Sambungan telepon sudah terputus, namun wajah Aleta masih saya terlihat berbinar dengan senyum merekah. Bayangan pernikahan yang sudah begitu lama dia impikan bersama Kelvin tergambar dalam otak. Akhirnya ... penantian Aleta terbayar sudah! Dia hanya akan menikahi lelaki yang dia mau dan jangan lupakan bahwa kedua orang tuanya pun sudah acc setuju. Apalagi yang hendak Aleta layangkan sebagai protes pada Tuhan? "Takdir Tuhan itu emang indah pada waktunya!" gumam Aleta dengan wajah cerah berbinar. Terlebih nampak Aline yang terpaksa dia tumbalkan, kini hidupnya begitu bahagia di sisi Adam. Agaknya memang kedua orang tua mereka tidak salah memilihkan jodoh untuk anak-anaknya, namun sekali lagi, Aleta hanya mau Kelvin, bukan Adam! Sementara Aleta tengah berbunga-bunga dan tidak sabar menantikan jam makan siang, di kursi penumpang first class salah satu maskapai terbaik yang dimiliki negeri ini, Aline tengah duduk dengan perasaan tidak tenang. Hamparan laut biru yang terbentang di baw
"Istri baru urus kerjaan, eh di suruh pulang mulu!"Tentu Adam melonjak terkejut ketika suara itu yang kini menyapa telinganya secara tiba-tiba. Kenapa jadi ibunya yang memegang ponsel Aline? "Ah mama! Namanya juga jauh istri." bela Adam kepalang tanggung. "Ya tapikan Aline baru ngurus kerjaan, Dam. Demi kamu juga ini. Jangan diburu begitu ah!" suara itu kembali bergumam, membuat Adam kontan garuk-garuk kepala. "Iya deh iya. Titip Aline ya, Ma. Kalo macem-macem jewer aja telinganya." ujar Adam santai sambil bersandar di kursi. "APA?"Adam kembali melonjak, jika tadi dia terkejut karena mendadak mendengar nama sangat ibu, ini dia terkejut karena mendengar suara istrinya memekik dari ujung telepon. Adam mendesah perlahan, sungguh wanita itu memang sulit dimengerti. "Bilang apa tadi, Mas?" tanya suara itu yang lantas melukiskan senyum masam di wajah Adam. "Nggak Sayangku, enggak kok. Semangat ya kerjanya. Mas tutup dulu, udah ditunggu di OK. Bye Cintaku."Tut. Adam langsung memati
"Firasat aku nggak enak, Ta! Dari tadi kebayang kamu terus." jelas suara itu yang seketika membungkam Aleta. "Aku takut kamu kenapa-kenapa, kamu serius nggak apa-apa, kan?"Aleta menghela napas panjang. Mendadak dia menjadi sedikit parno. Mereka kembar, ikatan batin mereka begitu kuat dan sekarang ... Aline bilang kalau dia begitu khawatir kepadanya? Apa yang akan terjadi?"Jangan bikin takut aku, Lin! Aku baik-baik saja!" tegas Aleta sedikit panik. Bukan salah dia kalau khawatir, sudah berulangkali setiap ada sesuatu hal buruk terjadi, satu sama lain pasti bisa merasakan. "Aku bukan bermaksud bikin kamu takut, Ta. Aku cuma khawatir aja sama kamu, syukur kalo kamu baik-baik aja."Aleta menegang, wajahnya seketika pucat. Aline belum pernah sekhawatir ini, apakah ini artinya ... "Please, tolong suruh Kelvin anter kemana aja kamu pengen pergi. Jangan sendirian, oke?" ujar suara itu yang malah makin membuat Aleta membisu. "Aku tutup dulu, Ta. Inget pesenku, hati-hati. Maaf nggak bisa ja
Kelvin menghentikan mobilnya di depan loby kantor tempat Aleta bekerja. Nampak gadis kesayangannya itu sudah berdiri di sana dan segera melangkah menghampiri mobil begitu sadar Kelvin sudah standby menjemput dirinya. "Loh, mau diajak makan siang kok cemberut, Sayang? Ada masalah di kerjaan?" tanya Kelvin yang langsung bisa membaca raut wajah sang kekasih. Aleta memakai seat beltnya, ia menoleh menatap Kelvin, sementara Kelvin sudah fokus membawa mobilnya pergi dari sana. "Nggak sih, semua baik. Cuma ...." Aleta tidak melanjutkan kalimatnya, membuat Kelvin menoleh sejenak untuk menatap wajah itu. "Cuma apa? Kok kayak sedih gitu? Ayolah cerita kamu ada apa, Sayang? Nggak disuruh nikah sama orang lain lagi, kan?" tanya Kelvin yang teringat terakhir kali mendapati Aleta dalam kondisi seperti ini adalah ketika mengabarkan ia hendak dinikahkan dengan Adam. Kontan Aleta menggebuk lengan Kelvin, hampir membuat lelaki itu melonjak karena terkejut. Wajahnya makin cemberut, membuat Kelvin t
"Line, udah siap semua, kan?"Aline kontan mengangguk. Di tangannya sudah berada tas laptop dan beberapa map berisi berkas yang akan mereka bahas pada meeting siang ini. Ia sudah bersiap dengan Samuel dan Cindy. Erma? Jangan tanyakan kemana mama mertuanya itu berada, dia pastinya sudah berjemur di pinggir pantai dengan kelapa muda sebagai teman. "Sudah siap semua, Pa. Kita kesana sekarang?" tanya Aline yang masih berusaha keras mengabaikan sejenak perasaan tidak enak yang sejak tadi menderanya. Ia masih begitu khawatir pada Aleta dan demi apapun itu, perasaan khawatir itu makin kuat dan makin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu. Tidak peduli bahwa tadi mereka sudah saling bertukar kabar dan Aleta mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. "Kalian ke sana dulu. Papa ada urusan sebentar. Cuma sepuluh menit paling. Nanti papa nyusul."Aline tersenyum, kepalanya mengangguk cepat. Ia lantas menoleh pada Samuel dan Cindy yang untungnya langsung menangkap kode yang Aline berikan. Keduanya l
Aline benar-benar tidak fokus dengan apa yang disampaikan di depan. Kepalanya pusing, bayangan Aleta terus menari-nari dalam pikiran. Apa yang sebenarnya terjadi? Aleta baik-baik saja, kan? "Jadi sudah mengerti dengan pemaparan yang saya sampaikan barusan? Saya mau ada perubahan di departemen FO, tidak melulu harus ganti personil. Saya rasa memang perlu evaluasi mendalam sejak dulu di bagian ini."Suara Budi bahkan hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pandangan Aline fokus pada layar laptopnya, namun pikiran Aline tidak ada di sini. Berada jauh di sana bersama sosok yang sejak tadi terus berkelebat dalam pikiran Aline. "Sebelumnya izin, Bapak. Saya pribadi sebagai perwakilan departemen FO sedikit keberatan dengan apa yang baru Bapak sampaikan menge--"Kini suara-suara itu hanya berdengung di telinga Aline. Pikirannya makin kalut. Harus bagaimana dia sekarang? Apa yang harus Aline lakukan agar semua pikiran ini lenyap dari otaknya?"Perlu digarisbawahi bahwa s
"Ayo ke rumah sakit!" Budi nampak panik, menantunya tumbang di tengah-tengah meeting sedang berlangsung. Wajahnya pucat dengan keringat dingin mengucur dari dahi. "Ng-nggak perlu, Pa. Aline baik-baik saja." tolak Aline dengan bibir bergetar, ada apa dengan menantunya ini? "Kamu pucet banget, Lin! Ayo ke dokter dulu! Kalo sampai kamu kenapa-kenapa Adam bisa ngamuk nanti!" wajah Budi berubah tegang, tentu dia tidak akan lupa kalau anak semata wayangnya itu begitu mencintai sang istri. Kalau sampai Aline kenapa-kenapa, bisa mengamuk Adam. Aline hendak menggeleng, namun Budi lebih cepat bereaksi dengan melotot sedikit tajam. Membuat wanita itu akhirnya memejamkan mata dan mengangguk perlahan. Budi segera mengangkat wajah, menatap salah seorang manajer yang berdiri tidak jauh darinya. "Tolong siapkan mobil! Meeting kita pending dulu. Kita lanjutkan setelah menantu saja diperiksa." titah Budi dengan tegas. "Baik, Pak!"Tanpa banyak bicara lagi, beberapa orang bubar dan mempersiapkan ap
"Pelan-pelan, Lin!" Erma menerima tangan Aline, membantu menantunya itu turun dari mobil. Ia masih dengan kaos dan kain pantai. Untung saja ia sudah insyaf pakai bikini semenjak Adam SMA, kalau tidak sudah bisa dipastikan dia menyusul ke rumah sakit dengan tubuh yang hanya tertutup bikini berwarna cerah. Aline mengangguk, wajahnya masih pucat dan baru saja kakinya menapak di tanah, Aline membelalakkan mata, ia menutup mulut dengan tangan, melepaskan genggaman tangan Erma dan berlari mendekati sebuah selokan. Dengan sekonyong-konyong Aline menumpahkan semua isi perutnya di sana. Mendadak perutnya terasa seperti diaduk dan begitu sampai di depan rumah sakit, ia sudah tidak tahan lagi. "Astaga, Lin! Kamu kenapa sih, Nak? Kenapa mendadak begini? Salah makan?" Erma makin panik, dipijitnya tengkuk Aline dengan perlahan, ia lantas menoleh dan menatap sang suami yang nampak terlihat panik. "Dia habis makan apa sih, Pa?""Nggak makan apa-apa. Terakhir makan besar siang tadi sama-sama, kan?