitu lama dia impikan bersama Kelvin tergambar dalam otak. Akhirnya ... penantian Aleta terbayar sudah! Dia hanya akan menikahi lelaki yang dia mau dan jangan lupakan bahwa kedua orang tuanya pun sudah acc setuju. Apalagi yang hendak Aleta layangkan sebagai protes pada Tuhan? "Takdir Tuhan itu emang indah pada waktunya!" gumam Aleta dengan wajah cerah berbinar. Terlebih nampak Aline yang terpaksa dia tumbalkan, kini hidupnya begitu bahagia di sisi Adam. Agaknya memang kedua orang tua mereka tidak salah memilihkan jodoh untuk anak-anaknya, namun sekali lagi, Aleta hanya mau Kelvin, bukan Adam! Sementara Aleta tengah berbunga-bunga dan tidak sabar menantikan jam makan siang, di kursi penumpang first class salah satu maskapai terbaik yang dimiliki negeri ini, Aline tengah duduk dengan perasaan tidak tenang. Hamparan laut biru yang terbentang di baw
"Istri baru urus kerjaan, eh di suruh pulang mulu!"Tentu Adam melonjak terkejut ketika suara itu yang kini menyapa telinganya secara tiba-tiba. Kenapa jadi ibunya yang memegang ponsel Aline? "Ah mama! Namanya juga jauh istri." bela Adam kepalang tanggung. "Ya tapikan Aline baru ngurus kerjaan, Dam. Demi kamu juga ini. Jangan diburu begitu ah!" suara itu kembali bergumam, membuat Adam kontan garuk-garuk kepala. "Iya deh iya. Titip Aline ya, Ma. Kalo macem-macem jewer aja telinganya." ujar Adam santai sambil bersandar di kursi. "APA?"Adam kembali melonjak, jika tadi dia terkejut karena mendadak mendengar nama sangat ibu, ini dia terkejut karena mendengar suara istrinya memekik dari ujung telepon. Adam mendesah perlahan, sungguh wanita itu memang sulit dimengerti. "Bilang apa tadi, Mas?" tanya suara itu yang lantas melukiskan senyum masam di wajah Adam. "Nggak Sayangku, enggak kok. Semangat ya kerjanya. Mas tutup dulu, udah ditunggu di OK. Bye Cintaku."Tut. Adam langsung memati
"Firasat aku nggak enak, Ta! Dari tadi kebayang kamu terus." jelas suara itu yang seketika membungkam Aleta. "Aku takut kamu kenapa-kenapa, kamu serius nggak apa-apa, kan?"Aleta menghela napas panjang. Mendadak dia menjadi sedikit parno. Mereka kembar, ikatan batin mereka begitu kuat dan sekarang ... Aline bilang kalau dia begitu khawatir kepadanya? Apa yang akan terjadi?"Jangan bikin takut aku, Lin! Aku baik-baik saja!" tegas Aleta sedikit panik. Bukan salah dia kalau khawatir, sudah berulangkali setiap ada sesuatu hal buruk terjadi, satu sama lain pasti bisa merasakan. "Aku bukan bermaksud bikin kamu takut, Ta. Aku cuma khawatir aja sama kamu, syukur kalo kamu baik-baik aja."Aleta menegang, wajahnya seketika pucat. Aline belum pernah sekhawatir ini, apakah ini artinya ... "Please, tolong suruh Kelvin anter kemana aja kamu pengen pergi. Jangan sendirian, oke?" ujar suara itu yang malah makin membuat Aleta membisu. "Aku tutup dulu, Ta. Inget pesenku, hati-hati. Maaf nggak bisa ja
Kelvin menghentikan mobilnya di depan loby kantor tempat Aleta bekerja. Nampak gadis kesayangannya itu sudah berdiri di sana dan segera melangkah menghampiri mobil begitu sadar Kelvin sudah standby menjemput dirinya. "Loh, mau diajak makan siang kok cemberut, Sayang? Ada masalah di kerjaan?" tanya Kelvin yang langsung bisa membaca raut wajah sang kekasih. Aleta memakai seat beltnya, ia menoleh menatap Kelvin, sementara Kelvin sudah fokus membawa mobilnya pergi dari sana. "Nggak sih, semua baik. Cuma ...." Aleta tidak melanjutkan kalimatnya, membuat Kelvin menoleh sejenak untuk menatap wajah itu. "Cuma apa? Kok kayak sedih gitu? Ayolah cerita kamu ada apa, Sayang? Nggak disuruh nikah sama orang lain lagi, kan?" tanya Kelvin yang teringat terakhir kali mendapati Aleta dalam kondisi seperti ini adalah ketika mengabarkan ia hendak dinikahkan dengan Adam. Kontan Aleta menggebuk lengan Kelvin, hampir membuat lelaki itu melonjak karena terkejut. Wajahnya makin cemberut, membuat Kelvin t
"Line, udah siap semua, kan?"Aline kontan mengangguk. Di tangannya sudah berada tas laptop dan beberapa map berisi berkas yang akan mereka bahas pada meeting siang ini. Ia sudah bersiap dengan Samuel dan Cindy. Erma? Jangan tanyakan kemana mama mertuanya itu berada, dia pastinya sudah berjemur di pinggir pantai dengan kelapa muda sebagai teman. "Sudah siap semua, Pa. Kita kesana sekarang?" tanya Aline yang masih berusaha keras mengabaikan sejenak perasaan tidak enak yang sejak tadi menderanya. Ia masih begitu khawatir pada Aleta dan demi apapun itu, perasaan khawatir itu makin kuat dan makin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu. Tidak peduli bahwa tadi mereka sudah saling bertukar kabar dan Aleta mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. "Kalian ke sana dulu. Papa ada urusan sebentar. Cuma sepuluh menit paling. Nanti papa nyusul."Aline tersenyum, kepalanya mengangguk cepat. Ia lantas menoleh pada Samuel dan Cindy yang untungnya langsung menangkap kode yang Aline berikan. Keduanya l
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g