Damian mengayunkan tangan, menjatuhkan lampu tidur yang ada di meja nakas hingga pecah berantakan di lantai. Suara pecahan kaca membuat suasana semakin tegang. "Aku muak denganmu, Savanah! Kau hanya masalah dalam hidupku!"
Savanah merasa ketakutan, tapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahan. Meski tubuhnya gemetar, dia mencoba menenangkan Damian.
"Damian, aku sudah sudah menandatangani dokumen perjanjian perceraian, kita hanya perlu menjalani hari-hari sampai saatnya tiba. Kenapa masih marah seperti ini? Aku tidak melakukan apa pun yang salah."
Damian mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Savanah. "Aku bilang, aku tahu apa yang kau lakukan! Kalau kau berani macam-macam dengan Roni, aku akan pastikan kau menyesal."
Damian teringat karena penandatangan dokumen perjanjian cerai itulah Roni mencarinya dan meninjunya lalu terjadi sebuah perkelahian yang tidak pernah mereka lakukan karena mereka adalah teman yang sangat akrab dari sejak kecil.
"Ga
Saat Damian membalikkan tubuhnya untuk mengambil handuk, Savanah juga melihat luka baru di punggungnya, bekas cakaran yang ia buat sendiri dalam kehebohan emosi mereka barusan.Bekas itu tampak merah dan segar di antara tetesan air yang mengalir di kulit Damian.Savanah menggigit bibirnya, perasaan bersalah mulai mengalir di dalam dirinya. "Damian..." suaranya pelan, hampir tak terdengar di antara suara air yang jatuh."Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya, menunjuk ke arah bekas luka di pundaknya.Damian terdiam sesaat, seolah menimbang jawabannya, lalu menghela napas panjang."Itu karena aku memaksa Keisha untuk...," katanya dengan nada datar."Diamlah, itu sesuatu yang tidak perlu kau khawatirkan."Namun, Savanah tahu ada lebih dari sekadar luka fisik di balik cerita itu.Damian menatap Savanah sekilas, lalu kembali menikmati air dingin yang membasahi tubuhnya.Menyadari Damian yang mulai sadar dari mabuknya, Savanah
Savanah terdiam, menatap Damian dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tahu ada sesuatu yang menyakitkan di balik kalung itu, di balik luka-luka yang tersembunyi dan semua amarah yang meledak tak terkendali. Tapi dia juga tahu bahwa tanpa keinginan dari Damian sendiri, tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah itu."Baik," jawab Savanah akhirnya, menahan rasa sakit di dalam dirinya. "Kalau itu yang kau mau."Damian, dengan gerakan yang kaku dan tanpa banyak bicara, segera melangkah lalu membuka lemari, mengeluarkan kemeja tidur dan memakainya.Savanah hanya memerhatikan dalam diam, perasaan terluka semakin dalam ketika melihat jarak emosional yang tak lagi bisa disangkal di antara mereka."Aku akan tidur di kamar tamu," ucap Damian, tanpa menatap Savanah, suaranya datar, dingin, seolah perbincangan tadi tak pernah terjadi. Langkahnya segera beranjak menuju pintu, tanpa menunggu jawaban darinya.Savanah terdiam, hatinya serasa tertusuk. Kata-kata Dam
Savanah yang sedang duduk di sudut tempat tidur menatapnya dengan bingung, hendak bertanya apa yang terjadi. Namun sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata, Damian sudah menyela."Diam dan tidur!" katanya tegas, suaranya tajam.Mata Savanah melebar, terkejut dengan nada bicaranya yang penuh emosi. Damian melemparkan bantal itu ke tempat tidur lalu duduk di tepi ranjang, wajahnya jelas menunjukkan kemarahan yang tak bisa ia tahan.Savanah berusaha menenangkan suasana. "Damian, kenapa kamu kembali?"Damian mendengus frustrasi, memotong pertanyaan itu dengan cepat. "Aku tidak akan masuk kembali ke kamar ini kalau bukan karena si tua Jason tiba-tiba keluar dari kamarnya!"Ia mengucapkan nama Jason dengan nada penuh kebencian, menekankan setiap kata dengan geram. "Apa sih masalah si tua itu? Berkeliaran malam-malam seperti hantu!"Damian menghempaskan pantatnya dengan kasar di atas ranjang, suaranya bergema di seluruh ruangan. Ia langsung berba
Damian berangkat kerja duluan tanpa sarapan, dengan alasan ada rapat penting yang menunggunya. Padahal dia tidak ingin bertemu dengan Savanah di meja makan yang sama apalagi sang ayah yang hanya bisa menganggunya dengan istilah "malam pertama".Savanah memutuskan untuk mengambil satu hari cuti dari semua kesibukan. Kakinya masih terasa nyeri.Dia memutuskan untuk mematikan ponselnya, berharap bisa mendapatkan ketenangan tanpa gangguan. Baginya, ini adalah hari yang sempurna untuk benar-benar beristirahat.Sementara itu, Roni mencoba menghubunginya berkali-kali. Setelah beberapa kali panggilan tak terhubung, perasaannya mulai tak enak. Pikiran buruk mulai merayap ke kepalanya. “Kenapa ponselnya mati? Apa yang terjadi? Apakah Damian masih juga menekannya?"Dengan cepat, Roni membuat keputusan impulsif: dia akan pergi mencarinya. Dia tahu kaki Savanah masih sakit dan kemungkinan terbesar adalah kakinya mulai bermasalah dan Damian, sudah pasti tidak ada
Setiap panggilan tak terjawab, setiap pesan yang terkirim tanpa balasan, hanya memperburuk situasi. Seperti badai yang mendekat, ketenangan di rumah pun hilang saat para kolektor dari pinjaman online mulai mendatangi kos-kosan Savanah, mencari wanita muda itu yang tak juga bisa ditemukan."Kenapa dia tidak menjawab teleponnya?" Ibu Savanah bergumam gusar, menatap ponselnya dengan tatapan penuh khawatir."Dia berjanji membayar dan ini sudah dua hari, bukan? Tetapi dia malah mematikan ponselnya. Jangan katakan dia mencoba melarikan diri?" para pengejar hutang itu tersenyum penuh misteri karena tindakan mereka mungkin akan melebihi penagihan apabila peminjam melarikan diri.Tak sanggup menahan kepanikan lebih lama, Ibu Savanah akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan dari seseorang yang ia tahu bisa diandalkan—Jason Pangestu, Ayah mertuanya Savanah. Ia segera menekan nomor Jason dengan hati yang berdebar.Di kantor, Jason sedang dalam rapat penting de
Pertarungan meledak begitu cepat. Damian berusaha menghindari pukulan sambil membalas serangan. Namun, dia juga mengalami beberapa luka pada wajahnya yang tampan.Pria bertato itu bertubuh besar, tapi Damian punya kecepatan dan keterampilan.Tinju mereka beradu, suara desahan dan teriakan memenuhi udara. Sementara itu, pria yang satunya, lebih kurus dan licik, mencoba memutar dari belakang Damian, hendak menyerangnya dari sudut buta.Namun Damian sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan sigap, dia menendang pria kurus itu tepat di perutnya, membuatnya terjatuh ke tanah dengan erangan keras."Jangan main-main denganku!" Damian menggeram, menatap mereka berdua dengan mata penuh kemarahan."Aku tidak peduli berapa banyak hutang yang kalian kejar. Kalau kalian menyentuh Ibu Savanah lagi, kalian akan menyesal."Pria bertato yang mulai sadar bahwa ini bukan pertarungan yang mudah, mundur sambil meludah ke tanah. "Ini belum selesai, bocah. Kamu piki
Setelah perjalanan yang terasa begitu panjang, Damian dan Suzie Brown akhirnya tiba di rumah kecil yang terletak di pinggiran kota Jakarta.Ketika Ibu Savanah keluar dari mobil, ia terkejut melihat rumah yang ternyata jauh lebih bagus dari yang ia bayangkan.Meski tidak terlalu besar, rumah itu terlihat nyaman, bersih, dan terawat dengan baik. Taman kecil di depan rumah menambah kesan hangat dan damai, sesuatu yang sangat dibutuhkan setelah hari yang begitu penuh tekanan.“Damian... ini... rumahnya terlihat sangat bagus,” kata Suzie dengan nada ragu.“Tapi... aku segan harus tinggal di sini. Rasanya terlalu banyak merepotkanmu.”Damian yang sedang mengambil tas dari bagasi, tersenyum sambil menggeleng.“Bu, nggak usah segan. Saya beli rumah ini memang untuk Savanah. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini juga untuk Ibu, biar Ibu bisa tenang.”Mendengar kata-kata Damian, Ibu Savanah terdiam se
Roni tertawa kecil, tapi kali ini dengan nada puas. "Akhirnya! Saatnya kita bergerak. Aku udah tunggu lama merindukan momen ini. Menghajar seseorang bersamamu! Tenang aja, Bro, aku siap. Kasih tahu tempatnya dan aku bakal datang sekarang juga. Biar orang-orang itu tahu mereka nggak bisa main-main sama Savanah, apalagi sama kita."Damian merasa sedikit lega mendengar antusiasme Roni. Sahabatnya memang selalu bisa diandalkan dalam situasi seperti ini. "Oke, gue akan kirim lokasinya. Kita mulai malam ini. Biar mereka tahu siapa yang mereka hadapi.""Siap, gue segera berangkat!" jawab Roni penuh semangat. "Gue juga bawa beberapa teman. Biar kita nggak cuma ngasih mereka peringatan, tapi bikin mereka kapok selamanya."Damian mengakhiri panggilan dengan senyum tipis, meski amarahnya masih membara. Dia tahu, ini bukan hanya soal uang atau hutang. Ini soal harga diri, tentang melindungi orang-orang yang dia sayangi, terutama mertuanya.Malam ini, mereka akan mema
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku