"Makasih banyak udah mau jagain Refal, Ta." Aline tersenyum, semua pembahasan dan pembicaraan antar keluarga mengenai permasalah Rosa sudah selesai. Semua sudah sepakat satu suara, akan berjuang sampai titik darah penghabisan agar Rosa bisa bebas dari hukum dan tuntutan. Tentu Refal bisa dijadikan alasan, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Rosa, meskipun ada Adam dan Aline, serta Aleta dan Kelvin yang kini ikut merasa punya hutang budi dengan Rosa. "Nggak perlu makasih. Aku mungkin masuk rumah sakit atau bahkan kehilangan nyawa kalo mamanya Refal nggak ada tadi, Lin." Aleta tersenyum getir, ia mengelus lembut kepala Refal yang nampak begitu nyenyak tertidur. Aline menghela napas panjang, tangannya memeluk tubuh itu, mendekapnya erat dengan begitu lembut. "Kalo memang dia harus ditahan, aku nggak keberatan kok rawat Refal berdua sama Kelvin. Aku udah bahas ini sama dia tadi. Bahkan kalo suruh adopsi Refal pun kita setuju."Aline mendengus, ditatapnya Aleta dengan tatapan
"Mbak?"Rosa terkejut, matanya memanas dan sedetik kemudian tangisnya pecah. Ia pasrah saja ketika tubuh itu merengkuhnya, mendekap erat tubuhnya dan ikut menangis sesegukan. "Kamu balik kapan, Lin? Kok udah sampai?" tanya Rosa ketika pelukan mereka terlepas. "Tengah malam kami balik, Mbak. Begitu denger apa yang terjadi di sini, papa ajak kita semua balik." jawab Aline sambil menyeka air mata. "Terima kasih udah mau peduli, Lin. Refal di mana? Sudah Adam bacakan surat yang aku tulis?" tanya Rosa dengan wajah panik. Aline tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Tentu saja Adam sudah membacakan surat itu tadi pagi, ketika Refal sudah bangun dan langsung mencari Adam di kamar. Sebuah surat penuh kebohongan yang Rosa tulis sendiri dengan tangan. Bukan hanya Aline dan Adam yang mendengar isi surat itu dibacakan, tetapi juga Budi yang kebetulan masuk ke kamar karena penasaran dan ingin bertemu secara langsung dengan Refal. "Dia tanya macem-macem?" tanya Rosa dengan raut wajah khawatir.
"MAMA!"Refal berlari, melompat ke dalam pelukan Rosa begitu sampai di rumah Budi yang macam kastil istana. Begitu luas, mewah dan megah! Heran Rosa, kurang apa Adam ini? Kenapa malah tidak mau patuh dengan bapaknya? Jika orang lain ingin jadi dokter karena mereka ingin cepat kaya (padahal kalau ingin cepat kaya, jangan jadi dokter. Jadilah pengusaha. Karena jadi dokter bukan jaminan orang bisa langsung kaya raya), maka berbeda dengan Adam. Dia meninggalkan hartanya yang melimpah ruah bahkan sejak dia lahir hanya demi jadi dokter! "Sayang! Mama kangen banget!" desis Rosa dengan lelehan air mata. Baru semalam dia tidak pulang dan sudah serindu itu pada Refal, bagaimana kalau sampai puluhan tahun? "Katanya mama mau pergi sekolah lagi dan suruh Refal tinggal sama mama Aline, mama nggak jadi sekolah?" tanya bocah itu begitu polos. Rosa tersenyum, benar kata Budi. Bahwa Refal pasti akan mempertanyakan hal ini. Untung sepanjang perjalanan dari kantor polisi tadi Rosa sudah memikirkan jaw
Rosa bergetar hebat ketika masuk ke ruangan itu. Nampak lelaki yang kemarin dia hantam berkali-kali, terbujur di atas bed dengan ventilator dan beberapa alat medis lain. Di belakang Rosa ada Adam, seorang dokter bedah saraf, Zulfikar dan tentu saja Budi, melangkah di belakang Rosa. "Benturan di kepalanya cukup keras. Ditambah riwayat pemakaian obat-obatan terlarang yang cukup lama, membuat kerusakan batang otaknya makin menjadi." dokter bedah saraf itu menjelaskan, membuat Rosa menoleh dan menatap lelaki itu dengan saksama. "Anda orang medis, rasanya tidak perlu saya jelaskan panjang lebar apa itu mati batang otak, kan, Mbak?"Rosa tersenyum, ia menggelengkan kepala perlahan. Pandangannya berpaling pada Zulfikar. Ia masih belum mengerti, kenapa lelaki itu mengajaknya kemari? "Bapak ingin saya menjenguk adik Bapak?" tanya Rosa sopan, bagaimana pun Zulfikar bukan sosok sembarangan. Zulfikar tersenyum, kepalanya menggeleng perlahan. Ia melangkah melewati Rosa, berdiri di samping ranj
Beberapa minggu kemudian ... Aline sontak bangkit dari kursi meja makan begitu sepiring nasi goreng seafood mendarat di meja. Ditutupnya mulut dengan tangan lalu sekonyong-konyong berlari kecil meninggalkan meja dan Adam yang tertegun melihat tingkah sang istri. "Loh, mbak Aline kenapa, Mas?" tanya mak Surati dengan wajah bingung. "Bentar, Mak. Biar Adam susul!" Adam kontan bangkit, setengah berlari mengejar kemanan istrinya itu pergi. Ia tertegun ketika mendengar suara-suara itu. Suara itu berasal dari kamar mandi di dekat dapur dan di sana Adam melihat istrinya tengah jongkok di depan kloset sambil memuntahkan isi perutnya. "Lin ... hey, kamu kenapa, Sayang?" Adam menghampiri sang istri, memijit tengkuk Aline perlahan-lahan. Aline mengangkat tangan, melambai sebagai tanda bahwa dia baik-baik saja, setelah membilas kloset, ia bergegas bangkit, dibantu Adam melangkah mendekat ke wastafel. "Pelan-pelan, Sayang. Kita ke dokter, ya? Biar aku telepon papa. Kamu libur dulu. Kamu pu
Aleta tengah sibuk memilih desain undangan ketika pasangan itu muncul dari depan pintu. Aleta hanya melirik sekilas, matanya kembali fokus ke layar iPad yang ada di tangan. "Cie yang mo kawin!" goda Aline lalu meletakkan plastik dengan dua kotak donat di atas meja. "Bawel. Iya deh yang udah kawin, tiap malem kawin." balas Aleta yang belum menyingkir dari layar iPad. Kontan Aline menimpuk kembarannya itu dengan bantal sofa, sementara sang suami segera menjatuhkan diri di sofa dan merogoh saku celana. "Sirik aja! Mama mana?" tanya Aline yang nampak celingak-celinguk mencari sang mama. "Di atas. Ntar juga turun. Teriak aja, biasanya juga teriak-teriak kalo di rumah. Nggak usah jaim-jaim napa? Mentang-mentang ada suami." balas Aleta sekenanya. Aline mendesah, ia menahan diri untuk tidak ribut dengan Aleta. "Untung aku lagi nggak pengen gelud, Ta. Tunggu sembilanan bulan lagi, ayo gelud. Ku tantang kamu!"Aleta kontan mengangkat wajah dari depan layar. IPad itu ia turunkan, diletakk
"Tanyain tuh, Ta, sama si Kelvin. Dia punya rahasia apa. Jangan sampai pas kawin jadi salah paham kayak aku sama mas Adam kemarin." gumam Aline dengan mulut penuh kwetiau. Kontan Adam terbatuk-batuk, ia segera meraih gelas miliknya, meneguk air dalam gelas sampai habis tandas. "Perempuan ya ampun, bener-bener nggak bisa lupa, ya, kalo pasangan ada dosa atau salah." desah Adam lirih dengan wajah memelas. "Oh jangan harap!" desis Aleta yang langsung diikuti anggukan kepala oleh Aline. "Tul! Jangankan masalah yang baru kemarin, dosa yang dibuat sepuluh tahun tiga bulan dua belas hari yang lalu aja kita masih inget. Ya nggak?" tanya Aline yang dibalas anggukan kepala oleh Aleta. Agaknya bukan hanya makanan yang membuat mereka kompak dan akur, tetapi juga ketika memojokkan lawan jenis seperti sekarang ini. "Ampun dah, ampun!" ucap Adam pasrah sambil kembali menyuapkan kwetiau jatahnya. "By the way, bukan cuma aku aja yang harus introgasi si Kelvin. Kamu juga tuh introgasi lagi si Ad
"Kampret tau nggak sih, Ta? Semua panik kamu koma, eh taunya kamu nge-prank!" Aline masih tidak terima, kini hanya dia dan Aleta yang duduk di meja makan. Adam ada panggilan cito, mamanya entah tadi keluar izin mau beli sesuatu. Jadilah saudara kembar itu mengobrol sambil terus mengunyah dimsum yang rasanya tidak ada habis-habisnya. "Gimana lagi? Udah mentok. Kalo nggak gitu, aku kudu kawin sama Adam gitu? Lah, ogah!" Aleta kembali memasukkan dimsum ke dalam mulut, mendadak ia celingak-celinguk menatap ke sekeliling. "Kenapa? Ada apa lagi?" tanya Aline yang sadar dengan perubahan ekspresi kembarannya itu. "Mama belum balik, kan?" ia masih mengamati sekitar, sementara Aline menggeleng perlahan. "Belum, kenapa?""Kau tau, Lin? Tujuanku pura-pura koma juga buat ngasih pelajaran mama sama papa. Seenaknya aja mereka maksa anak kawin? Kalo gini mereka kan kapok."Aline mendengus, ia memutar bola matanya dengan gemas. Iya, tapi bagaimanapun juga yang untung tetap Aleta karena dia kini m