Aleta baru saja beres memakai sabuk pengaman, ketika kemudian suara dering itu terdengar begitu nyaring. Itu suara ponsel Aleta! Ia kontan menoleh, membuat Kelvin tersenyum dan menyodorkan benda itu ke arah Aleta. "Aline nih, coba angkat."Aleta segera meraih benda itu, mengangkat panggilan Aline dan mulai menyimak apa yang hendak saudari kembarnya berbicara. "Halo, kenapa, Lin?" secara tidak langsung, Aleta sudah paham kenapa saudari kembarnya itu menelepon. Ia tentu ingat kalau beberapa saat yang lalu, sebelum kejadian, Aline sudah panik menelepon dirinya dan mengatakan bahwa begitu khawatir kepada Aleta. "Ta, kamu nggak apa-apa? Kata mas A--""Calm, Lin! Aku baik-baik aja. Adam udah cerita, ya?" potong Aleta sebelum kepanikan Aline makin menjadi-jadi. "Syukurlah! Aku sampe mau semaput tadi. Serius kamu nggak apa-apa? Ada yang luka? Gimana kejadiannya sih? Mas Adam belum cerita detail karena dia buru-buru ada operasi." cerocos Aline panjang lebar yang kontan membuat Aleta terkek
[ Jangan khawatir, Refal akan aku urus. Setelah jemput dia, aku kesana. ]Rosa menghela napas panjang, ia masih berada di dalam ruang penyidik. Seorang diri dengan pintu ditutup dari luar. Polisi di sini baik-baik, ia bahkan dibuatkan segelas teh hangat dan dibelikan nasi kotak. Namun Rosa sama sekali tidak tertarik dengan itu semua. Ia sibuk membalas pesan teman-temannya di rumah sakit. Pasti savitri sudah bercerita apa alasan yang membuat Rosa tidak kembali setelah makan siang. Hati Rosa sedikit lebih tenang, Refal sudah aman bersama Adam. Lelaki yang selalu dia andalkan setelah kematian Romi. "Dia yang dulu nusuk kamu secara tidak sengaja, kan, Bang?" desis Rosa lirih yang mendadak teringat Romi. "Aku pukul dia tadi. Satu pukulan untuk mencegah dia melakukan kejahatan yang sama dan du--"Bibir Rosa bergegar, air matanya tumpah. Jujur di lubuk hati paling dalam, ada sebuah kepuasan tidak terkira yang mencengkeram kuat hatinya ketika dia menghantamkan vas itu keras-keras ke kepala
"Pa, itu mama?" Refal berteriak girang ketika mobil berhenti di depan gerbang. Aleta sudah berdiri di sana, membuat Adam menoleh ke arah Refal dan menggeleng perlahan. "Itu bukan mama Aline, Sayang!" jelas Adam dengan senyum tertahan, ia segera melepas seat belt lalu melangkah turun, diikuti Arman yang nampak sangat takut Adam kabur. Padahal memang Adam hendak kabur kemana? Aneh-aneh saja! Tapi bukankah itu memang sudah tugas Arman mengawal dan membawa Adam ke kantor hari ini setelah kejadian tadi? "Mana Refal, Dam?" tanya Aleta ketika Adam melangkah ke arahnya. "Di sini. Nanti kamu ajak dia video call Aline aja, Ta. Intinya jangan menyinggung kejadian tadi sama sekali." pesan Adam yang langsung membuat Aleta cemberut. "Gila apa! Nggak mungkin lah, Dam!" gerutunya dengan bibir mengerucut. Arman yang berdiri di dekat pintu mobil hanya membisu, tidak bersuara sama sekali sampai kemudian anak kecil itu Adam turunkan. "Halo, Sayang!" sapa Aleta dengan begitu manis. "Mama?"Kening
"Titip Refal ya, Dam!"Malam telah larut, dan benar! Rosa sama sekali tidak diizinkan pulang. Mata Adam memerah, ia menatap Rosa yang masih duduk di kursinya. Adam yang semula ingin bangkit dari kursi tempat dia duduk, segera dia urungkan. Ditatapnya Rosa dengan saksama. "Kenapa kamu senekat tadi, Ros?" tanya Adam yang masih tidak mengerti. Rosa tersenyum getir, bayangan air mata tergambar di pelupuk mata. Adam menghela napas panjang, ia sama sekali tidak menyangka kejadian horor beberapa tahun yang lalu kembali terulang dengan versi, target dan ending yang berbeda."Aku tidak mau ada orang tidak bersalah lain yang harus meregang nyawa, Dam. Rasanya sakit sekali berada di posisiku." jelas Rosa dengan air mata berlinang."Tapi kamu jadi kena masalah kayak gini, Ros.""Tidak apa. Yang penting aku puas bisa balas apa yang sudah dia lakukan ke papanya Refal, Dam. Meskipun rasanya masih kurang dan semua yang tadi aku lakukan tidak bisa membuat bang Romi kembali lagi."Kini Adam paham, ke
Air mata Adam sama sekali tidak bisa berhenti. Ia sudah mencuri start membaca sepucuk surat yang Rosa tuliskan untuk Refal tadi, sebuah untaian kalimat yang isinya sembilan puluh persen kebohongan. Ya ... semua itu bohong kecuali ungkapan perasaan yang ditulis Rosa untuk Refal. Rasanya Adam begitu takut untuk kembali pulang. Bagaimana kalau Refal mempertanyakan Rosa? Apakah Refal akan begitu saja percaya pada sepucuk surat yang Rosa tulis? Adam harus jawab apa? "Dia emang seneng banget pas sama aku, sama Aline, tapi jangan lupa, Ros, kamu ibu kandung dia! Kamu yang benar-benar Refal butuhkan, bukan aku atau Aline." Adam terisak, ini kali kedua dia menangis karena pasangan itu. Dulu Adam seperti ini karena aksi heroik Romi melindunginya, sekarang? Gantian Rosa yang membuat Adam menangis karena aksi heroiknya. Apakah ini yang dinamakan sehati? Jodoh? Atau apalah itu namanya? "Apa benar kata papa kalo aku seharusnya nggak jadi dokter? Kalo dulu aku nggak nekat, mungkin nggak akan kej
Adam tertegun sejenak. Mobilnya sudah dia bawa masuk ke dalam halaman rumah. Nampak mobil Kelvin masih di sana, belum bergerak sedikitpun. Adam terpekur di joknya. Ada rasa bimbang yang membuatnya begitu takut untuk turun. "Papa harus jelasin yang bagaimana, Fal? Sanggup nggak papa bohong sama kamu kayak apa yang mamamu tulis?" desis Adam putus asa. Kembali air mata Adam mengambang, ia sudah lelah menangis sebenarnya, tapi apa boleh buat? Dia sama sekali tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. "Harus kuat, Dam! Kau sudah janji di depan makam abangmu!" dengan segera Adam menghapus air mata, ia melepas seat belt, melangkah turun dari mobil dengan tubuh tegap dan gagah, tidak peduli sebenarnya dalam hati, Adam bahkan sama sekali tidak punya nyali. Pintu tidak dikunci, bukan masalah serius karena gerbang depan selalu dijaga oleh pak Ugi. Nampak lampu-lampu sudah dimatikan, diganti dengan lampu kecil bercahaya minim. Adam menatap nanar tangga yang akan mengantarkan dia ke lantai
"Oh di rumah dia. Ayo masuk!"Aline bergegas turun, diikuti mama mertuanya. Koper mereka tinggal di mobil begitu saja, akan ada yang membawa barang-barang itu ke dalam, percayalah. Jadi fokus mereka tentu segera masuk dan menemui Adam. "Itu mobil siapa, Lin?" tanya Erma ketika melihat mobil hitam terparkir di sebelah mobil Adam. "Kelvin, Ma. Calonnya Aleta."Erma mengangguk, mereka segera naik menapaki anak tangga, dan di ujung tangga itu, nampak dua lelaki yang sudah berdiri di sebelah sofa. Siapa lagi kalau bukan Adam? "Loh? Mama, papa, Aline? Kalian udah balik?" tanya Adam terkejut, bukan hanya dia, Kelvin pun nampak terkejut. "Kau pikir, dengan masalah pelik yang kamu hadapi sekarang ini, bapakmu mau diam-diam saja ngurus kerjaan di Bali gitu?" salak Budi garang. Adam menunduk, ia tidak berani membalas sorot tajam mata Budi yang nampak seolah-olah menelanjangi dirinya. Kelvin yang semula hendak memperkenalkan diri kontan ciut nyali. Terlebih dia lah dulu yang menjadi alasan A
"Makasih banyak udah mau jagain Refal, Ta." Aline tersenyum, semua pembahasan dan pembicaraan antar keluarga mengenai permasalah Rosa sudah selesai. Semua sudah sepakat satu suara, akan berjuang sampai titik darah penghabisan agar Rosa bisa bebas dari hukum dan tuntutan. Tentu Refal bisa dijadikan alasan, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Rosa, meskipun ada Adam dan Aline, serta Aleta dan Kelvin yang kini ikut merasa punya hutang budi dengan Rosa. "Nggak perlu makasih. Aku mungkin masuk rumah sakit atau bahkan kehilangan nyawa kalo mamanya Refal nggak ada tadi, Lin." Aleta tersenyum getir, ia mengelus lembut kepala Refal yang nampak begitu nyenyak tertidur. Aline menghela napas panjang, tangannya memeluk tubuh itu, mendekapnya erat dengan begitu lembut. "Kalo memang dia harus ditahan, aku nggak keberatan kok rawat Refal berdua sama Kelvin. Aku udah bahas ini sama dia tadi. Bahkan kalo suruh adopsi Refal pun kita setuju."Aline mendengus, ditatapnya Aleta dengan tatapan
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak