"APA?"Budi berteriak keras, untung dia susah berada di luar IGD sekarang, kalau tidak ... dia bisa diusir security keluar dari IGD. Matanya melotot tajam, keringatnya mengucur deras. Ponsel masih menempel di telinga, ia masih menyimak suara dari seberang yang melaporkan semua dengan detail tentang kemana Adam pergi dan masalah apa lagi yang tengah dihadapi oleh anak semata wayangnya. "Dia dibawa kemana sekarang?"Jika dulu pahlawan yang muncul sebagai penyelamat adalah Romi, kini istrinya. Jika dulu yang diincar adalah Adam, kini istrinya yang secara kebetulan bukan Aline yang ada di lokasi, melainkan Aleta! Saudari kembar Aline. "Ke rumah sakit, Pak. Satu dari kami ikut ke sana. Entah masih hidup atau tidak, yang jelas tadi kami tidak bisa masuk ke dalam dan hanya melihat dia dibawa masuk ke dalam ambulance."Budi menghela napas panjang. Satu masalah belum beres, sudah ada masalah lain lagi. Sialnya Budi tidak ada di sana. Dia sedang jauh ada di sini. Masih ada masalah yang belum
"Mbak Aline, ini ponselnya."Aline tersenyum, ia langsung menerima barang yang sudah sejak tadi begitu ia cari. Benda yang tadi tertinggal begitu saja ketika tumbuhnya ambruk di sela-sela meeting berlangsung."Makasih banyak ya, Mbak." Aline tersenyum, ia menurut saja ketika Erma bergegas membawanya masuk ke dalam kamar."Nah ... kamu sekarang istirahat aja. Nggak usah mikir meeting dan lain-lain. Biar diurus sama papamu." Aline mengangguk pelan, ia menatap mama mertuanya yang semula terlihat begitu horor di mata Aline, ternyata menjelma menjadi mama mertua yang begitu lembut dan baik kepadanya."Maaf ... gara-gara Aline, acara mama liburan jadi kacau."Erma terkekeh, ia menepuk lembut bahu Aline, mengelus lembut pipinya dengan sorot mata hangat."Ngomong apa sih? Kamu itu otomatis jadi anak mama begitu nikah sama Adam, Lin. Jadi jangan pernah ada pikiran macam itu, oke?"Senyum Aline merekah, pernikahan yang semula Aline pikir adalah sebuah bencana, berubah menjadi sebuah pernikahan
Aleta baru saja beres memakai sabuk pengaman, ketika kemudian suara dering itu terdengar begitu nyaring. Itu suara ponsel Aleta! Ia kontan menoleh, membuat Kelvin tersenyum dan menyodorkan benda itu ke arah Aleta. "Aline nih, coba angkat."Aleta segera meraih benda itu, mengangkat panggilan Aline dan mulai menyimak apa yang hendak saudari kembarnya berbicara. "Halo, kenapa, Lin?" secara tidak langsung, Aleta sudah paham kenapa saudari kembarnya itu menelepon. Ia tentu ingat kalau beberapa saat yang lalu, sebelum kejadian, Aline sudah panik menelepon dirinya dan mengatakan bahwa begitu khawatir kepada Aleta. "Ta, kamu nggak apa-apa? Kata mas A--""Calm, Lin! Aku baik-baik aja. Adam udah cerita, ya?" potong Aleta sebelum kepanikan Aline makin menjadi-jadi. "Syukurlah! Aku sampe mau semaput tadi. Serius kamu nggak apa-apa? Ada yang luka? Gimana kejadiannya sih? Mas Adam belum cerita detail karena dia buru-buru ada operasi." cerocos Aline panjang lebar yang kontan membuat Aleta terkek
[ Jangan khawatir, Refal akan aku urus. Setelah jemput dia, aku kesana. ]Rosa menghela napas panjang, ia masih berada di dalam ruang penyidik. Seorang diri dengan pintu ditutup dari luar. Polisi di sini baik-baik, ia bahkan dibuatkan segelas teh hangat dan dibelikan nasi kotak. Namun Rosa sama sekali tidak tertarik dengan itu semua. Ia sibuk membalas pesan teman-temannya di rumah sakit. Pasti savitri sudah bercerita apa alasan yang membuat Rosa tidak kembali setelah makan siang. Hati Rosa sedikit lebih tenang, Refal sudah aman bersama Adam. Lelaki yang selalu dia andalkan setelah kematian Romi. "Dia yang dulu nusuk kamu secara tidak sengaja, kan, Bang?" desis Rosa lirih yang mendadak teringat Romi. "Aku pukul dia tadi. Satu pukulan untuk mencegah dia melakukan kejahatan yang sama dan du--"Bibir Rosa bergegar, air matanya tumpah. Jujur di lubuk hati paling dalam, ada sebuah kepuasan tidak terkira yang mencengkeram kuat hatinya ketika dia menghantamkan vas itu keras-keras ke kepala
"Pa, itu mama?" Refal berteriak girang ketika mobil berhenti di depan gerbang. Aleta sudah berdiri di sana, membuat Adam menoleh ke arah Refal dan menggeleng perlahan. "Itu bukan mama Aline, Sayang!" jelas Adam dengan senyum tertahan, ia segera melepas seat belt lalu melangkah turun, diikuti Arman yang nampak sangat takut Adam kabur. Padahal memang Adam hendak kabur kemana? Aneh-aneh saja! Tapi bukankah itu memang sudah tugas Arman mengawal dan membawa Adam ke kantor hari ini setelah kejadian tadi? "Mana Refal, Dam?" tanya Aleta ketika Adam melangkah ke arahnya. "Di sini. Nanti kamu ajak dia video call Aline aja, Ta. Intinya jangan menyinggung kejadian tadi sama sekali." pesan Adam yang langsung membuat Aleta cemberut. "Gila apa! Nggak mungkin lah, Dam!" gerutunya dengan bibir mengerucut. Arman yang berdiri di dekat pintu mobil hanya membisu, tidak bersuara sama sekali sampai kemudian anak kecil itu Adam turunkan. "Halo, Sayang!" sapa Aleta dengan begitu manis. "Mama?"Kening
"Titip Refal ya, Dam!"Malam telah larut, dan benar! Rosa sama sekali tidak diizinkan pulang. Mata Adam memerah, ia menatap Rosa yang masih duduk di kursinya. Adam yang semula ingin bangkit dari kursi tempat dia duduk, segera dia urungkan. Ditatapnya Rosa dengan saksama. "Kenapa kamu senekat tadi, Ros?" tanya Adam yang masih tidak mengerti. Rosa tersenyum getir, bayangan air mata tergambar di pelupuk mata. Adam menghela napas panjang, ia sama sekali tidak menyangka kejadian horor beberapa tahun yang lalu kembali terulang dengan versi, target dan ending yang berbeda."Aku tidak mau ada orang tidak bersalah lain yang harus meregang nyawa, Dam. Rasanya sakit sekali berada di posisiku." jelas Rosa dengan air mata berlinang."Tapi kamu jadi kena masalah kayak gini, Ros.""Tidak apa. Yang penting aku puas bisa balas apa yang sudah dia lakukan ke papanya Refal, Dam. Meskipun rasanya masih kurang dan semua yang tadi aku lakukan tidak bisa membuat bang Romi kembali lagi."Kini Adam paham, ke
Air mata Adam sama sekali tidak bisa berhenti. Ia sudah mencuri start membaca sepucuk surat yang Rosa tuliskan untuk Refal tadi, sebuah untaian kalimat yang isinya sembilan puluh persen kebohongan. Ya ... semua itu bohong kecuali ungkapan perasaan yang ditulis Rosa untuk Refal. Rasanya Adam begitu takut untuk kembali pulang. Bagaimana kalau Refal mempertanyakan Rosa? Apakah Refal akan begitu saja percaya pada sepucuk surat yang Rosa tulis? Adam harus jawab apa? "Dia emang seneng banget pas sama aku, sama Aline, tapi jangan lupa, Ros, kamu ibu kandung dia! Kamu yang benar-benar Refal butuhkan, bukan aku atau Aline." Adam terisak, ini kali kedua dia menangis karena pasangan itu. Dulu Adam seperti ini karena aksi heroik Romi melindunginya, sekarang? Gantian Rosa yang membuat Adam menangis karena aksi heroiknya. Apakah ini yang dinamakan sehati? Jodoh? Atau apalah itu namanya? "Apa benar kata papa kalo aku seharusnya nggak jadi dokter? Kalo dulu aku nggak nekat, mungkin nggak akan kej
Adam tertegun sejenak. Mobilnya sudah dia bawa masuk ke dalam halaman rumah. Nampak mobil Kelvin masih di sana, belum bergerak sedikitpun. Adam terpekur di joknya. Ada rasa bimbang yang membuatnya begitu takut untuk turun. "Papa harus jelasin yang bagaimana, Fal? Sanggup nggak papa bohong sama kamu kayak apa yang mamamu tulis?" desis Adam putus asa. Kembali air mata Adam mengambang, ia sudah lelah menangis sebenarnya, tapi apa boleh buat? Dia sama sekali tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. "Harus kuat, Dam! Kau sudah janji di depan makam abangmu!" dengan segera Adam menghapus air mata, ia melepas seat belt, melangkah turun dari mobil dengan tubuh tegap dan gagah, tidak peduli sebenarnya dalam hati, Adam bahkan sama sekali tidak punya nyali. Pintu tidak dikunci, bukan masalah serius karena gerbang depan selalu dijaga oleh pak Ugi. Nampak lampu-lampu sudah dimatikan, diganti dengan lampu kecil bercahaya minim. Adam menatap nanar tangga yang akan mengantarkan dia ke lantai