Adam tertegun mendengar permintaan itu. Kembali ia teringat obrolan dan tentu saja segala macam protes Rosa atas kedekatan Refal dengan Aline. Rosa sedikit keberatan Refal begitu dekat dengan Aline. Dan sekarang ... Adam harus jawab apa? "Refal udah izin mama?" tanya Adam mencoba tenang. "Udah! Boleh kok sama mama?"Alis Adam berkerut, benarkah Rosa mengizinkan? Bukankah kemarin ... Adam menghela napas panjang, ia bersandar di kursi, masih dengan satu tangan menempelkan ponsel di telinga. "Yakin? Coba sini papa pengen ngomong sama mama!" Adam tentu tidak mau gegabah. Pikiran dan masalahnya sudah cukup banyak, dia tidak mau menambah masalah lagi. "Ini! Papa ngomong aja sama mama!""Halo, Dam?""Yakin Refal boleh aku ajak nginep lagi?" tanya Adam memastikan. Adam tentu tidak masalah kalau Refal hendak menginap di rumah, hanya saja kalau Rosa tidak mengizinkan, mana Adam berani? Tidak ada jawaban. Terdengar helaan napas panjang dari seberang, membuat Adam tersenyum getir dan secara t
"Lin!"Aline yang baru saja keluar dari ruang kerjanya kontan menoleh ke arah panggilan itu. Budi melangkah keluar menghampirinya, membuat Aline berharap-harap cemas semoga tidak ada sesuatu yang membuatnya harus terlambat pulang. "Iya, Pa? Ada yang bisa Aline bantu?" sebuah penawaran basa-basi, Aline sebenarnya ingin segera pulang. Bukankah Refal akan datang? "Nggak. Papa cuma mau ingetin kamu, sampai rumah langsung packing. Lusa fix kita berangkat."Aline tersenyum, kepalanya terangguk cepat. Ia mengulurkan tangan, hendak berpamitan pada Budi dan segera pulang."Nggak dijemput sama Adam? Kamu pulang sendiri?" tanya Budi dengan alis berkerut. "Iya, kan pagi tadi bawa mobil sama ini mas Adam mau jemput Refal. Mau nginep lagi di rumah." jelas Aline tanpa diminta. Budi tersenyum, seketika wajah itu langsung paham dengan apa yang dijelaskan menantunya itu. "Kalo begitu Al--""Lin!" potong Budi cepat, membuat mata Aline membulat dan menatap Budi dengan saksama. "Cepet bikin sendiri, b
Angin semilir berhembus, menyibak rambut Rosa yang sengaja ia gerai. Bukankah Romi sangat suka rambut Rosa yang tergerai panjang seperti ini? Rosa menyusut air matanya, entah sudah yang keberapa kali, Rosa sampai tidak bisa menghitung. Langit yang menggelap sama sekali tidak membuat Rosa lantas bangkit dari depan makam dan beranjak pergi. Rosa masih diam di sana, sesekali berbicara dan menyeka air mata. "Aku akan jaga dia baik-baik, Bang. Pegang janjiku bahwa tidak akan ada yang bisa mengambil mereka selama aku masih hidup."Rosa menatap sekitar, agaknya ia mulai merasa tidak nyaman dengan kegelapan. Ia kembali fokus pada batu nisan itu, mengelus lembut nisan bertuliskan nama suaminya. "Kangen banget sama kamu, Bang. Pengen banget bisa ketemu sama kamu. Dalam mimpi pun tak apa." desis Rosa yang jujur sebenarnya ia belum ingin pergi. "Aku pamit pulang ya, Bang. Refal sama Adam sekarang. Dia bener-bener jaga Refal dengan baik."Rosa tersenyum, membetulkan letak mawar yang dia sengaja b
"Dia sudah tidur?" bisik Adam sambil tersenyum melihat betapa lelap Refal terlelap dalam pelukan sang istri. "Kau adalah satu-satunya lelaki yang boleh tidur dalam pelukan istriku, Fal!" gumam Adam yang kontan mendapat gebukan gemas di lengan Adam. "Eh serius, Sayang! Mana boleh ada yang tidur kamu keloni gini kecuali Refal sama anak kita besok?" gumam Adam tidak terima. Aline tampak menahan tawa, ia perlahan-lahan melepaskan tangan Refal yang memeluknya, menggeser duduknya perlahan lalu menatap Adam dengan tatapan serius. "Mas, aku rasa ini waktunya kita bi--""I see! Kita pindah ke depan!" potong Adam cepat. Nadanya nampak serius, membuat Aline telah senyum lalu bangkit dari duduknya. Dengan lembut Adam membawa istrinya keluar dari kamar, duduk di sofa yang tadi mereka gunakan untuk mengobrol bersama Refal sebelum bocah itu lantas mengantuk dan tertidur lelap. "Jadi, gimana?" tanya Aline membuka pembicaraan lebih dulu. Adam menoleh, menatap istrinya dengan saksama. "Papa ada
"Aku pengen punya anak lebih dari dua."Aline yang tengah menikmati sisa-sisa pelepasan dan tengah mencoba menetralkan napas kontan membelalak. Ia menoleh, menatap sang suami yang nampak tengah melakukan hal yang sama. "Hah? Lebih dari dua? Emang mau berapa, Mas?" tanya Aline terkejut."Tiga atau empat mungkin. Jadi papa tidak perlu pusing memikirkan calon pewaris. Cucunya banyak." jawabnya santai. Aline mendengus perlahan. Ada banyak sanggahan yang ingin dia katakan, namun lemas dan letih yang menderanya seolah-olah membungkam Aline dan membuatnya memilih diam sekarang. Ia kembali fokus menenangkan diri, hingga kemudian Aline membelalak seperti teringat sesuatu. "Kenapa?" tanya Adam ketika Aline bangkit dan meraih satu persatu pakaiannya. "Refal kita tinggal sendirian, Mas!" ujar Aline seraya cepat-cepat memakai baju. Tanpa menunggu jawaban dari Adam, Aline segera melesat keluar dari kamar. Tak peduli kasur mereka ukuran besar, meninggalkan anak seusia Refal sendirian itu cukup
Aline tersenyum melihat betapa lahap Refal menyantap roti selai cokelat yang tadi dia siapkan sendiri. Mulutnya menggembung, sangat mengemaskan sekali sampai-sampai Aline mengabaikan roti miliknya. "Mama nggak makan?"Kontan pertanyaan itu membuat Aline tersentak. Ia tersenyum sambil menatap sosok itu dengan begitu lembut. "Iya, ini mau makan kok. Abisnya kamu gemesin banget sih?" Aline mencubit pipi gembul itu dengan gemas, sementara Adam hanya melirik sekilas sambil mengulum senyum. Tidak pernah Adam bayangkan Aline akan bisa mengerti dan menerima Refal dengan sebaik ini. Dulu Adam kira, Aline akan pergi darinya karena kebohongan yang sudah Adam lakukan. Tapi nampaknya mereka masih berjodoh sampai sekarang. Sampai maut memisahkan kalau Adam boleh meminta.Refal hanya nyengir lebar, sisi mulutnya belepotan cokelat membuat Aline buru-buru meraih tisu guna memberikan cokelat yang mengotori mulut. "Habiskan, nanti mama anter pulang habis ini."Dengan patuh Refal mengangguk, ia kemba
"Bu, disuruh bapak ke ruangan."Baru saja Aline hendak membuka pintu ruang kerjanya, ketika sosok itu tiba-tiba sudah muncul dan mengabarkan pesan itu pada Aline. Pesan yang diintonasikan dengan sedikit berat yang artinya lagi adalah Aline harus segera menghadap. "Oh baik. Makasih, ya?" Aline segera meninggalkan pintu yang bahkan baru dia sentuh knopnya, melangkah menghampiri ruangan lain yang tidak jauh dari ruangan Aline. Aline menghela napas panjang, mengetuk pintu beberapa kali lalu menekan knopnya. Nampak Budi tengah meneliti satu per satu dokumen di meja, wajahnya terangkat menyunggingkan senyum manis yang begitu ramah. "Ah sudah datang rupanya. Sini duduk, Lin. Papa mau ada beberapa info."Aline mengangguk, segera menuruti apa yang Budi perintahkan kepadanya. Nampak map-map tebal berwarna hitam itu tergeletak di atas meja, membuat Aline sedikit bingung, apa lagi yang hendak mertuanya itu sampaikan pada dirinya? "Pertama-tama, papa cuma mau ingatkan besok kita berangkat jam
"Aku nggak bisa kesana, jadwal operasi mepet banget. Kamu makan siang sendiri nggak apa-apa kan, Sayang?"Aline memejamkan mata, menahan agar tidak suara helaan napas panjang yang tentu akan Adam sadari. Hal yang kemudian akan membuat lelaki itu bertanya, ada apa dengan Aline sekarang ini. "Tak apa. Aku bisa makan di dekat sini, Sayang. Kamu jangan lupa makan ya?" desis Aline setelah sukses mengendalikan diri. Disimpannya keinginan untuk menceritakan apa yang tadi dikatakan Budi padanya. Agaknya pun Budi belum menceritakan hal itu para Adam, buktinya Adam tidak berkata atau membahas apapun tentang rencana resign ayahnya. "Tentu. Aku makan di kantin paling. Semangat buat hari ini. Aku tunggu nanti di rumah."Seulas senyum merekah di wajah Aline, kepalanya spontan terangguk diikuti dengan jawaban yang keluar dari mulutnya. "Oke Sayang. See you.""See you. Love you!"Sambungan terputus, Aline tertegun menatap ponselnya, lalu meletakkan benda itu di atas meja. Nampak matanya menerawan