"Pa, itu mama?" Refal berteriak girang ketika mobil berhenti di depan gerbang. Aleta sudah berdiri di sana, membuat Adam menoleh ke arah Refal dan menggeleng perlahan. "Itu bukan mama Aline, Sayang!" jelas Adam dengan senyum tertahan, ia segera melepas seat belt lalu melangkah turun, diikuti Arman yang nampak sangat takut Adam kabur. Padahal memang Adam hendak kabur kemana? Aneh-aneh saja! Tapi bukankah itu memang sudah tugas Arman mengawal dan membawa Adam ke kantor hari ini setelah kejadian tadi? "Mana Refal, Dam?" tanya Aleta ketika Adam melangkah ke arahnya. "Di sini. Nanti kamu ajak dia video call Aline aja, Ta. Intinya jangan menyinggung kejadian tadi sama sekali." pesan Adam yang langsung membuat Aleta cemberut. "Gila apa! Nggak mungkin lah, Dam!" gerutunya dengan bibir mengerucut. Arman yang berdiri di dekat pintu mobil hanya membisu, tidak bersuara sama sekali sampai kemudian anak kecil itu Adam turunkan. "Halo, Sayang!" sapa Aleta dengan begitu manis. "Mama?"Kening
"Titip Refal ya, Dam!"Malam telah larut, dan benar! Rosa sama sekali tidak diizinkan pulang. Mata Adam memerah, ia menatap Rosa yang masih duduk di kursinya. Adam yang semula ingin bangkit dari kursi tempat dia duduk, segera dia urungkan. Ditatapnya Rosa dengan saksama. "Kenapa kamu senekat tadi, Ros?" tanya Adam yang masih tidak mengerti. Rosa tersenyum getir, bayangan air mata tergambar di pelupuk mata. Adam menghela napas panjang, ia sama sekali tidak menyangka kejadian horor beberapa tahun yang lalu kembali terulang dengan versi, target dan ending yang berbeda."Aku tidak mau ada orang tidak bersalah lain yang harus meregang nyawa, Dam. Rasanya sakit sekali berada di posisiku." jelas Rosa dengan air mata berlinang."Tapi kamu jadi kena masalah kayak gini, Ros.""Tidak apa. Yang penting aku puas bisa balas apa yang sudah dia lakukan ke papanya Refal, Dam. Meskipun rasanya masih kurang dan semua yang tadi aku lakukan tidak bisa membuat bang Romi kembali lagi."Kini Adam paham, ke
Air mata Adam sama sekali tidak bisa berhenti. Ia sudah mencuri start membaca sepucuk surat yang Rosa tuliskan untuk Refal tadi, sebuah untaian kalimat yang isinya sembilan puluh persen kebohongan. Ya ... semua itu bohong kecuali ungkapan perasaan yang ditulis Rosa untuk Refal. Rasanya Adam begitu takut untuk kembali pulang. Bagaimana kalau Refal mempertanyakan Rosa? Apakah Refal akan begitu saja percaya pada sepucuk surat yang Rosa tulis? Adam harus jawab apa? "Dia emang seneng banget pas sama aku, sama Aline, tapi jangan lupa, Ros, kamu ibu kandung dia! Kamu yang benar-benar Refal butuhkan, bukan aku atau Aline." Adam terisak, ini kali kedua dia menangis karena pasangan itu. Dulu Adam seperti ini karena aksi heroik Romi melindunginya, sekarang? Gantian Rosa yang membuat Adam menangis karena aksi heroiknya. Apakah ini yang dinamakan sehati? Jodoh? Atau apalah itu namanya? "Apa benar kata papa kalo aku seharusnya nggak jadi dokter? Kalo dulu aku nggak nekat, mungkin nggak akan kej
Adam tertegun sejenak. Mobilnya sudah dia bawa masuk ke dalam halaman rumah. Nampak mobil Kelvin masih di sana, belum bergerak sedikitpun. Adam terpekur di joknya. Ada rasa bimbang yang membuatnya begitu takut untuk turun. "Papa harus jelasin yang bagaimana, Fal? Sanggup nggak papa bohong sama kamu kayak apa yang mamamu tulis?" desis Adam putus asa. Kembali air mata Adam mengambang, ia sudah lelah menangis sebenarnya, tapi apa boleh buat? Dia sama sekali tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. "Harus kuat, Dam! Kau sudah janji di depan makam abangmu!" dengan segera Adam menghapus air mata, ia melepas seat belt, melangkah turun dari mobil dengan tubuh tegap dan gagah, tidak peduli sebenarnya dalam hati, Adam bahkan sama sekali tidak punya nyali. Pintu tidak dikunci, bukan masalah serius karena gerbang depan selalu dijaga oleh pak Ugi. Nampak lampu-lampu sudah dimatikan, diganti dengan lampu kecil bercahaya minim. Adam menatap nanar tangga yang akan mengantarkan dia ke lantai
"Oh di rumah dia. Ayo masuk!"Aline bergegas turun, diikuti mama mertuanya. Koper mereka tinggal di mobil begitu saja, akan ada yang membawa barang-barang itu ke dalam, percayalah. Jadi fokus mereka tentu segera masuk dan menemui Adam. "Itu mobil siapa, Lin?" tanya Erma ketika melihat mobil hitam terparkir di sebelah mobil Adam. "Kelvin, Ma. Calonnya Aleta."Erma mengangguk, mereka segera naik menapaki anak tangga, dan di ujung tangga itu, nampak dua lelaki yang sudah berdiri di sebelah sofa. Siapa lagi kalau bukan Adam? "Loh? Mama, papa, Aline? Kalian udah balik?" tanya Adam terkejut, bukan hanya dia, Kelvin pun nampak terkejut. "Kau pikir, dengan masalah pelik yang kamu hadapi sekarang ini, bapakmu mau diam-diam saja ngurus kerjaan di Bali gitu?" salak Budi garang. Adam menunduk, ia tidak berani membalas sorot tajam mata Budi yang nampak seolah-olah menelanjangi dirinya. Kelvin yang semula hendak memperkenalkan diri kontan ciut nyali. Terlebih dia lah dulu yang menjadi alasan A
"Makasih banyak udah mau jagain Refal, Ta." Aline tersenyum, semua pembahasan dan pembicaraan antar keluarga mengenai permasalah Rosa sudah selesai. Semua sudah sepakat satu suara, akan berjuang sampai titik darah penghabisan agar Rosa bisa bebas dari hukum dan tuntutan. Tentu Refal bisa dijadikan alasan, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Rosa, meskipun ada Adam dan Aline, serta Aleta dan Kelvin yang kini ikut merasa punya hutang budi dengan Rosa. "Nggak perlu makasih. Aku mungkin masuk rumah sakit atau bahkan kehilangan nyawa kalo mamanya Refal nggak ada tadi, Lin." Aleta tersenyum getir, ia mengelus lembut kepala Refal yang nampak begitu nyenyak tertidur. Aline menghela napas panjang, tangannya memeluk tubuh itu, mendekapnya erat dengan begitu lembut. "Kalo memang dia harus ditahan, aku nggak keberatan kok rawat Refal berdua sama Kelvin. Aku udah bahas ini sama dia tadi. Bahkan kalo suruh adopsi Refal pun kita setuju."Aline mendengus, ditatapnya Aleta dengan tatapan
"Mbak?"Rosa terkejut, matanya memanas dan sedetik kemudian tangisnya pecah. Ia pasrah saja ketika tubuh itu merengkuhnya, mendekap erat tubuhnya dan ikut menangis sesegukan. "Kamu balik kapan, Lin? Kok udah sampai?" tanya Rosa ketika pelukan mereka terlepas. "Tengah malam kami balik, Mbak. Begitu denger apa yang terjadi di sini, papa ajak kita semua balik." jawab Aline sambil menyeka air mata. "Terima kasih udah mau peduli, Lin. Refal di mana? Sudah Adam bacakan surat yang aku tulis?" tanya Rosa dengan wajah panik. Aline tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Tentu saja Adam sudah membacakan surat itu tadi pagi, ketika Refal sudah bangun dan langsung mencari Adam di kamar. Sebuah surat penuh kebohongan yang Rosa tulis sendiri dengan tangan. Bukan hanya Aline dan Adam yang mendengar isi surat itu dibacakan, tetapi juga Budi yang kebetulan masuk ke kamar karena penasaran dan ingin bertemu secara langsung dengan Refal. "Dia tanya macem-macem?" tanya Rosa dengan raut wajah khawatir.
"MAMA!"Refal berlari, melompat ke dalam pelukan Rosa begitu sampai di rumah Budi yang macam kastil istana. Begitu luas, mewah dan megah! Heran Rosa, kurang apa Adam ini? Kenapa malah tidak mau patuh dengan bapaknya? Jika orang lain ingin jadi dokter karena mereka ingin cepat kaya (padahal kalau ingin cepat kaya, jangan jadi dokter. Jadilah pengusaha. Karena jadi dokter bukan jaminan orang bisa langsung kaya raya), maka berbeda dengan Adam. Dia meninggalkan hartanya yang melimpah ruah bahkan sejak dia lahir hanya demi jadi dokter! "Sayang! Mama kangen banget!" desis Rosa dengan lelehan air mata. Baru semalam dia tidak pulang dan sudah serindu itu pada Refal, bagaimana kalau sampai puluhan tahun? "Katanya mama mau pergi sekolah lagi dan suruh Refal tinggal sama mama Aline, mama nggak jadi sekolah?" tanya bocah itu begitu polos. Rosa tersenyum, benar kata Budi. Bahwa Refal pasti akan mempertanyakan hal ini. Untung sepanjang perjalanan dari kantor polisi tadi Rosa sudah memikirkan jaw
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g