Kelvin menghentikan mobilnya di depan loby kantor tempat Aleta bekerja. Nampak gadis kesayangannya itu sudah berdiri di sana dan segera melangkah menghampiri mobil begitu sadar Kelvin sudah standby menjemput dirinya. "Loh, mau diajak makan siang kok cemberut, Sayang? Ada masalah di kerjaan?" tanya Kelvin yang langsung bisa membaca raut wajah sang kekasih. Aleta memakai seat beltnya, ia menoleh menatap Kelvin, sementara Kelvin sudah fokus membawa mobilnya pergi dari sana. "Nggak sih, semua baik. Cuma ...." Aleta tidak melanjutkan kalimatnya, membuat Kelvin menoleh sejenak untuk menatap wajah itu. "Cuma apa? Kok kayak sedih gitu? Ayolah cerita kamu ada apa, Sayang? Nggak disuruh nikah sama orang lain lagi, kan?" tanya Kelvin yang teringat terakhir kali mendapati Aleta dalam kondisi seperti ini adalah ketika mengabarkan ia hendak dinikahkan dengan Adam. Kontan Aleta menggebuk lengan Kelvin, hampir membuat lelaki itu melonjak karena terkejut. Wajahnya makin cemberut, membuat Kelvin t
"Line, udah siap semua, kan?"Aline kontan mengangguk. Di tangannya sudah berada tas laptop dan beberapa map berisi berkas yang akan mereka bahas pada meeting siang ini. Ia sudah bersiap dengan Samuel dan Cindy. Erma? Jangan tanyakan kemana mama mertuanya itu berada, dia pastinya sudah berjemur di pinggir pantai dengan kelapa muda sebagai teman. "Sudah siap semua, Pa. Kita kesana sekarang?" tanya Aline yang masih berusaha keras mengabaikan sejenak perasaan tidak enak yang sejak tadi menderanya. Ia masih begitu khawatir pada Aleta dan demi apapun itu, perasaan khawatir itu makin kuat dan makin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu. Tidak peduli bahwa tadi mereka sudah saling bertukar kabar dan Aleta mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. "Kalian ke sana dulu. Papa ada urusan sebentar. Cuma sepuluh menit paling. Nanti papa nyusul."Aline tersenyum, kepalanya mengangguk cepat. Ia lantas menoleh pada Samuel dan Cindy yang untungnya langsung menangkap kode yang Aline berikan. Keduanya l
Aline benar-benar tidak fokus dengan apa yang disampaikan di depan. Kepalanya pusing, bayangan Aleta terus menari-nari dalam pikiran. Apa yang sebenarnya terjadi? Aleta baik-baik saja, kan? "Jadi sudah mengerti dengan pemaparan yang saya sampaikan barusan? Saya mau ada perubahan di departemen FO, tidak melulu harus ganti personil. Saya rasa memang perlu evaluasi mendalam sejak dulu di bagian ini."Suara Budi bahkan hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pandangan Aline fokus pada layar laptopnya, namun pikiran Aline tidak ada di sini. Berada jauh di sana bersama sosok yang sejak tadi terus berkelebat dalam pikiran Aline. "Sebelumnya izin, Bapak. Saya pribadi sebagai perwakilan departemen FO sedikit keberatan dengan apa yang baru Bapak sampaikan menge--"Kini suara-suara itu hanya berdengung di telinga Aline. Pikirannya makin kalut. Harus bagaimana dia sekarang? Apa yang harus Aline lakukan agar semua pikiran ini lenyap dari otaknya?"Perlu digarisbawahi bahwa s
"Ayo ke rumah sakit!" Budi nampak panik, menantunya tumbang di tengah-tengah meeting sedang berlangsung. Wajahnya pucat dengan keringat dingin mengucur dari dahi. "Ng-nggak perlu, Pa. Aline baik-baik saja." tolak Aline dengan bibir bergetar, ada apa dengan menantunya ini? "Kamu pucet banget, Lin! Ayo ke dokter dulu! Kalo sampai kamu kenapa-kenapa Adam bisa ngamuk nanti!" wajah Budi berubah tegang, tentu dia tidak akan lupa kalau anak semata wayangnya itu begitu mencintai sang istri. Kalau sampai Aline kenapa-kenapa, bisa mengamuk Adam. Aline hendak menggeleng, namun Budi lebih cepat bereaksi dengan melotot sedikit tajam. Membuat wanita itu akhirnya memejamkan mata dan mengangguk perlahan. Budi segera mengangkat wajah, menatap salah seorang manajer yang berdiri tidak jauh darinya. "Tolong siapkan mobil! Meeting kita pending dulu. Kita lanjutkan setelah menantu saja diperiksa." titah Budi dengan tegas. "Baik, Pak!"Tanpa banyak bicara lagi, beberapa orang bubar dan mempersiapkan ap
"Pelan-pelan, Lin!" Erma menerima tangan Aline, membantu menantunya itu turun dari mobil. Ia masih dengan kaos dan kain pantai. Untung saja ia sudah insyaf pakai bikini semenjak Adam SMA, kalau tidak sudah bisa dipastikan dia menyusul ke rumah sakit dengan tubuh yang hanya tertutup bikini berwarna cerah. Aline mengangguk, wajahnya masih pucat dan baru saja kakinya menapak di tanah, Aline membelalakkan mata, ia menutup mulut dengan tangan, melepaskan genggaman tangan Erma dan berlari mendekati sebuah selokan. Dengan sekonyong-konyong Aline menumpahkan semua isi perutnya di sana. Mendadak perutnya terasa seperti diaduk dan begitu sampai di depan rumah sakit, ia sudah tidak tahan lagi. "Astaga, Lin! Kamu kenapa sih, Nak? Kenapa mendadak begini? Salah makan?" Erma makin panik, dipijitnya tengkuk Aline dengan perlahan, ia lantas menoleh dan menatap sang suami yang nampak terlihat panik. "Dia habis makan apa sih, Pa?""Nggak makan apa-apa. Terakhir makan besar siang tadi sama-sama, kan?
Aline melonjak mendengar kalimat itu. Dia hamil? Jadi suaminya itu mengira bahwa dia sekarang ini tengah hamil? Pikiran Aline jadi makin semrawut kemana-mana, ia masih belum tenang alias masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Aleta. Apakah semua hal yang dia alami ini adalah pertanda bahwa saudara kembarnya itu sedang tidak baik-baik saja?"Oke, biar mama suruh periksa kalo gitu."Aline menoleh, tepat saat yang sama Erma pun menoleh dan menatap ke arahnya. Wajah itu tersenyum, membuat hati Aline sedikit menghangat dan terasa sedikit lebih tenang."Diperiksa sekali lagi, ya? Adam yang suruh.""Ah ... Ma!" Aline meraih tangan Erma sebelum sosok itu pergi meninggalkan dirinya dan memanggil dokter, ia menahan Erma untuk tidak pergi dari sisinya."Ya? Ada yang sakit? Apa mau muntah lagi?" wajah yang tadi nampak sumringah mendadak kembali panik.Aline kontan menggeleng perlahan, "Bukan begitu, Ma. Tapi Aline rasa tidak perlu."Kening Erma berkerut, "Apanya yang tidak per
Adam dengan tergesa memarkirkan mobil di halaman restoran yang penuh sesak itu. Anehnya pengunjung nampak berdiri melihat sesuatu, meja dan kursi kosong, bahkan beberapa nampak meninggalkan restoran dengan wajah pucat dan bergidik ngeri.Ada mobil polisi di sana, membuat Adam yakin bahwa dugaannya benar dan tidak meleset. Tapi kali ini, siapa yang jadi korban?"Aleta!" Adam memekik, buru-buru turun dari mobil dan setengah berlari memasuki restoran."Maaf, Pak. Sedang ada pemeriksaan dari kepolisian, jadi untuk pengunjung baru tidak diperkenankan masuk ke dalam." cegah seorang lelaki dengan hem batik dan celana hitam."Mas ... temen sama adik ipar saya tadi nelepon, saya disuruh nyusul ke sini. Mereka lagi ada masalah. Di mana mereka sekarang?"Nampak lelaki itu membulatkan mata, ia segera menoleh, mencari seseorang hingga kemudian seorang petugas kepolisian mendekat."Maaf, Pak, restoran tutup sementara. Mohon Bapak segera mening--""Pak ... saya kesini ditelpon temen sama adik ipar s
"APA?"Budi berteriak keras, untung dia susah berada di luar IGD sekarang, kalau tidak ... dia bisa diusir security keluar dari IGD. Matanya melotot tajam, keringatnya mengucur deras. Ponsel masih menempel di telinga, ia masih menyimak suara dari seberang yang melaporkan semua dengan detail tentang kemana Adam pergi dan masalah apa lagi yang tengah dihadapi oleh anak semata wayangnya. "Dia dibawa kemana sekarang?"Jika dulu pahlawan yang muncul sebagai penyelamat adalah Romi, kini istrinya. Jika dulu yang diincar adalah Adam, kini istrinya yang secara kebetulan bukan Aline yang ada di lokasi, melainkan Aleta! Saudari kembar Aline. "Ke rumah sakit, Pak. Satu dari kami ikut ke sana. Entah masih hidup atau tidak, yang jelas tadi kami tidak bisa masuk ke dalam dan hanya melihat dia dibawa masuk ke dalam ambulance."Budi menghela napas panjang. Satu masalah belum beres, sudah ada masalah lain lagi. Sialnya Budi tidak ada di sana. Dia sedang jauh ada di sini. Masih ada masalah yang belum
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak