Savanah duduk di atas ranjang periksa dengan wajah lelah dan sedikit pucat. Hari ini dia akan pergi menjemput Ibunya yang dibebaskan pada hari ini. Dia tidak boleh sakit karena juga harus mengurus pemindahan.
Dia akan pergi keluar negeri sesudah ini. Jauh dari Damian.
Tangannya memegangi perut yang terasa mulas sejak pagi. Ia berpikir bahwa rasa sakit ini hanyalah akibat kebiasaannya melewatkan waktu makan di tengah semua tekanan emosional yang ia alami.
"Asam lambung saya kambuh 'kan, Dok? Berikan saya obat anti nyeri saja, aku tidak bisa istirahat saja hari ini, banyak yang harus kukerjakan. Saya sangat sibuk," ucap Savanah tanpa memperhatikan mimik wajah sang dokter.
Dokter wanita yang memeriksanya, seorang perempuan paruh baya dengan wajah ramah, mencatat sesuatu di clipboardnya sebelum berbalik menatap Savanah dengan ekspresi serius namun lembut.
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu akhirnya, “saya tahu Anda mengir
Savanah mengelus perutnya datarnya seraya berkata dengan kedua masa sembab, "kamu tidak bersalah, Nak. Hanya hadir di waktu yang tidak tepat."Savanah tidak tahu apakah ia memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hal ini. Tetapi satu hal yang ia tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru.Ia menghela napas panjang, mengambil tasnya, dan berjalan keluar dari klinik dengan langkah berat. Pikiran tentang Damian, Keisha, dan bayi yang kini tumbuh di dalam dirinya terus menghantui setiap langkahnya."Aku akan pergi dulu dan berpikir untuk langkah yang harus kulakukan. Pertama mengisi perutku lalu pergi menjemput Ibu!"Savanah baru saja mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi ketika panggilan masuk menghentikan jari-jarinya yang hendak mengetik. Nama Jason terpampang di layar, membuat alisnya berkerut dalam kebingungan. Ia ragu sejenak sebelum menggeser tombol hijau.“Halo, Tuan Jason?&rdqu
Jason menatapnya dengan tajam. “Aku ingin memastikan kau mendapatkan sesuatu yang nyata sebagai ganti dari semua yang telah kau lalui. Aku tahu Damian tidak bisa memberikan kebahagiaan yang kau butuhkan. Jadi anggap ini sebagai cara untuk memastikan kau bisa memulai hidup baru dengan lebih mudah.”Savanah terdiam. Di satu sisi, tawaran ini adalah kesempatan besar untuk keluar dari hubungan yang menyakitkan. Di sisi lain, hatinya masih terasa berat. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi ia tahu satu hal—Damian tidak pernah menunjukkan bahwa ia benar-benar menginginkan dirinya.Jason melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. “Savanah, aku tahu ini keputusan besar. Tapi aku percaya ini adalah yang terbaik untuk semua pihak. Kau bisa memiliki kebebasan dan masa depan yang lebih baik tanpa Damian.”Savanah menatap Jason dengan tatapan bimbang. “Ayah, saya… saya tid
"Bukankah kamu memang selalu menginginkan sebuah perceraian dari awal pernikahan ini? Mengapa matamu terlihat ragu saat ini?" tantang Jason kembali.Kata-kata itu adalah pukulan terakhir bagi Savanah. Ia tidak percaya bahwa Jason bisa begitu dingin terhadapnya, meskipun ia tahu pria itu selalu lebih berpihak pada dirinya sebelum hari ini.Jadi, aku hanya akan menjadi ibu dari anak Damian, tanpa tempat dalam hidupnya? Savanah menanyakan kepada dirinya sendiri dalam hatinya dan dada yang sesak."... dan saya tidak boleh menghubungi dan berhubungan dengan Damian lagi di masa depan...," ucap Savanah.Jason mengangguk, wajahnya tetap tanpa emosi. “Itu adalah jalan terbaik untuk semua orang, Savanah. Kau bisa tetap menjadi anak yang baik untuk Ibumu, dan Damian akan menjalani tanggung jawabnya dengan Keisha. Tidak ada gunanya melawan ini.”"Kamu menginginkan akhir yang bagus seperti ini
Damian terdiam, wajahnya berubah masam. Ia tahu bahwa hubungan mereka berada di titik terendah, tetapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulut Savanah tetap terasa seperti pukulan telak.“Savanah,” katanya pelan, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi bisakah kita berbicara? Berbicara dengan tenang tanpa terburu-buru membuat keputusan ini?”Savanah menggeleng pelan. “Aku sudah cukup berbicara, Damian. Aku sudah cukup memberi kesempatan. Dan sekarang aku tahu, aku harus memulai hidupku tanpa dirimu. Jadi tolong, biarkan aku dan Ibu pergi.”Damian menatapnya dengan rasa frustrasi yang nyata, tetapi ia tahu bahwa memaksa hanya akan membuat situasi semakin buruk. Dengan enggan, ia melangkah mundur, memberi jalan bagi Savanah dan Suzie.Savanah memegang tangan ibunya erat, lalu memanggil
Pria itu menoleh ke arah Roni dan baru menyadari, bahwa Roni mungkin belum tahu mengenai perceraian yang diinginkan Savanah dan istrinya itu sudah tinggal di bar Salvastone."Roni, mengapa kamu tertarik sekali dengan urusanku? Saya sarankan, bila kamu ingin membantu, ada baiknya kamu menyelidiki tentang Keisha. Apa yang dia inginkan dengan membohongi Jason mengenai anak dalam kandungannya yang bukan anakku!""Hmm, mengapa kamu yakin sekali, itu bukan anakmu?" Roni berkata sambil tertawa kecil."Karena aku tidak pernah menidurinya, sekali pun aku mabuk!" geram Damian lalu melangkah dengan kasar keluar dari lahan bangunan tersebut."Hei... tunggu!" Roni berusaha menyusul dan masih ingin tahu lebih banyak tentang Savanah."Lalu apakah Savanah tahu, hubunganmu dengan Keisha? dan kehamilannya?"Damian menoleh, "tahu! Tentu tahu, semua dunia ini tahu dan kamu tidak tahu? Kau lucu, Roni!"Damian membuang topi keselamatan proyek yang dipakain
Ia menghapus tangannya di celemek dan segera berjalan keluar dari dapur menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. Membuka pintu yang kedap suara. Di sana, suara ribut semakin jelas terdengar.Ketika Savanah sampai di lantai bawah, pemandangan yang ia lihat membuatnya terkejut. Seorang pria besar dengan pakaian lusuh berdiri di tengah ruangan, berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah salah satu penghibur bar, seorang wanita muda bernama Nina.Nina terlihat ketakutan, tubuhnya gemetar sambil memegang meja di dekatnya untuk menjaga jarak dari pria itu. Beberapa staf Salvastone mencoba menenangkan situasi, tetapi pria itu terus berteriak tanpa henti.“Apa-apaan ini?” tanya Savanah dengan suara tegas, melangkah maju ke tengah ruangan. Ruangan yang agak remang membuat pandangan pria gemuk itu harus menyipitkan matanya.Pria itu menoleh ke arahnya, matanya merah seperti orang yang mabuk, mesk
Savanah merasa sakit hati mendengar tuduhan itu. “Paman, aku mengerti bahwa Paman sedang kesulitan. Tapi ini bukan cara yang benar. Jika Paman butuh bantuan, kita bisa bicara dengan baik.”"Aku, aku mencari pengacaraku dan membicarakan hal ini, bagaimana?" tanya Savanah dengan niat baik.Namun, Robert tidak mendengarkan. Ia melangkah mendekat dengan marah dan masih berusaha menggapai Nina, membuat Nina semakin ketakutan dan mundur lebih jauh. “Bantuan? Kau ingin membantuku? Kau bahkan tidak bisa mengurus keluargamu sendiri, Savanah! Kau hanya peduli pada dirimu sendiri!”"Dan Damian, dia malah memberikan bar ini kepadamu? Kau licik!""Bahkan tempatku untuk bersenang-senang juga kau rebut dan wanita cantik ini... ""Aarghh!" Nina berteriak karena Robert berusaha menjangkaunya. Dengan segera wanita cantik dan muda itu berlari lalu bersembunyi di belakang Savanah."Nyonya, tolonglah saya," pekiknya dengan raut wajah ketakutan.
Ketika Robert hendak meninggalkan Salvastone Bar, amarah yang membara dalam dirinya mencapai puncak. Ia berbalik kembali ke dalam ruangan dengan mata merah menyala, menatap Savanah seolah ia adalah akar dari segala penderitaannya.“Kau!” teriak Robert, suaranya penuh kebencian. “Kau pikir bisa mengusirku seperti anjing jalanan? Kau pikir aku akan membiarkanmu merendahkanku?”Savanah terkejut melihat Robert kembali masuk, tetapi ia mencoba mempertahankan ketenangannya. “Paman, aku tidak ingin hal ini menjadi lebih buruk. Tolong pergi sebelum kau membuat masalah lebih besar.”Namun, Robert tidak mendengarkan. Ia melangkah ke arah meja bar, meraih botol minuman yang ada di sana, lalu dengan gerakan kasar, memecahkan botol itu di sudut meja. Pecahan kaca yang tajam kini berada di tangannya, berkilauan di bawah cahaya.“Aku akan menunjukkan padamu siapa yang sehar
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb