Damian mematung sepersekian detik karena merasa pernah mendengar jeritan yang hampir sama, namun dia tidak bisa mengingat dengan jelas.
Damian melanjutkan memotret. Usai mengambil beberapa foto, Damian melepaskan Savanah sehingga wanita itu buru-buru meringkuk di lantai, di samping sofa. Menutup dirinya dengan kemeja yang sudah koyak.
"Kamu pasti berpikir aku ingin menyentuhmu?" Damian mendekati Savanah lalu menunjukkan hasil jepretannya.
"Tua bangka itu pasti akan membatalkan pernikahan ini bila menyaksikan sendiri bagaimana buruknya dirimu!"
Savanah ingin merebut ponsel itu dengan panik namun Damian segera berdiri. "Jangan merusak hubunganku dengan Keisha, karena dia adalah wanita yang lebih layak menjadi Nyonya Muda Pangestu dibanding dirimu!"
Usai mengatakan semuanya, Damian keluar dari kamar VIP itu dengan senyuman penuh kemenangan.
Savanah meringkuk di lantai dengan tubuh gemetar dan perasaan yang kacau balau saat Bella masuk ke
"Damian. Kalian tetap akan menikah besok dan hal apa pun tidak dapat membatalkannya. Apalagi video dan foto tidak berguna itu. Kamu benar-benar ingin semua kekayaanku dialihkan kepada Yayasan Sosial Pangestu?"Damian mengeram, menyadari bukti apa pun yang dia tunjukkan tidak akan mempengaruhi tekad Ayahnya untuk menikahkan mereka."Tapi, Dad. Saya memiliki seorang kekasih dan dia berasal dari keluarga baik-baik. Kita bahkan sudah...""Kamu sudah menyelidikinya?" sela Jason dengan tenang."Keisha bukan wanita yang memiliki reputasi baik seperti yang kamu tahu dan Savanah-""Savanah juga tidak!" sela Damian, membuat pria tua itu menghentakkan tongkatnya kuat-kuat ke lantai."Pokoknya tidak ada yang bisa membatalkan pernikahan ini!" Usai mengatakan hal ini, Jason melangkah perlahan keluar dari ruangan, meninggalkan Damian dengan kekesalan yang tinggi karena masih juga tidak bisa membatalkan pernikahan besok.Dengan kesal, Damian me
"Mana mungkin pria busuk seperti itu bisa menjadi suami yang baik?" gerutunya. Savanah merasa sangat kesal karena tetap harus menikah walau segala upaya pembatalan sudah dia lakukan.Savanah tertidur di lantai sementara sang ibu sudah duluan tidur di ranjangnya.Di malam yang sama, Damian pulang ke rumah dengan diantar oleh Roni. Wajah Damian merah dan tubuhnya hangat karena pengaruh alkohol serta kondisinya mabuk."Kamu masih juga mabuk. Apakah kamu sadar bahwa besok pagi adalah hari pernikahanmu?" tegur Jason Pangestu dengan marah.Damian tertawa lalu menunjuk ke arah sang ayah yang ototriter itu, "aku memang suka mabuk, dan aku juga suka perempuan, kita semua juga suka, bukan? Mereka cantik-cantik, minuman juga enak, bukan?"Damian mencolek hidung Roni yang sedang menuntun pria dewasa itu ke kamar, sementara Ayah Damian mengekori mereka dari belakang."Damian, Apa pun alasanmu. Kamu harus menikah besok!"Mendengar perkataan sang Ay
"Lima menit apanya? Kita punya jadwal untuk ambil jas pengantinmu jam tujuh pagi, dan sekarang sudah lewat satu jam! Savanah pasti sudah menunggu!" Roni mendesah keras, kehilangan kesabaran. Pernikahan ini sudah di depan mata, tapi Damian justru terlihat semakin tidak terlibat dalam semua persiapan."Hanya jas, pilih saja salah satu di lemari, merepotkan sekali!" seru Damian lalu kembali bersembunyi di dalam bantalnya dengan kesal.Seketika, pintu kamar terbuka dengan keras, dan muncul sosok Jason Pangestu dengan wajah murka. “Roni, kamu belum berhasil membangunkan anak ini?” suaranya berat dan dingin.Roni menggeleng, sementara Jason berjalan mendekati ranjang Damian dengan tongkatnya dan langkah tegas.Tanpa sepatah kata, Jason mengambil gelas besar yang ada di meja sebelah, mengisinya dengan air dingin dari dispenser, dan menyiramkannya langsung ke wajah Damian."Aahh!" Damian terlonjak kaget, langsung terduduk dengan mata terbelalak
Pada saat kedua pengantin berdiri di depan para tamu, Roni membawa Veil pengantin tersebut lalu memasangkannya ke kepala Savanah. Melihat ini, Damian menautkan alisnya dan semakin merasa kesal."Semoga berbahagia," ucapnya dengan lembut kepada Savanah. Roni baru pertama kali melihat wanita secantik dan seanggun Savanah. Dalam hati, dia menyayangkan sikap Damian yang seolah-olah tidak menanggapi arti sebuah pernikahan dengan baik.Upacara pernikahan berlangsung megah, penuh dengan tamu undangan, bunga, dan musik. Namun di antara semua itu, baik Damian maupun Savanah merasakan kehampaan yang tak bisa dijelaskan.Saat Damian mengucapkan janji pernikahan, suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Savanah pun demikian, meski matanya berkaca-kaca, tapi air mata itu bukanlah air mata kebahagiaan.Di hadapan para tamu yang bertepuk tangan dan tersenyum, mereka tampak seperti pasangan yang sempurna. Tapi hanya mereka yang tahu betapa dingin dan hampa hubungan ini.
Namun Paman Savanah tidak peduli. Dia melanjutkan, suaranya semakin penuh dengan kemarahan. "Aku datang bukan hanya untuk memprotes undangan, Savanah. Aku datang untuk mengungkap kebenaran yang kau dan ibumu sembunyikan selama bertahun-tahun!""A-apa maksudmu?" Suzie mulai merasa panik karena adik mendiang suaminya ini memang tidak pernah melakukan hal yang baik di matanya.Ruangan itu kini dipenuhi desisan dan bisikan. Semua mata tertuju pada Paman Savanah, yang kini menatap langsung ke arah ibu Savanah. "Kalian semua harus tahu, Ibu Savanah ini bukanlah wanita baik-baik yang kalian kira! Dia telah mencelakai adiknya sendiri, saudara kandungku!"Para tamu tersentak, mata mereka beralih pada ibu Savanah yang tampak pucat seketika. Suasana semakin tegang, dengan bisikan mulai mengisi udara. Ibu Savanah mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya."Paman, ini tidak benar!" kata Savanah dengan suara terguncang, berusaha menghentikan t
Namun, Paman Savanah terus memanas-manasi suasana, menunjukkan kertas-kertas yang katanya adalah bukti pencemaran atas dirinya itu."Lihatlah! Semua ini adalah bukti bahwa dia berbohong pada kalian semua! Damian, pria sebesar dan sekaya Anda, pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari ini!"Damian, yang selama ini diam dengan ekspresi penuh kendali, perlahan melangkah maju. Sorot matanya tajam menatap Paman Savanah dan kemudian beralih pada kertas-kertas di tangannya."Kau kira aku akan percaya pada tuduhan tanpa dasar seperti ini?" tanyanya dengan nada dingin.Namun Paman Savanah tak gentar, terus menyodorkan "bukti" tersebut. Anak perempuannya menatap Damian dengan harapan, berharap bahwa kekacauan ini akan membuka peluang baginya untuk merebut tempat Savanah di sisi pria kaya itu.Savanah, yang hampir putus asa, memandang Damian dengan penuh harapan, berharap pria itu tetap percaya padanya di tengah badai tuduhan yang menghancurkan reputasin
"T-tapi Damian, kamu tidak mencintaiku dan pernikahan kita hanya di atas kertas, bukan?"Savanah berkata-kata dengan napasnya yang tertahan. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena cinta, tapi karena ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya.Dia bukan wanita yang suci lagi, dan meskipun dia tahu dirinya sudah menjadi istri Damian. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Damian jika mengetahui kebenaran itu.Damian bergerak cepat lalu menindih Savanah."t-tunggu!" Dengan cepat, Savanah berbohong, mencari cara untuk menghindari tuntutan Damian. "Aku... aku sedang halangan," ucapnya dengan suara serak, berusaha terlihat meyakinkan.Damian mengerutkan dahinya. Namun, Damian bukanlah orang yang mudah dibohongi. Mata dinginnya memicing, dan ekspresinya berubah menjadi kemarahan yang dalam."Kau pikir aku sebodoh itu untuk percaya pada alasanmu?" geramnya. Dalam sekejap, tangannya yang besar dan kuat mencengkeram leher Savanah
Keisha memegang lehernya yang terasa nyeri. Pria itu terkesan kasar dan tidak ada sisi kelembutannya, tetapi Keisha harus sabar karena dia ingin merubah status kehidupannya menjadi Nyonya Muda dari keluarga kaya raya.Damian mengelus leher Keisha yang berbekas dan merasa bersalah, "maafkan aku."Dia lalu meraih Keisha dan merangkulnya dan menyandarkan kepala di bahu Keisha, "aku lelah sekali. Aku akan menginap di sini, ya?"Keisha mengangguk dengan penuh simpati. Mereka tidur dan saling berpelukan sampai pagi hari.Sementara Savanah bangun dengan kepala yang masih berat. Dia tidak menyangka sudah menjadi istri dari seseorang dan saat ini dia akan pergi untuk mengunjungi Ibunya sekalian melunasi uang kost.Tanpa berfirasat apa-apa, dia berdandan kemudian melangkah keluar dari pintu besar rumah Damian, hendak berjalan kaki menuju ke halte bis seperti biasa.Alangkah terkejutnya pada saat seorang pria membuka pintu mobil dan memberi hormat kepa
Savanah tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali dia yang menanyakan hal yang sama kepada Damian, tetapi dia sama sekali tidak berani.Dia juga tidak berani menerima hubungan lebih lanjut dengan Damian karena dia sudah merencanakan semuanya.Dia tidak ingin gagal!Dia tidak mau, sebuah pertanyaan tanpa arah dari Damian itu membuat dia berubah pikiran dan kembali terjebak dalam pernikahan palsu yang bahkan mertuanya, Jason, sudah melepaskannya.Malam bergairah? Itu hanya kebutuhan sesaat karena mereka sama-sama sudah dewasa. Savanah menegaskan perkataan itu berulang kali dalam hatinya.“Terima kasih,” bisik Damian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu.”Kata-kata itu membuat dada Savanah terasa berat. Ironis sekali, pikirnya. 'Dia mungkin berpikir aku adalah tempat berlabuh, tapi aku hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi.' Savana
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku